Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Setelah Cap Pembangkang Dilekatkan

Pemeluk Parmalim susah memperoleh akta perkawinan dan akta kelahiran. Membangun rumah ibadah pun tak bisa.

14 Agustus 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Diperlakukan kurang adil bukan cerita baru bagi Jaya Damanik, 39 tahun. Sejak duduk di bangku sekolah dasar di kampung halamannya di Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, ia bingung tiap kali harus mengikuti pelajaran agama.

Mayoritas teman di kelasnya meng-ikuti pelajaran agama Kristen. Lanta-ran tak menganut Kristen, bersama beberapa anak lain-yang biasanya beragama Islam-ia keluar kelas. Me-re-ka kemudian dikumpulkan untuk mengikuti pelajaran agama Islam.

Persoalannya, Jaya pun bukan peng-anut Islam. Ia pemeluk Parmalim, kepercayaan kuno suku Batak di Tapa-nuli, Sumatera Utara. Kepercaya-an itu tak diajarkan di sekolah dan tak diakui negara. Akibatnya, pengalam-an serupa terus ia rasakan sampai di bangku kuliah.

Kesulitan Jaya berlanjut saat ia me-mi-nang gadis pujaannya, Herta Si-manjuntak, tujuh tahun silam. Kantor ca-tatan sipil Toba Samosir tak mau me-nerbitkan akta pernikahan. Ketika dua anaknya lahir, "Mereka juga tak mem-peroleh akta kelahiran," ujarnya. Bun-tutnya, semua anggota keluarga guru Sekolah Menengah Pertama 44 Medan, Sumatera Utara, itu tak men-dapat tunjangan dari instansinya.

Peng-anut Parmalim memperca-yai -Tu-han Yang Masa Esa yang me-re-ka sebut Mulajadi Nabolon. Salah sa-tu ka-rak-ter mereka yang menonjol ada-lah memen-tingkan kearifan lokal. Pa-da saat menebang pohon, misalnya, pene-bang harus berusaha agar pohon ja-ngan sampai menimpa anak pohon lain.

Bila penebang tak mampu meme-nuhi persyaratan itu, ia harus diganti dengan orang lain. Saat me-metik umbi-umbian yang menjalar, peng-anut Parmalim tak bisa melakukan ba-bat habis. Tunas mesti disisakan agar ta-naman bisa tumbuh kembali.

Kearifan juga tecermin saat mereka- me-ngerjakan suatu hal, karena peng-anut Parmalim mengenal istilah parso-lamo alias pembatasan. Tingkat kedewasaan seseorang dinilai dari seberapa besar ia bisa membatasi diri. Dalam meng-konsumsi makanan, contohnya, peng-anut Parmalim dilarang makan ba-bi, anjing, darah, dan barang curian.

Para penghayat Parmalim mulai ter-desak ketika penjajah Belanda masuk ke pedalaman Tapanuli sambil memba-wa agama Nasrani. Menurut Sekreta-ris Penghayat Kepercayaan Parmalim, Mo-nang Naipospos, saat itu Imam Par-ma-lim, Si Singamangaraja, menyerukan perlawanan teologis terhadap zend-ing, sekaligus perlawanan politik me-nentang penjajahan Belanda di tanah Batak.

Tak ayal, Belanda melakukan segala cara untuk menyingkirkan mere-ka. Dari penciptaan stigma sebagai kaum pembangkang, penganut paganisme, hingga kanibalisme. Para pemeluk Parmalim diburu, dan upacara keagamaan mereka dilarang. Perlahan-lahan jumlah pemeluk Parmalim pun menyusut. Banyak penganutnya masuk agama Nasrani atau Islam.

Namun, Parmalim tak benar-benar habis. Ketua Parmalim Kota Madya Medan, Maruli Hamonangan Sirait, menyebut kini masih ada sekitar 5.000 keluarga penghayat tersebar di seluruh Indonesia. Di Toba Samosir, daerah pusat Parmalim, masih terdapat sekitar 1.000 keluarga. Adapun di Huta Tinggi, pusat ibadah mereka, ada 10 keluarga pemeluk Parmalim.

Mereka terus mempertahankan ke-per-cayaannya, meski terus didera ber-ba-gai kesulitan beribadah dan diskri-mi-nasi oleh birokrasi pemerintah. "Hing-ga kini penganut Parmalim su-sah mendapatkan akta pernikahan dan akta kelahiran," ujar Monang, yang juga cucu bungsu Raja Mulia Nai-pos-pos, pemimpin Parmalim pasca-Si Singamangaraja. Berbagai urusan administrasi pun terhambat gara-gara ada kolom agama yang harus diisi.

Bahkan rumah ibadah tak bisa mere-ka dirikan. Rencana pembangunan Ru-mah Persaktian Parmalim di kawasan Air Bersih, Medan, kini terbengkalai akibat penolakan warga. "Kami sa-ngat memerlukan tempat pertemuan ka-rena tempat yang ada selama ini sudah tak bisa menampung kami," ujar Ma-ruli.

Seorang warga yang rumahnya tepat di sebelah tanah tempat akan di-ba-ngun Rumah Persaktian menyatakan me-nolak rencana itu karena penghayat Parmalim tak melaksanakan peraturan Huria Kristen Batak Protestan. Ia juga khawatir warga akan terpengaruh ajaran Parmalim. "Kekhawatiran yang berlebihan," kata Maruli.

Wakil Bupati Toba Samosir, Mindo Tua Siagian, mengaku telah berusaha mem-bantu pemeluk Parmalim. "Ha-nya, kita terbentur aturan dari Jakarta," ujarnya. Tapi, sikap bersembunyi di balik kebijakan Jakarta itu dikritik Maruli dan Monang. Dalam surat ke Bupati Toba Samosir, mereka menu-lis, "Kami belum merdeka."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus