Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kritik Buat Pekerja Santai

Tanggal 13 Des'81 kantor berita Antara berusia 44 thn. Sejumlah konsumennya, baik koran daerah maupun Jakarta, menganggap bahwa banyak berita yang disajikan agak sumir dan dangkal.

19 Desember 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANTOR berita Antara tampak masih mengecewakan pelanggannya. Iman Sutrisno, Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), pernah jengkel gara-gara buletin Antara tak memberitakan suatu peristiwa pembunuhan bengis. Sesosok mayat yang terpotong-potong pada pagi hari (23 November) itu ditemukan terbungkus dalam dua dus di tepi Jl. Jenderal Sudirrnan, Jakarta. Sehari kemudian, seluruh koran ibukota memuat beritanya panjang lebar, disertai foto. Tapi tak sebuah koran pun di Yogyakarta, yang antara lain mengandalkan pemberitaan Antara, menurunkan berita peristiwa tadi. Kantor berita itu tak melaporkannya. Kasus pembunuhan sadis itu, kata Iman, sesungguhnya "berita kriminal (berskala) nasional." Sebaliknya kantor berita itu justru "hampir selalu memberitakan peristiwa pencopetan di Jakarta. Tapi apa pentingnya soal itu buat koran daerah?" tambah Iman. Kantor berita itu --pada 13 Desember tepat berusia 44 tahun--seolah bekerja santai--tidak merasa bersaing. Sejumlah konsumennya, baik koran daerah maupun Jakarta, menganggap bahwa banyak berita yang disajikannya agak sumir dan dangkal. Seringkali pula ia ketinggalan sepur. Djok Mentaja, Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post, secara khusus menyebut peristiwa diadilinya sejumlah orang yang didakwa terlibat dalam pembunuhan Presiden Anwar Sadat. Berita itu hanya sepanjang setengah folio dari pelayanan Antara, hingga "Serba tanggung untuk dijadikan berita utama, sementara banyak pembaca menunggunya," ujar Djok. Seorang anggota redaksi Kompas juga mengemukakan pendapat serupa. Menurut dia, banyak berita luar negeri yang diturunkan Antara memuat fakta belaka--tanpa disertai latar belakang. "Bahkan penerjemahannya seringkali kurang tepat," katanya. Karenanya, dia lebih suka memakai berita pelayanan langsung dari AFP, AP dan pemberitaan berbagai koran asing, seperti International Herald Tribune. Mestinya memang, demikian Iman Sutrisno, Antara bisa menyajikan berita luar negeri dengan lebih lengkap dan bagus. Tapi harapan semacam itu tampak akan sulit dipenuhinya. Kenapa? Karena pada dasarnya "kantor berita hanya menyajikan berita singkat (spot news) saja," jawab Mohamad Nahar, Wakil Manajer Antara. Juga kantor berita itu sulit memenuhi keinginan para langganannya akan berita penting yang ditulis lengkap dan tidak perpecah-pecah. "Sebab berita dari luar negeri (UPI, Reuter, maupun AFP) pun datang (lewat teleprinter) sebagian demi sebagian," katanya. Sementara itu dalam rubrik nasional, ibukota dan daerahnya, kantor berita itu banyak menyiarkan pidato (pernyataan) dan kunjungan pejabat. Pada edisi 11 Desember sore (Nasional), misalnya, Antara mengutip secara panjang lebar pidato Brigjen Haryono P., Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat, dalam acara penyerahan surat keputusan pensiun buat Brigjen Mistar Tjokrokusumo, Cubernur Kalimantan Selatan. Jelekkah? "Berita pidato boleh saja, asal menarik dan tidak dangkal," kata Ruba'i Kacasungkana, anggota redaksi Surabaya Post. Tapi Widminarko, Wakil Pemimpin Redaksi Bali Post (Denpasar), jelas menyayangkan jika kantor berita itu lebih banyak memuat pidato, dan berbagai pernyataan pejabat."Hal semacam itu jelas tak diperlukan koran daerah," katanya. Dengan alasan itulah maka Waspada (Medan) maupun Suara Merdeka (Semarang) lebih suka memuat tulisan oleh korespondennya sendiri di Jakarta. "Biasanya (laporan koresponden sendiri) cocok dengan kebijaksanaan kami," kata Suwarno SH, pemimpin Redaksi Suara Merdeka. Sering Njlimet Avent Kuang, anggota redaksi Kompas, menganggap banyak berita daerah Antara kurang lengkap. Berita daerah yang bersifat human interest, menurut dia, justru lebih banyak diambilnya dari kantor berita PAB dan KNI. Dia baru akan mengambil berita daerah dari Antara, katanya, jika koresponden sendiri tak menulis, juga jika masalah yang ditulis kantor berita tadi dikaitkan dengan kepentingan nasional. Karenanya, jarang sekali koran terkemuka di Indonesia itu mengutip berita daerah dari kantor berita tadi. Bahasa yang dipergunakan kantor berita itu, demikian Suwarno, selain kacau komposisi pemberitaannya juga sering njlimet, dan kurang teliti dengan data. Dengan terus terang Mohamad Nahar mengakui kekurangan tersebut. Untuk meningkatkan ketrampilan wartawan daerah (berjumlah sekitar 100 orang), kantor berita itu merencanakan penataran terus-menerus. "Tapi kami terbentur pada soal keuangan," katanya. "Sebab untuk memanggil mereka ke Jakarta kami membutuhkan biaya besar." Beban tersebut terasa semakin berat mengingat kantor berita itu selalu defisit. Tahun ini defisitnya diperkirakan akan mencapai Rp 100 juta. Kendati demikian, secara berangsur kantor berita itu menatar wartawannya (berjumlah 100 orang, dengan usia rata-rata 40 tahun) yang berada di Jakarta. Buat sementara Nahar mengakui bahwa sebagian wartawannya suka nongkrong di Hubungan masyarakat. Jenis ini disebutnya sebagai wartawan yang "tunggu muntahan". Wartawan macam begini biasanya tak akan menghasilkan berita bagus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus