Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Skema power wheeling dalam RUU EBET diklaim telah disepakati DPR dan pemerintah.
Klaim kesepakatan pembahasan skema power wheeling dibantah.
Skema power wheeling diperlukan untuk pengembangan industri hijau di dalam negeri.
JAKARTA - Timbul-tenggelamnya skema power wheeling atau penggunaan bersama jaringan tenaga listrik dalam Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) tampak dalam pernyataan sejumlah pemangku kepentingan. Gagasan ini mencuat kembali setelah Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat, Eddy Suparno, menyatakan DPR dan pemerintah telah menyepakati jalan tengah skema tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kemungkinan kami, Komisi VII DPR dengan pemerintah sudah bersepakat untuk memasukkan skema power wheeling dalam skala terbatas," ujar Eddy dalam keterangan tertulis, kemarin. Skala terbatas yang ia maksudkan adalah penggunaan skema ini untuk daerah yang sulit dijangkau dan belum ada jaringan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN. Pembahasan RUU EBET hingga kini masih dibahas di tingkat panitia kerja (panja) Komisi Energi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Skema power wheeling pada dasarnya membolehkan perusahaan swasta membangun pembangkit listrik energi baru dan energi terbarukan serta menjual listriknya kepada pelanggan rumah tangga maupun industri. Transmisi listrik dari pembangkit listrik swasta kepada konsumen tersebut menggunakan jaringan distribusi serta transmisi milik PT PLN (Persero) melalui open source dengan membayar tarif yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia.
Mekanisme tersebut dianggap bisa menjadi solusi untuk akselerasi industri energi baru dan terbarukan di Tanah Air. Namun ide skema power wheeling kerap dikritik lantaran PLN selama ini mengalami surplus listrik. Karena itu, Eddy menganggap skema power wheeling terbatas untuk daerah tertentu bisa menjadi solusi agar tidak memberatkan PLN, tapi juga bisa mempercepat penerapan energi baru dan terbarukan.
"Common ground yang akan kami capai dengan pemerintah supaya daerah-daerah yang masih sulit dijangkau, yang belum ada jaringan PLN, akan mendapatkan kesempatan untuk pihak ketiga ikut membeli energinya," kata Eddy.
Belum Ada Kesepakatan
Namun klaim dalam keterangan pers tersebut dibantah anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto. Politikus Partai Keadilan Sejahtera itu mengatakan perkara power wheeling tidak masuk daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU EBET. Karena itu, pembahasan dan kesepakatan yang disampaikan Eddy tersebut tidak ada. "Tidak ada kesimpulan tersebut dalam rapat panja. (Power wheeling) adalah wacana yang muncul dalam lingkup internal pemerintah dan akhirnya hilang, tidak masuk DIM," tuturnya.
Mulyanto mengatakan saat ini pembahasan RUU EBET di tingkat panja masih belum banyak kemajuan. Pemerintah masih akan memperbaiki dan menjelaskan ihwal energi baru. Ia berharap pembahasan aturan itu bisa rampung pada tahun sidang 2022-2023.
Anggota Komisi Energi DPR, Mulyanto. Dok. DPR
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Dadan Kusdiana, juga menepis adanya pembahasan skema power wheeling dalam RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan. "Tidak ada power wheeling dalam DIM pemerintah," ujar dia.
Klausul power wheeling sebelumnya didorong oleh sebagian anggota DPR dengan tujuan mempercepat penyediaan energi bersih. Musababnya, skema ini dianggap memudahkan transfer listrik dari pembangkit EBT ke konsumen. Ketua Komisi Energi DPR, Sugeng Suparwoto, menjelaskan, produsen energi bersih nantinya tinggal menyewa jaringan listrik PLN untuk mengalirkan energinya. "Nanti diatur biaya sewa jaringan yang tepat," ujar dia.
Skema itu pun didorong karena Indonesia memiliki target pengurangan emisi yang perlu dicapai dalam waktu dekat. Kendati demikian, sebagian anggota DPR lainnya sempat khawatir akan adanya risiko tambahan beban untuk PLN, terutama di tengah berlebihnya kapasitas pembangkit dan penurunan konsumsi listrik.
Usulan tersebut lantas ditolak oleh pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menegaskan penolakan tersebut seusai rapat dengar pendapat bersama Komisi Energi DPR, Selasa, 24 Januari lalu. Ia memastikan tidak ada klausul soal power wheeling dalam DIM yang diserahkan ke DPR. Namun ia menjamin kewajiban pemerintah menyediakan energi baru dan bersih dalam sistem kelistrikan tidak akan luput dari RUU EBET.
Sebelum pernyataan Arifin Tasrif, Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir juga menyampaikan sinyal penolakan. Ia mengatakan skema power wheeling bakal tetap menjadi opsi untuk mengembangkan energi baru dan energi terbarukan. Namun mekanisme tersebut sulit dilakukan dalam waktu dekat, mengingat adanya kelebihan pasokan listrik yang harus dibayar PLN karena terikat skema take or pay. "Pasokan listrik dari EBT dapat saja memasok untuk jaringan transmisi PLN setelah kelebihan pasokan energi listrik mulai mereda," ujarnya dalam keterangan tertulis pada 5 Desember 2022.
Dibutuhkan untuk Masa Depan
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyayangkan timbul-tenggelamnya pembahasan power wheeling dalam RUU EBET. Musababnya, aturan itu semestinya direncanakan untuk jangka panjang. Jadi, power wheeling pun diperlukan untuk mendorong perkembangan dan investasi energi terbarukan di Tanah Air. "Kekhawatiran skema ini akan memperpanjang kondisi overcapacity PLN tidak beralasan, asalkan skema itu dibatasi hanya untuk energi terbarukan," ujar dia.
Petugas PLN melakukan perbaikan jaringan listrik di Depok, Jawa Barat, 5 Januari 2023. ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Skema power wheeling, kata Fabby, sebenarnya bukan konsep baru. Skema itu sudah ada dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015 dan Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2021. Namun konsep itu tidak bisa dijalankan karena ketentuan itu hanya ada pada tingkat peraturan menteri. Untuk bisa dieksekusi, ketentuan itu perlu payung hukum yang lebih tinggi.
Fabby berujar, beberapa aspek yang bisa menjadi pertimbangan DPR dan pemerintah untuk membahas kembali skema ini adalah adanya kebutuhan konsumen yang ingin menggunakan listrik rendah karbon atau listrik dari energi terbarukan. Saat ini kebutuhan itu belum dapat dipenuhi PLN. Di samping itu, adanya skema power wheeling bisa meningkatkan minat pengembang untuk membangun pembangkit energi terbarukan dan menjualnya langsung ke konsumen. Selama ini, pengembangan energi terbarukan terhambat karena pembelinya hanya PLN. Dengan adanya konsep renewable power wheeling, potensi energi terbarukan bisa dimanfaatkan dan tidak perlu menunggu PLN mau membeli listrik.
"Tidak hanya listrik untuk pemanfaatan langsung di konsumen. Pengembang juga bisa mengirim listrik dari energi terbarukan lewat jaringan listrik PLN untuk memproduksi hidrogen hijau langsung di kawasan industri yang membutuhkan," ujar dia. Jadi, power wheeling bisa membuka peluang tumbuhnya industri hijau yang membawa banyak manfaat untuk negara.
Tanpa adanya skema tersebut, Fabby yakin RUU EBET menjadi tidak jelas arahnya. Terlebih di dalamnya justru memuat sumber energi tidak terbarukan, seperti batu bara tercairkan, batu bara tergaskan, gas metan batu bara, dan nuklir, sebagai energi baru yang mendapat insentif. Sementara itu, energi-energi terbarukan justru tidak diuntungkan. "Jangan melulu kebijakan power wheeling dibilang merugikan keuangan PLN. Padahal skema ini juga bisa dimanfaatkan oleh anak perusahaan atau subholding PLN yang perlu menambah portofolio pembangkit energi terbarukannya," ujar Fabby.
CAESAR AKBAR | VINDRY FLORENTIN | RIRI RAHAYU
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo