Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN tahun sudah Rusman, 57 tahun, hidup seperti paria di negeri sendiri. Semua birokrasi pemerintahan menjauhinya seakan ia pernah berbuat makar atau mengkhianati Tanah Air. Tengoklah status lelaki tua ini. Kendati sudah lama menikah dan memiliki dua anak yang kini sudah dewasa, negara tetap menganggap bapak ini sebagai bujangan.
Akibatnya, selama bertugas sebagai pe-gawai Dinas Pariwisata Kabupa-ten Kuningan, Jawa Barat, ia tak pernah mendapat tunjangan untuk anak dan istri. Kini, sesudah pensiun dan bila kelak ia meninggal, istrinya pun tak berhak menikmati uang pensiun. "Sam-pai pensiun ini, saya masih di-hitung sebagai bujangan," ujarnya pasrah.
Semua kesulitan itu terjadi lantar-an Rusman menganut ajaran Sunda Wiwitan. Kantor catatan sipil di de-kat tempat tinggalnya di Cigugur, Ku-ning-an, tak mengakui pernikahannya. Pe-ga-wai di sana berdalih belum ada pe-tun-juk pelaksanaan yang membo-leh-kan pengesahan pernikahan adat ala Sunda Wiwitan.
Dalam kolom agama di kartu tanda penduduknya cuma terlihat tanda ku-rung dan di tengahnya diberi tanda strip. Di masa Orde Baru dulu, tanda seperti itu kerap membuatnya dicurigai di mana-mana. Pria bertubuh tam-bun itu dikira ateis atau pengikut partai terlarang.
Kepahitan hidup akibat diskrimina-si birokrasi seperti itu tak cuma diala-mi Rusman, tapi semua penganut Sun-da Wiwitan. Situasi itu tak banyak ber-ubah, pun pada zaman reformasi se-karang, ketika negeri ini sudah 61 tahun lepas dari belenggu penjajahan.
Kalau sekarang mulai ada catatan sipil di luar Cigugur yang mau meng-akui pernikahan pengikut Sunda Wiwit-an, "Itu setelah kita mengajukan gugatan ke pengadilan," kata De-wi Kanti, 30 tahun. Perempuan pengikut Sunda Wiwitan itu termasuk gigih me-lakukan advokasi bagi komunitasnya.
Sunda Wiwitan merupakan salah sa-tu aliran kepercayaan yang terhitung paling tua di Indonesia. Djatikusuma-, ayah Dewi-yang kini jadi kokolot alias pimpinan Sunda Wiwitan-menyebut kepercayaan itu sudah dianut orang Sunda sejak zaman dulu, jauh sebelum masuknya agama-agama besar yang kini diakui di Indonesia. Namun keyakinan itu tak disebut agama, melainkan wiwitan, yakni kepercaya-an yang pertama kali.
Mula-mula, masih menurut Djatikusuma, kepercayaan itu ditujukan kepada matahari yang bersinar, bebatu-an besar, atau pepohonan besar. Kemudian berkembang menjadi kepercayaan kepada Gusti yang satu. Mere-ka menyebutnya Sanghyang Kersa (Yang Maha Kuasa), Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Batara Jagat (Pe-nguasa Alam), atau Batara Seda Niskala (Yang Maha Gaib).
Pada awal 1920-an Pangeran Madra-is, yang tadinya seorang kiai dan memi-liki pesantren, menggali kembali ajaran nen-ek moyang tentang Sunda Wiwitan. Ajarannya dikenal juga dengan agama Djawa Sunda. Tokoh inilah yang menetapkan tanggal satu Suro se-bagai hari besar Seren Taun-pesta panen yang dilarang semasa Orde Ba-ru.
Setelah Madrais meninggal pada 1939, ajarannya diteruskan anaknya, Pa-ngeran Tejabuana, dan cucu-nya, Djatikusuma, kini 74 tahun. Pada 11 Juli 1981, Djatikusuma mendirikan -Pa-guyuban Adat Cara Karuhun U-rang (PACKU) untuk melestarikan ajaran nenek moyang orang Sunda.
Seperempat abad berjalan, komuni-tas yang kini ditaksir berjumlah tiga ribu orang ini tetap mengalami peng-ing-karan hak-hak sipil dari ne-ga-ra. Tak hanya soal pernikahan, kesulit-an ju-ga dialami saat mengurus surat izin me-ngemudi (SIM) atau kartu keluarga.
Pendeknya, masalah selalu muncul da-lam urusan yang di dalamnya ada kolom agama yang harus diisi. Maklum, menu isian kolom hanya menampung agama yang diakui negara. Sedangkan kepercayaan Sunda Wiwitan tak ada di dalamnya.
Menghadapi situasi seperti itu, ada penganut Sunda Wiwitan yang mencari jalan gampang dengan menipu dirinya sendiri-sekaligus menipu si petugas-dengan menyebut agama ter-tentu. Tapi Rusman dan Dewi Kanti berkukuh untuk bersikap jujur.
Alhasil, butuh waktu lama bagi mereka, komplet dengan penjelasan panjang lebar dan berbuih-buih, untuk sekadar mendapat kartu identitas. Dewi, misalnya, baru memperoleh KTP DKI Jakarta setelah mengurus dan menunggu lebih dari tiga tahun.
Kendati ngotot menuntut hak-hak sipilnya agar disamakan dengan warga yang lain, komunitas Djatikusuma tak terlalu pusing dengan urusan peng-akuan dari negara tentang keper-ca-yaannya. Mereka tak butuh peng-akuan sebagai agama baru. "Tidak men-cari pengakuan," kata Djatikusuma, "Kami hanya meminta pengertian agar pengikut Sunda Wiwitan tak diganggu dalam menjalankan ke-percayaan." n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo