KANTOR berita Antara tampak masih mengecewakan pelanggannya.
Iman Sutrisno, Pemimpin Redaksi Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta),
pernah jengkel gara-gara buletin Antara tak memberitakan suatu
peristiwa pembunuhan bengis.
Sesosok mayat yang terpotong-potong pada pagi hari (23 November)
itu ditemukan terbungkus dalam dua dus di tepi Jl. Jenderal
Sudirrnan, Jakarta. Sehari kemudian, seluruh koran ibukota
memuat beritanya panjang lebar, disertai foto. Tapi tak sebuah
koran pun di Yogyakarta, yang antara lain mengandalkan
pemberitaan Antara, menurunkan berita peristiwa tadi. Kantor
berita itu tak melaporkannya.
Kasus pembunuhan sadis itu, kata Iman, sesungguhnya "berita
kriminal (berskala) nasional." Sebaliknya kantor berita itu
justru "hampir selalu memberitakan peristiwa pencopetan di
Jakarta. Tapi apa pentingnya soal itu buat koran daerah?" tambah
Iman.
Kantor berita itu --pada 13 Desember tepat berusia 44
tahun--seolah bekerja santai--tidak merasa bersaing. Sejumlah
konsumennya, baik koran daerah maupun Jakarta, menganggap bahwa
banyak berita yang disajikannya agak sumir dan dangkal.
Seringkali pula ia ketinggalan sepur.
Djok Mentaja, Pemimpin Redaksi Banjarmasin Post, secara khusus
menyebut peristiwa diadilinya sejumlah orang yang didakwa
terlibat dalam pembunuhan Presiden Anwar Sadat. Berita itu hanya
sepanjang setengah folio dari pelayanan Antara, hingga "Serba
tanggung untuk dijadikan berita utama, sementara banyak pembaca
menunggunya," ujar Djok.
Seorang anggota redaksi Kompas juga mengemukakan pendapat
serupa. Menurut dia, banyak berita luar negeri yang diturunkan
Antara memuat fakta belaka--tanpa disertai latar belakang.
"Bahkan penerjemahannya seringkali kurang tepat," katanya.
Karenanya, dia lebih suka memakai berita pelayanan langsung dari
AFP, AP dan pemberitaan berbagai koran asing, seperti
International Herald Tribune.
Mestinya memang, demikian Iman Sutrisno, Antara bisa menyajikan
berita luar negeri dengan lebih lengkap dan bagus. Tapi harapan
semacam itu tampak akan sulit dipenuhinya. Kenapa? Karena pada
dasarnya "kantor berita hanya menyajikan berita singkat (spot
news) saja," jawab Mohamad Nahar, Wakil Manajer Antara. Juga
kantor berita itu sulit memenuhi keinginan para langganannya
akan berita penting yang ditulis lengkap dan tidak
perpecah-pecah. "Sebab berita dari luar negeri (UPI, Reuter,
maupun AFP) pun datang (lewat teleprinter) sebagian demi
sebagian," katanya.
Sementara itu dalam rubrik nasional, ibukota dan daerahnya,
kantor berita itu banyak menyiarkan pidato (pernyataan) dan
kunjungan pejabat. Pada edisi 11 Desember sore (Nasional),
misalnya, Antara mengutip secara panjang lebar pidato Brigjen
Haryono P., Panglima Kodam X/Lambung Mangkurat, dalam acara
penyerahan surat keputusan pensiun buat Brigjen Mistar
Tjokrokusumo, Cubernur Kalimantan Selatan. Jelekkah? "Berita
pidato boleh saja, asal menarik dan tidak dangkal," kata Ruba'i
Kacasungkana, anggota redaksi Surabaya Post.
Tapi Widminarko, Wakil Pemimpin Redaksi Bali Post (Denpasar),
jelas menyayangkan jika kantor berita itu lebih banyak memuat
pidato, dan berbagai pernyataan pejabat."Hal semacam itu jelas
tak diperlukan koran daerah," katanya. Dengan alasan itulah maka
Waspada (Medan) maupun Suara Merdeka (Semarang) lebih suka
memuat tulisan oleh korespondennya sendiri di Jakarta. "Biasanya
(laporan koresponden sendiri) cocok dengan kebijaksanaan kami,"
kata Suwarno SH, pemimpin Redaksi Suara Merdeka.
Sering Njlimet
Avent Kuang, anggota redaksi Kompas, menganggap banyak berita
daerah Antara kurang lengkap. Berita daerah yang bersifat human
interest, menurut dia, justru lebih banyak diambilnya dari
kantor berita PAB dan KNI. Dia baru akan mengambil berita daerah
dari Antara, katanya, jika koresponden sendiri tak menulis, juga
jika masalah yang ditulis kantor berita tadi dikaitkan dengan
kepentingan nasional. Karenanya, jarang sekali koran terkemuka
di Indonesia itu mengutip berita daerah dari kantor berita tadi.
Bahasa yang dipergunakan kantor berita itu, demikian Suwarno,
selain kacau komposisi pemberitaannya juga sering njlimet, dan
kurang teliti dengan data. Dengan terus terang Mohamad Nahar
mengakui kekurangan tersebut. Untuk meningkatkan ketrampilan
wartawan daerah (berjumlah sekitar 100 orang), kantor berita itu
merencanakan penataran terus-menerus. "Tapi kami terbentur pada
soal keuangan," katanya. "Sebab untuk memanggil mereka ke
Jakarta kami membutuhkan biaya besar."
Beban tersebut terasa semakin berat mengingat kantor berita itu
selalu defisit. Tahun ini defisitnya diperkirakan akan mencapai
Rp 100 juta. Kendati demikian, secara berangsur kantor berita
itu menatar wartawannya (berjumlah 100 orang, dengan usia
rata-rata 40 tahun) yang berada di Jakarta.
Buat sementara Nahar mengakui bahwa sebagian wartawannya suka
nongkrong di Hubungan masyarakat. Jenis ini disebutnya sebagai
wartawan yang "tunggu muntahan". Wartawan macam begini biasanya
tak akan menghasilkan berita bagus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini