Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Gonjang-ganjing Pasar Johar

18 Juni 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Budihardjo

  • Arsitek – perencana kota, Ketua Forum Keluarga Kalpataru Lestari

    Yogyakarta punya Pasar Beringharjo, Solo punya Pasar Klewer, Surabaya punya Pasar Turi, dan Semarang punya Pasar Johar. Semua pasar itu sudah menjadi ikon kota, bahkan jadi tengeran atau landmark bagi warga kota.

    Belakangan ini terjadi gonjang-ganjing tentang Pasar Johar yang akan ”ditinggikan” untuk menanggulangi masalah rob alias luapan air laut. Salah satu rencananya adalah dengan membongkar Pasar Johar dan menggantinya dengan mal modern enam lantai. Ribuan pedagang yang mengandalkan nasib pada Pasar Johar gelisah. Mereka sama gelisahnya dengan arsitek, perencana kota, juga para arkeolog.

    Saya sendiri nekat menyampaikan ke hadapan Wali Kota Semarang, ”Kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa ingatan.” Maksud saya, agar Pak Wali Kota paham, manakala manusia tanpa ingatan adalah orang gila, maka kota tanpa bangunan kuno bersejarah adalah kota gila. Lagi pula, Pasar Johar termasuk daftar 101 bangunan kuno bersejarah yang wajib dilestarikan sesuai dengan Surat Keputusan Wali Kota tentang Konservasi Bangunan Bersejarah.

    Pasar Johar adalah hasil karya arsitek Belanda Thomas Karsten dengan keunikan kolom-kolom cendawan. Pasar ini merupakan arsitektur tropis, tanpa penyejuk ruangan tapi tetap terasa segar, tanpa lampu tapi tetap terang. Pasar Johar juga bisa menjadi sumber ilham penciptaan karya arsitektur hemat energi. Berbeda dengan mal, supermal, department store, dan shopping centre yang cenderung boros energi.

    Yang tak kalah penting adalah nasib ribuan pedagang di dalam dan di sekitar Pasar Johar. Orang Barat mengatakan: ”Behind every building that you see, there are people that you don’t see.” Sangat arif, di balik setiap bangunan yang Anda lihat terdapat manusia yang tidak Anda lihat.

    Pembongkaran Pasar Johar, yang dikemas dengan dalih untuk mengatasi rob, sama dengan penggusuran terselubung para pedagang (kecil) yang selama puluhan tahun sudah eksis. Mereka pasti tidak akan mampu membayar sewa, sewa-beli, atau kontrak kios-kios mal modern yang dibangun investor. Itu sebabnya, istilah urban renewal alias peremajaan perkotaan sering kali dipelesetkan menjadi urban removal alias penggusuran perkotaan.

    Fenomena seperti itu tidak hanya terjadi di Semarang. Jadi, bila segenap warga kota, termasuk para ilmuwan dan profesional, tidak bergerak bersama-sama melindungi pusaka budaya di kota masing-masing, bisa dipastikan suatu saat nanti kita tidak lagi memiliki kota yang otentik, berjati diri, dan berkarakter.

    Kota pada hakikatnya harus tampil beda, unik, jangan sampai terlanda arus estetika Barat yang menciptakan ketunggalrupaan atau monotony. Bangunan kuno bersejarah seperti Pasar Johar merupakan salah satu contoh keunikan yang mesti dijaga. Nenek moyang kita dari Jawa berpesan, ”Yen wis kliwat separo abad, jwa kongsi binabat.” Artinya, bila suatu bangunan kuno bersejarah sudah berusia lebih dari 50 tahun, jangan sampai dihancurkan.

    Kenapa kebanyakan pejabat dan pengelola kota cenderung lupa pada kearifan lokal semacam itu? Jawabannya bisa beragam, tetapi salah satunya adalah kepentingan ekonomi atau keuntungan finansial. Desakan investor, sektor swasta, memang kuat sekali. Mereka tidak peduli pada warisan budaya. Mereka tak acuh pada nasib pedagang kecil. Yang ada dalam pikiran mereka adalah mencari untung sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Bukankah istilah private sector bila didengar sering terdengar seperti profit sector?

    Partisipasi publik dalam perencanaan dan pembangunan kota mesti digalakkan. Jangan sampai wajah kota hanya ditentukan penguasa dan pengusaha. ”Perang terlalu penting untuk diserahkan kepada seorang jenderal.” Dalam bidang pembangunan perkotaan: ”Kota terlalu penting untuk diserahkan kepada seorang wali kota.”

    Mudah-mudahan gonjang-ganjing Pasar Johar segera berakhir dengan kemenangan di pihak rakyat jelata yang masih terbelit aneka kesengsaraan. Coba kita renungkan bersama puisi mbeling karya Gojek Joko Santoso yang berjudul ”Ramalan Cuaca”: Singapura berawan, Malaysia gerimis, Filipina hujan deras, Arab Saudia hawa panas, Alaska hawa dingin, Indonesia hawa nafsu.

    Mari kita selamatkan bersama Pasar Johar dan kaum kesrakat (The Needy) dari serangan hawa nafsu mereka yang serakah (The Greedy).

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus