PHIO bukan alat pembayaran yang sah. Meskipun begitu selembar
kertas bertulisan huruf Cina dengan kode-kode tertentu itu
beredar luas di kalangan pedagang, khususnya nonpri Cina di
Tanjungpinang, Kepulauan Riau. Kertas itu bisa untuk transaksi
dagang, bisa juga untuk berjudi.
Phio bersumber pada praktek bank gelap yang jumlahnya belasan di
Tanjungpinang dan mulai diusut pertengahan November silam. Tapi
rupanya hingga kini belum ditindak pihak berwajib. Masih
mengambang, kata orang sana. Atau menurut Polri Kores 404
Kepulauan Riau, "masih diperlukan bukti tambahan sebelum perkara
itu dilimpahkan ke kejaksaan." Beberapa orang yang diduga pelaku
atau kaki-tangan bank gelap itu sudah diperiksa meskipun tidak
ditahan.
Semenjak pecah berita tentang digunakannya dollar Singapura
sebagai alat pembayaran umum di Kepulauan Riau, perhatian dari
pusat lebih tersorot ke sana. Apalagi tatkala akhir November
Bupati Murwanto melarang pemilikan dan penggunaan uang asing di
kawasan itu, disertai ancaman hukuman 15 tahun bagi yang tidak
mematuhinya.
Awal Desember Gubernur Pembantu Bank Indonesia, Durmawel Achmad
SH, berkunjung ke sana. Di hadapan Muspida Durmawel tidak
mempermasalahkan pemilikan dan penggunaan valuta asing yang
dilarang Bupati, meskipun kemudian larangan itu dicabut. Memang
larangan itu cukup ganjil. Tapi tidak kurang aneh adalah praktek
bank gelap yang sudah 10 tahun berjalan.
Dipelihara
Praktek bank gelap sebelum 1970 sudah berlangsung secara
kecilkecilan. Makin lama terus berkembang dan diorganisasikan
dengan baik. Modalnya pun selain dari nasabah, juga diatur dari
pengusaha di Singapura dan Jakarta," begitu sumber TEMPO yang
paham liku-liku operasi bank gelap. Disebutkannya juga ada dua
bank gelap yang kuat, satu berpusat di toko V dan satunya lagi
di toko RS. Dari 1300 pengusaha di Tanjungpinang, 70%
diperkirakan sebagai nasabah mereka.
Ada pun sasaran utama bank gelap ialah perdagangan valuta asing,
khususnya dollar Singapura. Kerja mereka tidak repot. Mereka
membeli draft-draft dari bank valuta yang resmi, yaitu BNI 46
dan BDN dengan nilai ratusan ribu dollar. Ini terbukti dari
penjualan draft di BNI 46 dan BDN sampai S$22 juta lebih selama
3 bulan terakhir ini. Di BNI 46 misalnya pernah dalam sehari
terjual S$ 500.000.
Dengan modal sekian, bank gelap menjual dollar Singapura kepada
para nasabah yang umumnya memerlukan valuta asing itu dalam
jumlah kecil antara S$ 1.000 sampai S$ 10.000. Kelebihan bank
gelap, mereka berani menjual lebih rendah beberapa point dari
harga jual bank-bank valuta resmi. Pada November 1981 misalnya,
tatkala harga jual resmi bergerak antara Rp 311,50 - Rp 314
untuk S$ 1, bank gelap berani melepas antara Rp 308 - Rp 310.
Begitu pula harga beli untuk S$ 1 bergerak antara Rp 306, 50 -
Rp 308.
Dengan keuntungan beberapa point itu nasabah lebih tertolong
karena tidak harus menunggu lama, seperti di bank valuta resmi.
Para pembeli segera menerima phio-phio yang bisa ditukarkan di
mana saja relasi dagang mereka berada, tidak terkecuali di
Singapura.
Satu kemudahan lain yang diberikan kepada para nasabah ialah
bank gelap selalu bersedia menombok andaikata deposito nasabah
kebetulan kurang dari jumlah yang diperlukan. Lagipula menurut
beberapa pengusaha, bank valuta resmi tidak bergairah melayani
pembelian draft yang bernilai rendah, kecuali S$ 10.000 ke atas.
Ada dugaan, praktek mempersulit pembelian semacam itu sebagai
disengaja oleh oknum-oknum bank pemerintah untuk memberi
kesempatan bank-bank gelap beroperasi. Tapi kalangan bank
pemerintah membantah. "Draft dengan nilai S$ 500 pun dilayani
dan beres dalam waktu 5 menit," kata sumber TEMPO di BNI 46.
Ditambahkannya bahwa kalangan pengusaha dan pedagang di
Tanjungpinang belum punya kesadaran perbankan yang baik, lebih
suka goyang kaki sambil diurus calo.
Satu-satunya pihak yang paling terpukul karena praktek bank
gelap ialah CV Orici Va, sebuah perusahaan money changer.
"Mereka bisa jual dollar seenaknya dan rendah karena tak kena
pajak," kata Mokiatno dari Orici Va. Tapi dia pun tidak begitu
gembira akan prakarsa beberapa bank gelap yang belakangan ini
sibuk minta izin untuk membuka usaha di bidang tukar-menukar
valuta. "Nanti mereka itu menggantungkan kepala kambing, tapi
yang dijual daging babi," ujar Mokiatno khawatir. Pihak
perbankan di Tanjungpinang juga keberatan, antara lain karena
"tak ada jumlah valuta yang akan digaruk dengan perusahaan
sebanyak itu," komentar sumber di BNI 46.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini