Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mirza Adityaswara*
Krisis ekonomi Eropa dan gejolak pasar uang Amerika sepanjang 2011 telah mengganggu kinerja pasar saham dunia, termasuk Indonesia. Indeks bursa saham Yunani, negara yang paling parah ekonominya di Eropa, sudah jatuh 49 persen dibanding pada posisi awal 2011. Indeks bursa saham di Asia tidak lebih baik. Indeks bursa saham Hong Kong, Taiwan, dan India jatuh 18 persen. Kendati mengalami penurunan, indeks bursa saham Indonesia masih mencatat kinerja lumayan, naik 3 persen dibanding pada awal tahun. Investor saham melihat faktor positif, yaitu ekonomi Indonesia di tengah resesi dunia masih tumbuh 6,5 persen
Pasar obligasi memperlihatkan kinerja lebih baik ketimbang pasar saham karena inflasi menurun. Membaiknya angka inflasi ke 4,4 persen per Oktober telah membuat hasil Surat Utang Negara (SUN) berjangka 10 tahun merangkak dari 9,5 persen pada Januari ke 6,2 persen pada November tahun ini. Kurs rupiah pada 2011 sempat menguat ke level 8.400 pada Agustus. Namun, karena gejolak di pasar uang Eropa dan pelemahan mata uang negara emerging markets, arus modal mengalir keluar pada kuartal III/2011. Akibatnya, kurs rupiah melemah sekitar 6 persen ke level 8.950.
Arus keluar modal portofolio membuat terjadinya defisit neraca pembayaran US$ 3,9 miliar pada kuartal III/2011, padahal pada kuartal II/2011 masih surplus US$ 11,8 miliar. Untungnya, Bank Indonesia berperan aktif menstabilkan kurs rupiah pada September-Oktober, dengan melakukan intervensi menggunakan cadangan devisa sekitar US$ 10 miliar. BI menjaga pasar keuangan pada saat bergejolak dengan menjual dolar, kemudian rupiahnya digunakan untuk membeli SUN, sehingga dua pasar keuangan tersebut (dolar dan SUN) menjadi stabil. Intervensi di pasar valuta asing itu membuat cadangan devisa turun dari US$ 124 miliar ke US$ 114 miliar pada periode Agustus ke Oktober. Tidak apa, fungsi cadangan devisa memang menjadi bantalan jika terjadi gejolak.
Secara keseluruhan, kinerja sektor keuangan pada 2011 baik. Per September 2011, kredit perbankan melaju 25 persen dibanding tahun sebelumnya. Kecukupan modal perbankan (CAR) masih tinggi, yaitu 16,6 persen, dengan kredit bermasalah hanya 2,7 persen dan pencadangan yang cukup. Likuiditas juga cukup dengan loan-to-deposit ratio di bawah 90 persen dan suku bunga pasar uang antarbank 5 persen, artinya di bawah BI Rate.
Bagaimana kinerja sektor keuangan pada 2012? Situasi krisis ekonomi Eropa dan pulih-tidaknya ekonomi Amerika akan membayangi stabilitas sektor keuangan pada tahun depan. Jika dua problem global tersebut masih berlanjut, dampaknya akan menerpa Indonesia melalui jalur perdagangan (ekspor dan impor) serta jalur pasar uang (suku bunga, yield SUN, dan kurs).
Kita jelas bergantung pada seberapa sukses implementasi solusi krisis Eropa, pemotongan anggaran belanja pemerintah Amerika, serta stimulus Federal Reserve. Situasi ekonomi dunia menjadi parah saat krisis September 2008-Maret 2009 lantaran berhentinya aliran dana di pasar uang, sehingga menimbulkan penurunan drastis kegiatan perdagangan dan investasi di dunia. Bank sentral Amerika, Eropa, dan Jepang serta pemerintah negara maju terpaksa menggelontorkan likuiditas dan rekapitalisasi perbankan triliunan dolar untuk memulihkan situasi. Kini Uni Eropa dan G-20 berusaha agar tragedi penutupan Lehman Brothers pada September 2008 tidak terulang kembali.
Bank Dunia pada Oktober lalu membuat tiga skenario dampak krisis global terhadap ekonomi Indonesia berdasarkan situasi pasar uang dunia. Skenario pertama dinamakan continuing turmoil, mungkin kira-kira seperti kondisi saat ini (Oktober-November), yaitu pasar saham di negara maju berfluktuasi, tidak naik maupun turun tajam, karena ada harapan berhasilnya solusi Eropa dan pemulihan ekonomi Amerika. Berdasarkan skenario ini, maka pertumbuhan ekonomi mitra dagang Indonesia mengalami pemulihan dari 3,3 persen pada 2011 ke 3,9 persen pada 2012, sehingga ekonomi Indonesia tumbuh flat dari 6,4 persen tahun ini menjadi 6,3 persen pada tahun depan.
Dengan skenario bahwa solusi Eropa berhasil dan pemulihan ekonomi Amerika berlanjut, maka kita bisa berharap pasar saham akan mengalami tren positif pada 2012. Namun pemulihan ekonomi dunia akan mendongkrak kembali harga komoditas pangan dan energi sehingga meningkatkan inflasi pada 2012. Jika inflasi naik dari sekitar 4 persen pada tahun ini ke angka 5,3 persen (sesuai dengan asumsi pemerintah di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012), bunga BI Rate yang sekarang 6 persen tidak akan turun lagi karena real interest rate-nya sudah rendah, yaitu hanya 0,7 persen. Akan kita lihat apakah pasar SUN dapat menerima real interest rate itu. Dengan sovereign rating Indonesia yang lebih baik dan suku bunga di luar negeri yang masih sangat rendah, maka aliran modal asing diperkirakan tetap masuk ke pasar SUN serta kurs rupiah akan relatif stabil di kisaran 8.900 atau sedikit menguat. Hal ini akan membantu BI menahan suku bunga nominal BI Rate tetap rendah di level 6 persen walaupun inflasi meningkat.
Dengan skenario pertumbuhan ekonomi 6,3 persen dan inflasi 5,3 persen, artinya pertumbuhan produk domestik bruto nominal 11,6 persen. Pertumbuhan kredit kira-kira akan berada pada rentang 21-25 persen pada 2012 atau sekitar dua kali dari pertumbuhan PDB nominal. Skenario ini cukup realistis.
Skenario Bank Dunia yang kedua dinamakan major financial crisis. Kira-kira yang terjadi adalah solusi Eropa tidak dapat dilaksanakan, kondisi fiskal pemerintah Amerika memburuk, dan ada beberapa bank kecil di Eropa yang goyang sehingga perlu diselamatkan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada skenario ini adalah 5,5 persen. Penurunan permintaan global akan ikut menekan harga komoditas energi dan pangan sehingga inflasi turun, mungkin ke kisaran 4,5 persen. Permintaan kredit pada situasi ini akan tumbuh hanya 12-18 persen. Skenario ini juga cukup realistis.
Situasi terburuk adalah skenario ketiga, yang disebut severe global slowdown. Mungkin mirip atau bahkan lebih buruk ketimbang kebangkrutan Lehman Brothers pada September 2008. Artinya, di Eropa terjadi kebangkrutan institusi keuangan besar dan credit rating Amerika diturunkan. Akibatnya, perbankan global menyetop aliran dana ke perbankan Eropa. Para pengelola dana akan menjual investasinya untuk diparkir di aset yang aman sehingga pasar saham anjlok, yield SUN meningkat menembus 10 persen, dan rupiah melemah melebihi 9.500. Dalam kondisi ini, bank sentral global harus mengucurkan bantuan likuiditas dan segera merekapitalisasi perbankan. Pertumbuhan ekonomi mitra dagang kita akan negatif 1,8 persen.
Kekhawatiran terbesar adalah Eropa tidak mencapai kata sepakat tentang pendanaan buat rekapitalisasi perbankan dan Bank Sentral Eropa ragu untuk mendanai kebutuhan pembiayaan APBN negara-negara Eropa. Situasinya benar-benar chaos. Menurut skenario ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih positif, tapi jatuh ke angka 4,1 persen (bandingkan dengan kondisi pada 2009 ketika Indonesia masih mampu mencetak pertumbuhan ekonomi + 4,6 persen). Pertumbuhan kredit kira-kira hanya 5-10 persen.
Tentu kita mengharapkan skenario ketiga tidak terjadi karena Amerika Serikat dan Eropa serta Cina akan berusaha keras mencegah. Tapi apa yang harus kita siapkan jika skenario ketiga terjadi? Dewan Perwakilan Rakyat harus mendukung penyelamatan ekonomi. Jangan terulang lagi ingar-bingar politik seperti penyelamatan Bank Century. Likuiditas harus tersedia. Suku bunga jangan dinaikkan, giro wajib minimum diturunkan. Fasilitas likuiditas dari Bank Indonesia harus dipermudah. Bank Indonesia dan APBN ikut mengamankan stabilitas pasar SUN. Perbankan jangan tutup keran kredit. Jika diperlukan, pemerintah melakukan penjaminan terhadap impor bahan kebutuhan pokok. Penjaminan simpanan perbankan dinaikkan agar memberi ketenangan pada masyarakat. Undang-Undang Jaring Pengaman Sektor Keuangan harus segera disahkan. Komunikasi serta koordinasi antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan, dan cikal-bakal Otoritas Jasa Keuangan harus diperkuat.
*) Ekonom, Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo