Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menjaga Mosaik ’Belanda Kecil’

Beberapa bangunan kuno bersejarah di Semarang masih terawat. Ada Gereja Blenduk, ada pula Lawang Sewu.

18 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kota Lama Semarang adalah Little Netherland. Karena di kawasan dengan luas sekitar 31 hektare itu berdiri sekitar 50 bangunan kuno peninggalan masa kolonialisme Belanda. Perkembangan Kota Lama atau Oudstadt ini terjadi mulai abad ke-18. Pada masa itu, benteng Vijhoek mengelilingi dan melindungi Kota Lama.

Bangunan-bangunan di Oudstadt, termasuk Pasar Johar yang terletak sedikit di luar lingkar Kota Lama, sebetulnya lumayan aman. Pemerintah sudah memasukkannya dalam kategori cagar budaya. Dengan begitu, gedung-gedung di wilayah itu tidak boleh dibongkar, diubah, dan harus dilestarikan. Pemerintah kota Semarang juga sudah mengeluarkan surat keputusan pada 1992 tentang Konservasi Bangunan Kuno/Bersejarah di Kota Semarang untuk melindungi ”harta karun” di sana.

Namun, rob atau air pasang yang cukup sering menggenangi kawasan Kota Lama—mulai dari Stasiun Tawang, Kantor Pos, sebelah timur Gereja Blenduk, termasuk Pasar Johar—membuat usaha pelestarian kawasan itu lebih sulit. ”Harus ditemukan cara untuk menanggulangi rob,” kata Ediningsih dari Badan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala. Sayangnya, sampai kini masalah tersebut belum juga bisa dipecahkan.

Tiba-tiba, belakangan santer beredar kabar Pasar Johar hendak dirobohkan. ”Kalau masalahnya rob, ya jangan Pasar Joharnya yang dibongkar,” kata Ediningsih. Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia Daerah Jawa Tengah, Widya Wijayanti, juga sependapat dengan Ediningsih. ”Dukungan publik sangat diperlukan,” katanya. Ini termasuk untuk mencegah Pasar Johar diganti dengan bangunan baru.

Menurut Widya, setidaknya ada dua kerugian besar jika tidak ada perlindungan terhadap bangunan kuno. Pertama, kita akan kehilangan sejarah dan khazanah arsitektur Indonesia. ”Karena pada dasarnya sebuah langgam arsitektur tidak semata mata menunjukkan perbedaan model bangunan, namun juga menunjukkan sejarah ketika itu.”

Kedua, pembangunan gedung baru dengan memusnahkan bangunan lama sangat merugikan lingkungan. ”Hitung saja kerusakan lingkungan dari sebuah pembangunan, mulai dari pengambilan material alam, transportasi, pengaruh pemanasan global dan sebagainya.” Apalagi, selama ini bangunan baru ternyata tidak lebih baik dari yang digantikannya, baik kualitas, seni arsitekturnya serta filosofinya.

Inilah beberapa bangunan kuno di Kota Lumpia.

  • Kantor Pos Besar

    Aksen yang menonjol pada kantor pos yang dibangun pada 1906 ini adalah jendela-jendela dengan detail unik dan atap mansard, yakni atap kuncup dengan tambahan bagian nyaris vertikal sejajar dengan tembok di kedua sisinya. Bangunan dengan atap seperti ini memungkinkan penggunaan ruang seoptimal mungkin. Meskipun sudah berusia 100 tahun, bangunan yang pernah diperbaiki pada 1979 masih kokoh dan layak guna.

  • Kantor PT Kereta Api Indonesia

    Bangunan yang dulu bernama Zuztermaatschapijen terletak di Jalan M.H. Thamrin. Gedung bujur sangkar bergaya arsitektur klasik memiliki kolom-kolom (tiang) penyangga atap pelat beton baja. Dinding bagian dalamnya ditandai lubang-lubang ventilasi dan pencahayaan. Pada puncak bubungan atap terdapat limasan, yang selain mempercantik bentuk atap juga berfungsi sebagai bukaan udara dan cahaya. Di dalamnya terdapat banyak ruang luas tanpa sekat. Arsiteknya adalah Thomas Karsten dan J.H. Schijfma pada 1930.

  • Gereja Blenduk

    Gereja Immanuel ini mendapat julukan Blenduk karena memiliki kubah unik berlapis perunggu. Gereja yang dibangun pada 1753 dan direnovasi pada 1894 adalah gereja kristen pertama di Jawa yang masih digunakan hingga sekarang. Rumah ibadah di Jalan Letjen Suprapto ini masih memiliki interior orisinal mulai dari tempat duduk ibadah hingga orgel Barok, namun sudah tidak berfungsi.

  • Lawang Sewu

    Gedung yang tak jauh dari Simpang Lima ini adalah bekas kantor perusahaan kereta api milik Belanda pada 1903. Kemudian pada 1920 menjadi kantor pusat Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij (NIS), perusahaan kereta api pertama di Indonesia. Sesuai dengan namanya, gedung ini memiliki begitu banyak pintu. Kaca-kaca berornamen yang tinggi dan lebar juga menjadi ciri khas bangunan yang dirancang arsitek Jacob F. Klinkhamer dan B.J. Queendag.

    Bina Bektiati, Sohirin, Rofiuddin (Semarang)

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus