Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pantai Rua, Desa Rua, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Dermaganya tidak terurus. Sudah lama tak ada kapal yang bersandar di sana. Kalau kita ke daerah itu, terlihat di tepi pantai dibangun kolam permainan air (water boom).
Pantai yang kini dicoba dijadikan daerah tujuan wisata itu menyimpan sisi kelam. Petrus Jouleah, warga Desa Rua, ingat pantai itu pada 1965 menjadi salah satu lokasi pembantaian orang-orang Partai Komunis Indonesia. Menurut dia, para tahanan itu dibawa dari Penjara Lama Waikabubak, lalu dieksekusi di tepi Pantai Rua oleh polisi.
Mereka dieksekusi satu per satu dengan mata terikat kain hitam. Mayat-mayat itu lalu dimasukkan ke karung dan diangkut dengan perahu Manawolu untuk ditenggelamkan di laut lepas. "Perahu itu hampir tenggelam saat mengangkut belasan jenazah tersebut. Untung saja segera dibuang ke laut," katanya.
Petrus ingat pemimpin regu tembak waktu itu adalah istri kepala polisi yang bernama Ahmad Yani. "Dia berdiri di tempat yang agak tinggi, lalu memberi komando untuk eksekusi orang terduga PKI itu," ujar Petrus.
Kisah pedih di Sumba tersebut adalah bagian kecil dari pembantaian orang-orang PKI atau yang dituduh PKI di banyak tempat di Nusa Tenggara Timur, baik di Flores, Sumba, Timor, maupun Sabu. Tempo berusaha melacak bekas ladang-ladang pembantaian ini setelah sebuah buku berjudul Memori-memori Terlarang: Perempuan Korban & Penyintas Tragedi '65 di Nusa Tenggara Timur diluncurkan di Jakarta pada 21 April lalu. Buku ini merupakan penelitian dari sekelompok pendeta perempuan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Artha Wacana di Kupang.
Pendeta Andreas A. Yewangoe, 69 tahun, Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, yang memberi kata sambutan dalam buku itu, menyebutkan Memori-memori Terlarang merupakan pendokumentasian pertama tentang kejadian-kejadian pasca-peristiwa 1965 di Nusa Tenggara Timur. "Saya sendiri mendengar berbagai cerita mengenai apa yang terjadi di Sumba dan Timor. Tapi yang saya dengar itu belum pernah dibukukan dan bisa hilang begitu saja," ucap pria kelahiran Mamboru, Sumba Barat, yang pernah menjadi pendeta di Gereja Kristen Sumba di Waingapu, Sumba Timur, itu.
Buku ini merupakan hasil penelitian pilot project dari Jaringan Perempuan Indonesia Timur untuk Studi Perempuan Agama dan Budaya (JPIT SPAB). Jaringan yang terdiri atas lebih dari 40 perempuan lintas agama dari berbagai daerah di Indonesia timur itu dibentuk pada 2009. NTT menjadi wilayah percontohan untuk penelitian yang berfokus pada peristiwa 1965. Pendeta Merry Kolimon, Koordinator JPIT yang juga menjadi editor buku, mengatakan proses penelitian dilakukan selama dua tahun sejak 2010. Tim mewawancarai 99 orang, 33 narasumber di antaranya perempuan di enam wilayah, yakni Kota Kupang, Oesao, dan Timor Tengah Selatan serta Pulau Sabu, Alor, dan Sumba."Tidak ada jumlah korban yang pasti," katanya.
Memang Memori-memori Terlarang membuka banyak kepedihan yang selama ini tertutupi. Berkebaya merah muda, Ferdelina Bessy Sintae, 69 tahun, misalnya, matanya tampak basah saat datang pada peluncuran buku ini. Wanita dari Kampung Oesao, Kupang Timur, Nusa Tenggara Timur, ini bersama suaminya, Gabrielle Bessy, pada 1965 dicap sebagai orang PKI lantaran tercatat sebagai calon penerima tanah bantuan dari pemerintah.
"Sebagai buruh penggarap lahan orang lain, kami tidak mungkin menampik tawaran tanah itu," ujar Mama Bessy mengisahkan awal mula petaka. Suaminya ditangkap oleh tentara beberapa hari setelah ia melahirkan putra pertama mereka, Dikson Wikro. Bersama orang-orang yang dituduh PKI lainnya, ia dan sang suami dibariskan di depan balai desa, lalu disuruh melakukan lari papan, yakni berlari keliling kampung membawa papan selebar satu meter yang bertulisan nama dan digantung di dada sambil bernyanyi Nasakom Bersatu.
"Saya lemas karena masih mengalami nifas. Saya minta kepada tentara untuk meringankan hukuman saya. Tapi dijawabnya, 'Sewaktu dikasih tanah mau saja, sekarang baru memohon-mohon'," ujar Mama Bessy. Meski demikian, menurut Mama Bessy, dia dan suaminya masih lebih beruntung ketimbang orang-orang sekampungnya. Banyak orang dari Kampung Oesao dieksekusi di belakang Pasar Oesao pada Februari 1966.
"Ada 18 orang yang dibantai di belakang Pasar Oesao," kata Gabrielle. Di Kupang Timur, sebelumnya pembunuhan sudah dilakukan di Tanah Merah, Desa Oebelo, dan Tanah Putih, Kelurahan Tuapakan. "Mereka yang dibantai itu sesungguhnya belum pasti orang PKI, hanya dicurigai PKI," ujar Gabrielle, yang harus menjalani wajib lapor setiap bulan sejak 1965 dan baru berakhir ketika terjadi reformasi.
Salah satu pertanyaan yang sangat sensitif adalah apakah gereja di Nusa Tenggara Timur ikut terlibat dalam pembantaian-pembantaian itu. Atau memang gereja pasif karena tidak memiliki daya apa-apa untuk mencegah. Pendeta Merry Kolimon mengatakan gereja belum memperhatikan masalah ini. "Gereja sering kali menghindar jika berbicara tentang masalah ini," katanya. Menurut dia, di satu sisi gereja terlibat, tapi di lain pihak gereja juga memperjuangkan pembebasan orang yang diduga PKI agar tidak dibantai. "Sangat kompleks. Gereja berperan baik sebagai pelaku maupun pembela orang terduga PKI," ujarnya.
Dalam penelitian JPIT, kata Merry, terungkap fakta bahwa sejumlah pendeta melihat pengganyangan terhadap PKI merupakan cara awal agar orang Timor dan Sumba yang masih memegang agama lokal mau memeluk Kristen. "Menurut para pendeta itu, inilah cara Tuhan bagi orang ateis agar bisa memeluk Kristen."
Dalam penelitian itu juga terungkap bahwa banyak pelaku penangkapan adalah pemuda gereja yang disuruh oleh penguasa militer. Itu lantaran tentara sudah membangun opini di kalangan pemuda gereja bahwa PKI akan membunuh para pemimpin gereja. "Kelompok pemuda gereja terlibat dalam penumpasan PKI. Bahkan GMKI sangat terang-terangan menulis tentang perjuangan mereka menumpas PKI di NTT," ujar Pendeta Merry. Tapi, menurut dia, banyak juga pendeta yang berjuang agar korban PKI tidak dibantai. Seperti di Alor, sejumlah pendeta menghadap tentara untuk membebaskan orang PKI dan menghentikan pembantaian. "Posisi gereja waktu itu tidak terlalu jelas," katanya.
Posisi gereja seperti ini juga terjadi di Sumba. Menurut Pendeta Yetty Leyloh, salah satu peneliti, gereja sudah mengeluarkan Amanat Sinode melalui Sidang Sinode Gereja Kristen Sumba (GKS) pada 1957, yang menolak PKI. Amanat Sinode membuat gereja tidak menghambat pembantaian yang dilakukan militer. "Gereja di Sumba turut mendukung pembunuhan PKI. Gereja abu-abu karena takut," ucapnya. Bahkan lebih jauh, menurut dia, jemaat GKS yang ditemukan bersinggungan atau berbau PKI tidak boleh terlibat dalam perjamuan kudus. "Mereka harus mengaku dosa karena sudah menimbulkan keresahan bagi jemaat. Konsep dosa terkooptasi dengan pemerintah. Ini merupakan siasat gereja," katanya.
Akan halnya Dodi Yuniar, peneliti Asia Justice and Rights serta Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran, melihat posisi gereja yang ambigu itu karena terjebak manifesto mereka sendiri. Dua gereja yang terlibat pembasmian anggota PKI di Nusa Tenggara Timur, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Kristen Sumba, misalnya pada 1950-an membuat pernyataan bahwa marxisme bertentangan dengan gereja karena menyatakan agama itu candu.
Menurut Dodi, saat pemerintah menghabisi kelompok kiri, gereja pun bingung. "Kalau mereka membela secara institusi, melabrak omongan sendiri," ujar Dodi, yang terlibat penelitian JPIT itu pada 2011. Dalam pandangan Dodi, meskipun secara personal beberapa pendeta karena kemanusiaan berusaha menolong, hal itu tidak mengubah apa-apa. Sebab, secara institusi, gereja tidak melakukan apa-apa.
Bahkan, di beberapa tempat di Sumba Timur, gereja termakan isu karena beredar daftar (palsu) beberapa orang yang akan dibantai PKI jika kudeta mereka berhasil. Para pemuda gereja yang membaca nama orang tua mereka dan pemuka-pemuka gereja masuk daftar tersebut marah. Mereka kemudian menghancurkan rumah orang-orang yang diduga PKI. "Padahal tidak diketahui siapa yang menyebarkan daftar," ucap Dodi.
Seusai kemarahan itu, menurut Dodi, tentara dari Jawa datang. Kesatuan tentara itu sendiri tidak teridentifikasi. Kemudian terjadi pembunuhan-pembunuhan. "Kalau ada warga sipil di Sumba Timur yang turut melakukan pembantaian, itu di bawah ancaman tentara yang datang dari Jawa," katanya. Menurut Dodi, pola pembasmian anggota PKI di NTT dan wilayah lain di Indonesia hampir sama. Kalaupun ada kekhasan, di NTT, masyarakat yang beragama lokal dikafirkan dan dipaksa masuk ke salah satu agama.
Untuk semua tragedi ini, Ketua Umum Sinode GKS Pendeta Naftaly Djoru meminta gereja meminta maaf kepada korban. Menurut dia, gereja saat itu diam dengan alasan mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. "Gereja sekarang harus bersikap," dia menegaskan.
Sikap berbeda datang dari Ketua Sinode GMIT Bobby Litelnoni. Dia mengatakan buku yang diterbitkan oleh pendeta-pendeta perempuan itu perlu dikaji lagi. Menurut dia, fakta sejarah harus dilihat kembali apakah benar gereja terlibat dalam aksi pembantaian PKI. "Indikasinya apa kalau gereja terlibat?" katanya.
Bobby melihat gereja belum perlu meminta maaf kepada korban dan keluarga tragedi 1965-1966 karena belum ada bukti yang jelas. "Apalagi, tahun-tahun itu, gereja baru bertumbuh secara institusional," ujarnya. Karena itu, dia meminta pendeta lebih arif dan bijaksana mengungkap hal-hal sensitif. "Bukan kami tidak mengakui, tapi fakta sejarah itu harus dibuktikan secara otentik. Bukan hanya satu pihak, melainkan harus ada pihak lain."
Akan halnya Pendeta Andreas tetap melihat penelitian ini sebagai salah satu upaya untuk berdamai dengan beban sejarah pada masa lalu. "Harus ada inisiator untuk menyembuhkan luka ini," katanya. Apakah pihaknya mau mengambil peran inisiator itu? Pendeta Andreas mengatakan semua tidak bisa berjalan sendiri tanpa konsultasi dengan pemuka agama lain, terutama Islam. Ia menyebutkan tahun lalu ada diskusi dengan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum. "Pak Albert Hasibuan menyatakan ada ide dari Pak SBY untuk menyampaikan maaf terhadap berbagai peristiwa. Bukan hanya persoalan PKI, melainkan juga Tanjung Priok dan lainnya." Tapi ia tak tahu apakah di akhir tugasnya Susilo Bambang Yudhoyono berani melakukan itu.
Yohanes Seo, Ratnaning Asih, Erwin Zachri, Dody Hidayat, Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo