Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELAMA satu tahun empat bulan, suami saya, Lodowik Djami, anggota majelis gereja di Gereja Kristen Sumba (GKS) Mawali, meringkuk di Penjara Lama Waikabubak, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur.
Saya masih ingat betul saat-saat suami saya ditangkap di rumah ini (di Kelurahan Sobawawi, Kecamatan Kota Waikabubak, Sumba Barat) pada 18 Januari 1966 sekitar pukul 10.00. Waktu itu umur saya 32 tahun. Saya mengenal orang-orang yang menangkap adalah para pegawai negeri sipil teman kantor suami saya di Dinas Pertanian. Orang-orang itu menggeledah seisi rumah kami, lalu membawa Bapak ke rumah jaksa untuk diperiksa.
Sampai sore hari, Bapak tidak pulang. Saya menyusul ke rumah jaksa. Jaksa mengatakan suami saya terlibat organisasi PKI. Saya kaget. Jaksa bilang ia mendapat laporan bahwa di rumah orang tua suami saya pernah dilaksanakan rapat. Saya baru teringat kakak ipar saya dari Waingapu, Sumba Timur, sempat tinggal beberapa waktu di rumah itu. Kemudian saya tahu bahwa kakak ipar saya itu, Lius, juga ditangkap karena dituduh sebagai Ketua PKI di Sumba Timur.
Saya mendatangi lagi jaksa itu di kemudian hari. Justru tuduhan baru yang saya peroleh: Bapak dituduh sebagai mata-mata. Karena tidak puas atas jawaban itu, saya menghadap Bupati Sumba Barat Umbu Rembu Samapaty. Tapi suami saya belum juga dibebaskan. Saya bertambah khawatir karena penyiksaan oleh panitia penumpasan PKI semakin menjadi-jadi. Bapak disuruh berlari mengelilingi lapangan sepak bola berulang kali. Bapak bersama orang-orang yang dituduh PKI kemudian digantung: kaki di atas dan kepala di bawah. Mereka menjadi tontonan warga.
Waktu terus berjalan, Bapak tak kunjung dibebaskan. Saya mendatangi bupati lagi. Tapi bupati mengatakan semua ditangani langsung oleh panitia penumpasan PKI. Kekhawatiran saya memuncak karena mendengar waktu eksekusi gelombang kedua sudah semakin dekat. Eksekusi pertama sudah terjadi pada 5 Mei 1966 di Pantai Mananga, Mamboro. Dari pegawai penjara, saya mengetahui persiapan eksekusi untuk 17 orang, termasuk suami saya, akan dilakukan.
Saat itu, Jaksa Jehabut sudah digantikan oleh Jaksa Latief. Saya putuskan untuk menulis surat ke jaksa baru. Saya tulis semua kejadian dari penangkapan Bapak sampai akhirnya ia ditahan di Penjara Lama Waikabubak. Saya datang ke rumah jaksa bersama anak-anak saya yang masih kecil-kecil. Jaksa Latief menemui saya dan mempertanyakan surat tersebut. "Ini surat siapa?" Saya jawab, "Surat saya, Pak."
Pada akhir September 1966, petugas dari Waingapu yang datang ke penjara telah mempersiapkan 17 karung dan kain hitam penutup mata. Tapi ternyata suami saya tidak ikut dibawa ke tempat eksekusi, Pantai Rua. Sebanyak 15 orang dieksekusi dengan cara ditembak. Satu orang ditembak oleh tiga polisi. Komandan eksekusi adalah Pak Hamad, bekas polisi di Waingapu.
Pada Mei 1967, Bapak bebas. Tapi, anehnya, di kartu tanda penduduk tetap diberi kode, termasuk kepada anak-anak. Bapak masih tetap wajib lapor, setiap Senin dan Kamis, sampai tahun 2000-an. Yang saya sesalkan, setelah Bapak keluar, gereja malah mewajibkan Bapak mengaku dosa di depan jemaat. Saya sempat memprotes dan mempertanyakan dosa mana yang harus diakui oleh Bapak. Saya bersedia jika pengakuan dosa sehari-hari, bukan dosa saat di penjara itu. Tapi apa yang dikatakan pihak gereja? Mereka tidak mau tahu karena sudah menjadi aturan Gereja Kristen Sumba (GKS).
Walaupun Bapak anggota majelis gereja, selama ia ditahan, tidak ada seorang pun dari gereja yang mau berjuang bersama saya membebaskan Bapak. Saya tidak tahu kenapa. Mungkin gereja juga takut dituduh terlibat PKI sehingga menggabungkan diri dalam penumpasan PKI. Memang akhirnya Bapak mengaku dosa di depan mimbar, tapi tidak mau menyinggung tentang dosanya di penjara. Pengakuan itu diterima oleh umat dan majelis di GKS Waikabubak. Bapak meninggal pada 2011.
Yohanes Seo (Sumba Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo