Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Waktu itu, 29 Maret 1966, saya sedang mengajar di Sekolah Dasar Ledemanu, Kabupaten Sabu-Raijua, Nusa Tenggara Timur. Tiba-tiba saya dipanggil oleh aparat tentara Angkatan Darat yang datang dari Kupang untuk melaksanakan tugas negara di Pulau Sabu. Saya dipaksa melakukan itu. Tidak bisa dikatakan secara sukarela.
Ternyata, selain saya, ada 61 orang lainnya yang menjadi pengikut tim penumpasan ini. Perhitungannya, satu orang tahanan PKI harus dikawal oleh dua orang. Ada 31 tahanan yang akan dieksekusi pada malam hari itu. Jadi kami yang mengawal berjumlah 62 orang.
Kami menjemput para tahanan PKI itu di lapangan depan Rumah Sakit Seba yang luas. Mereka sebelumnya ditahan di bekas penjara Belanda di sebelah rumah sakit. Para tahanan itu sudah diikat tangannya di belakang pinggang. Saya tidak tahu siapa yang mengikat. Saya bersama seorang dari Raenyale berada di barisan terdepan. Kami kebagian menjaga Miha Mengi, yang masih terbilang saudara saya.
Kami diancam "pilih mati atau hidup". Salah berdiri saja, kami langsung dipukul dengan senapan atau ditendang tulang kering. Kami diancam, "Kalau berani melepas tahanan, kami akan menjadi pengganti untuk dieksekusi."
Perjalanan menuju tempat eksekusi berlangsung selama satu jam. Dari Rumah Sakit Seba, melewati asrama polisi, melintasi Hanga Loko Pedae (artinya celah kali kering selalu dibicarakan), hingga sampai di lokasi kuburan massal sekitar 200 meter dari ujung landasan pacu Bandar Udara Tardamu sekarang. Di tempat itu sudah banyak warga yang menunggu kedatangan iring-iringan tahanan. Waktu itu sekitar pukul setengah delapan malam.
Sebuah lubang besar sudah disiapkan. Saya dan orang Raenyale itu lalu menurunkan Miha ke lubang sedalam dua meter tersebut. Saya dudukkan Miha, lalu bergegas naik ke permukaan. Belum tuntas saya naik, kaki saya masih tergantung di mulut lubang, tiba-tiba terlihat kilatan cahaya disusul suara letupan. Sewaktu saya menoleh ke belakang, kepala Miha sudah tidak ada. Setelah itu, tahanan nomor dua, tiga, dan seterusnya mendapat perlakuan yang sama.
Ketika lubang hampir penuh dengan mayat, para tahanan yang akan dieksekusi didudukkan di mulut lubang bagian barat. Ketika sudah ditembak atau dipancung, badannya lantas ditendang masuk ke lubang. Seingat saya, hanya dua orang yang dipenggal lehernya, Adbi Koroh dan Yeremias Koreh. Darahnya keluar seperti air mancur. Tugas saya kemudian berganti menjadi pemegang lampu gas (petromaks). Saya berdiri sekitar satu meter dari lubang sehingga tak hanya kecipratan darah, tapi juga mandi darah dan otak.
Tugas kami belum selesai. Yang membuat bertambah lelah, kami harus menyusun mayat-mayat yang bergelimpangan tak beraturan itu menjadi seperti tumpukan kayu agar muat di dalam lubang. Setelah tersusun, baru eksekusi dilanjutkan sampai orang yang ke-31. Jarak antara tumpukan mayat dan mulut lubang hanya sekitar 20 sentimeter. Kami terpaksa menggali tanah dari luar untuk menutup lubang itu agar tidak digali anjing atau babi.
Selesai malam itu, tugas kami telah menunggu esok harinya. Pagi itu, sekitar pukul 09.00, giliran anggota Gerwani yang dijadwalkan dieksekusi. Ternyata ada keputusan bahwa Gerwani tidak dibunuh. Jadi hari itu hanya lima laki-laki yang akan dieksekusi. Saya bertugas menjemput tahanan di penjara Belanda itu. Saya juga yang mengikat tangan mereka ke belakang satu per satu dengan benang bola. Ternyata, dari lima orang itu, hanya tiga yang dieksekusi. Dua lainnya dikembalikan ke penjara.
Saya juga yang memimpin penggiringan ketiga tahanan ke lokasi eksekusi yang sama. Kali ini yang menjadi algojo adalah polisi karena tentara sudah pulang ke Kupang setelah eksekusi gelombang pertama malam sebelumnya. Kami harus menutup sebagian lubang yang sudah kami gali karena terlalu besar untuk menampung tiga mayat: dua orang guru SD dan satu orang pegawai kehutanan. Lubang itu letaknya hanya belasan meter dari kuburan massal sebelumnya.
Saya mengenal hampir semua tahanan yang dieksekusi pada gelombang pertama. Saya hafal nama-nama mereka, seperti Ama Djara Bonga (Bunga Riwu), Yeremias Haba Koreh, Miha Mengi, Habel Ludji, Andrias Kale Nara, Dorce Simalakaha, Hodrit Lopo, Djibrael Bale, Yeremias Habas Koreh, dan Hadi Bolla dari Raijua. Hanya tiga orang yang sampai sekarang saya tidak tahu namanya. Saya mendapat informasi waktu itu mereka memberontak kepada negara. Sebagian besar mereka yang ditangkap memang berasal dari kalangan guru.
Petrus, yang pensiun sebagai guru pada 2001 dan kini tinggal di kampungnya, Desa Rae Loro, Kecamatan Sabu Barat, Pulau Sabu, mengaku sangat menyesal karena korban adalah sejawat guru, bahkan saudara. Dia memang saat itu tergabung sebagai anggota Partai Nasional Indonesia, tapi hanya coba-coba. Petrus tidak tahu mengapa dilibatkan dalam penumpasan orang-orang PKI itu. "Saya hanya anggota masyarakat biasa dan seorang pegawai negeri sipil yang harus menjalankan tugas negara," katanya.
Yohanes Seo (Kupang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo