Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harisanto masih anak-anak ketika Pasar Johar, Semarang, dibangun pada 1930-an. Namun, ada kenangan yang selalu terpatri hingga kini di benak pria 75 tahun itu. Mohamad, ayah Harisanto, adalah seorang pejabat Dinas Pekerjaan Umum Semarang. Dia menempati posisi tertinggi untuk seorang pribumi—orang nomor satunya berkebangsaan Belanda. Nah, sang ayah sering mengajak Harisanto kecil dan anak-anaknya yang lain ke proyek pembangunan Pasar Johar.
Harisanto mengaku selalu menikmati bila diajak ayahnya mengawasi pembangunan pasar yang dirancang arsitek Belanda, Herman Thomas Karsten (1884–1945). Dalam ingatannya, pengerjaan Pasar Johar sangat rapi dan teratur. Yang paling mengesankan bagi Harisanto, yang mengaku peristiwa masa kecil itu menjadi salah satu yang mempengaruhinya untuk menjadi seorang arsitek, adalah saat pengecoran beton. ”Pada masa itu kan belum ada tukang yang menguasai membangun dengan beton,” tutur Harisanto.
Namun, berkat pengarahan Karsten, teknik konstruksi yang terhitung sangat modern pada masa itu dapat diselesaikan dengan sukses. Pasar dengan luas sekitar 15 ribu meter persegi yang terdiri dari dua lantai itu selesai pada 1939. Ciri khas paling menonjol pasar yang terletak di Jalan H. Agus Salim ini adalah konstruksi atap cendawan dengan langit-langit tinggi. Antara satu atap dan atap lain tidak menyatu, tapi saling menaungi. Tatanan seperti ini memungkinkan sirkulasi udara beredar dengan baik. Pasar ini juga mendapat penerangan alami dari sinar matahari berkat model atap jamur seperti itu.
Konstruksi beton atap cendawan itu termasuk yang pertama di dunia pada masa itu. Pasar Johar juga dikenal di kancah arsitektur dunia berkat atap cendawan itu. Menurut cerita Harisanto, ketika berkunjung ke hanggar CASA, sebuah perusahaan pesawat di Spanyol, di Madrid pada 1950-an, dia terkejut dengan konstruksi atap cendawan hanggar itu. ”Waktu itu, si insinyur yang menerima saya menjelaskan, hanggar raksasa itu adalah bangunan sebelum perang dunia II, dan arsiteknya adalah orang Vietnam yang belajar di Prancis,” ujarnya. Dia pun, kata Harisanto, ternyata juga tahu bahwa ada bangunan seperti itu di Indonesia, yang tak lain adalah Pasar Johar.
Teknik serupa di masa itu juga dipraktekkan oleh Frank Lloyd Wright, arsitek kenamaan Amerika Serikat (1867–1959). Wright membangun sebuah pabrik, Johnson Wax Building, di Racine, Wisconsin, AS, yang mulai dikenal publik sejak 1936. Di Negeri Abang Sam, karya Wright ini banyak dipuji karena memiliki keunikan sekaligus kelebihan dalam hal ventilasi udara, sehingga pekerja di pabrik tersebut terasa nyaman. Kini gedung tersebut menjadi milik negara dan terbuka untuk umum.
Meskipun Pasar Johar tidak dihargai seperti Johnson Wax Building, yang tetap terawat dan bahkan diabadikan menjadi US National Historic Landmark, Semarang tetap beruntung telah mendapat sentuhan Karsten. Arsitek lulusan Universitas Delft, Belanda, ini menaruh perhatian besar pada perumahan dan perencanaan kota. Karsten muda juga sangat memperhatikan kaum miskin yang terpinggirkan sejalan dengan revolusi industri di Eropa.
Karsten tahu buruknya pencahayaan dan penghawaan kampung-kampung dan bangunan publik di Semarang setelah dia mengikuti Kongres Perumahan Internasional pada 1913 di Belanda. Di kongres itu, kekumuhan Semarang menjadi salah satu bahasan. Kunjungannya ke Berlin, kota yang diakui memiliki perencanaan kota terbaik, membuat matanya lebih terbuka. Untuk itulah, Karsten langsung berangkat ke Indonesia setelah mendapat undangan dari arsitek bekas teman kuliahnya, Henri Maclaine Pont, yang sudah punya kantor di Indonesia, pada 1914.
Pasar Johar merupakan salah satu bukti nyata keberpihakan Karsten kepada rakyat kecil—Karsten juga merancang tata kota di beberapa kota di Indonesia dengan konsep tidak meminggirkan penduduk miskin dan anti terhadap pemisahan antaretnis. Meskipun berasal dari negara penjajah, Karsten dikenal sebagai pengkritik penerapan gaya arsitektur Belanda di Hindia Belanda.
Pada saat yang hampir bersamaan, ketika pemerintah Hindia Belanda di Semarang getol membangun gedung-gedung mewah seperti Hotel Du Pavillon—sekarang Hotel Dibyapuri—dan gedung De Javasche Bank—sekarang kantor Bank BNI—Karsten memilih membangun Pasar Johar. Selain itu, Karsten juga membangun pasar-pasar lainnya seperti Pasar Jatingaleh, dan Pasar Sentral di Semarang, Pasar Ilir di Palembang, dan Pasar Gede di Solo.
Bahkan arsitek Andre Kusprianto menduga Karsten telah mempersiapkan pengembangan Pasar Johar bila para pedagang makin banyak. Arsitek lulusan Universitas Parahiyangan yang banyak mengumpulkan dokumen Karsten melihat kemungkinan membangun Pasar Johar secara vertikal. ”Kalau dilihat, konstruksi di bagian atas masih memungkinkan bangunan itu tumbuh,” kata Andre. Dia pun yakin model seperti Pasar Johar dan Jatingaleh yang menggunakan atap cendawan memang pas digunakan sebagai gaya pasar tradisional di negara tropis seperti Indonesia.
Selain kekokohan, detail juga sangat diperhatikan. Karsten membangun los pasar cukup tinggi, sehingga para buruh gendong tidak perlu jongkok ketika mengangkat dan menurunkan barang. Lantai pasar menggunakan batu andesit yang terkenal kuat menahan beban. Selain itu, batu andesit mudah dibersihkan sehingga cocok dengan kondisi pasar tradisional yang mudah kotor. Sedangkan penjual daging diletakkan pada lantai dua, dengan pertimbangan lalat tidak akan mampu terbang setinggi itu.
Karsten membangun ruang kosong (void) pada bagian tengah pasar sehingga antara lantai satu dan dua pasar tersebut terkesan berhubungan. Ruang yang terbuka lebar itu juga dimaksudkan untuk menampung para pedagang musiman yang biasanya membludak di saat ada pesta rakyat seperti Grebeg, Sekaten, dan acara menjelang Ramadan, Dugderan.
”Pasar ini sejak awal sudah dirancang agar para penggunanya mudah berkomunikasi, bukan sekadar bertransaksi, maka banyak orang punya ikatan emosional dengan Pasar Johar,” kata Sutrisno Murtioso, dosen arsitektur Universitas Parahyangan, Bandung. Menurut dia, orang datang ke Pasar Johar tidak hanya ingin beli sesuatu, tapi juga untuk bersilaturahmi.
Sutrisno pun setiap kali ke Semarang selalu menyempatkan diri mendatangi kios buku bekas di bawah tangga, meski penjualnya sudah berganti beberapa kali. Dia juga paling suka dengan kios buah-buahan di sana, karena semasa ia kecil ibunya selalu berbelanja buah di Pasar Johar. ”Itu yang memberi nilai kemanusiaan,” katanya.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo