Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Waspada Gelembung Bisa Pecah

Inilah masa keemasan sektor jasa pembiayaan, yang dipicu bunga rendah dan tingginya konsumsi kendaraan bermotor. Tapi tetap ada bahaya bubble.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI-pagi Dodi Kurnia sudah sibuk dengan telepon seluler pintar. Ditemani secangkir kopi, tenaga pemasaran sebuah perusahaan pembiayaan kendaraan di Bandung ini mengirim belasan pesan pendek untuk menawarkan kredit pembelian mobil. Kalimatnya tipikal: "Avanza 09 DP 20 jtan ccl 3 jtan.siap simulasi.pls rply". Dari 30 pesan yang dia kirim dalam sehari, lebih dari setengah merespons.

Dodi mengirim pesan penawaran sebagian besar kepada kerabat dan kenalan yang direkomendasikan rekan-rekannya. Tapi tak tabu pula jika dia menawarkan barang dagangannya kepada orang tak dikenal. Kontaknya dia peroleh dari rekan sesama tenaga pemasaran, baik produk asuransi, dealer mobil, maupun bank. "Untung, saya punya jaringan luas," ujarnya.

Penawaran lewat pesan pendek hanya salah satu cara. Pada akhir pekan Dodi biasa mendatangi berbagai acara di Kota Kembang untuk memasarkan produknya. Ia berusaha keras lantaran harus menggaet minimal 15 nasabah dengan nilai transaksi sekitar Rp 2 miliar tiap dua pekan. Beruntung, beberapa bulan terakhir target itu selalu terpenuhi. "Padahal, di pertengahan tahun, terjual lima mobil saja sudah untung," katanya.

Menjelang akhir tahun, perusahaan pembiayaan kendaraan mati-matian mencari nasabah. Persaingan sengit pun terjadi. Ada yang mengobral barang dengan uang muka rendah, atau cicilan murah. Mereka juga berlomba memajang dagangan di tempat strategis. "Kami pun menyediakan fasilitas test drive," kata Dodi.

Pemasaran yang gigih, disambut tingginya minat konsumen, membuat kinerja perusahaan pembiayaan makin cemerlang tahun ini. Rata-rata mereka bisa melampaui target. Contohnya BFI Finance, yang berhasil menyalurkan pembiayaan hingga Rp 5,2 triliun pada November lalu, melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp 5 triliun pada akhir tahun. Karena pencapaian ini, Direktur BFI Finance Cornellius Henry optimistis akhir tahun nanti pembiayaan bakal tembus Rp 5,5 triliun. "Naik 50 persen dari tahun lalu," kata dia.

Kinerja bulanannya kinclong. September lalu, BFI mencatat kenaikan penyaluran kredit 45 persen atau Rp 4,22 triliun. Dari angka itu, 55 persen disumbang pembiayaan mobil bekas. Sedangkan pembiayaan sewa (leasing) serta kredit mobil dan sepeda motor baru masing-masing mencapai 17 persen, 16 persen, dan 12 persen. Pendapatan terkerek 34 persen menjadi Rp 892 miliar.

Dengan hasil ini, Henry optimistis menggelar sederet ekspansi. Tahun depan BFI berencana membuka 50 cabang baru, menambah total gerai mereka menjadi 200 kantor. "Dengan cara itu, tahun depan kami optimistis penyaluran pembiayaan bisa naik hingga Rp 7 triliun," ujarnya.

Tak kalah cerahnya kinerja Adira Dinamika Multi Finance. Hingga September, mereka membukukan pembiayaan hingga Rp 24,1 triliun, mendekati target akhir tahun: Rp 30,7 triliun. Tahun depan Adira memproyeksikan kenaikan 10 persen.

Tingginya penyaluran kredit menuntut perseroan menambah persediaan dana. Karena itu, Direktur Utama Adira, Stanley Setiaatmadja, merencanakan penerbitan obligasi hingga Rp 6 triliun tahun depan. "Ongkos funding akan semakin besar. Kalau tak terpenuhi dari obligasi, kami akan meminjam ke bank," kata dia.

Melihat kinerja BFI dan Adira, laju pertumbuhan industri pembiayaan nasional agaknya tak akan terbendung. Apalagi ada beberapa faktor pendukung, yakni membaiknya daya beli masyarakat, turunnya suku bunga patokan Bank Indonesia ke level 6 persen, serta maraknya peluncuran produk baru, baik otomotif, elektronik, maupun properti.

Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Wiwik Kurnia meramalkan, total pembiayaan tahun depan bisa tumbuh hingga 20 persen. Becermin ke pencapaian pada akhir tahun ini, yang diperkirakan tembus Rp 300 triliun, penyaluran kredit 2012 bisa mencapai Rp 340 triliun. "Lebih dari separuhnya disumbang pembiayaan kendaraan bermotor," ujarnya.

Lin Che Wei, pendiri lembaga riset Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI), mengatakan bahwa rendahnya suku bunga menjadi faktor pemicu pertumbuhan yang dominan. Bunga yang murah lebih terasa pada kredit konsumsi lantaran bank di Indonesia cenderung "bermain aman", hanya mau memberi pinjaman pada sektor yang berisiko rendah. "Selain aman, kredit konsumsi juga menghasilkan margin laba tinggi," kata dia.

Namun Che Wei memperingatkan tingginya pertumbuhan kredit konsumsi, terutama kendaraan bermotor, bisa menjadi bumerang. Apalagi saat ini tingkat kepemilikan kendaraan melalui sistem kredit mendekati titik jenuh: rata-rata dua unit per keluarga. "Ini berbahaya karena ada risiko kredit macet," ujarnya.

Peringatan yang sama juga disampaikan Bank Indonesia. Otoritas moneter ini khawatir pertumbuhan kredit konsumsi terus membengkak menjadi gelembung ekonomi (bubble), yang sewaktu-waktu bisa pecah, terutama ketika rasio kredit seret membubung.

Data BI menyebutkan, pertumbuhan kredit kendaraan bermotor pada Mei lalu mencapai 31,9 persen dibanding tahun sebelumnya. Kredit mobil tumbuh 58,5 persen, sedangkan sepeda motor 19,7 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kredit konsumsi lain yang mencapai 17,8 persen serta kredit investasi yang tumbuh 29 persen.

Tingginya kredit kendaraan ini disinyalir sebagai dampak uang muka yang rendah. Saat ini perusahaan pembiayaan menetapkan uang muka 5-10 persen sebagai gimmick pemasaran. Inilah yang dinilai berbahaya lantaran mendorong penyaluran kredit kepada konsumen dengan penghasilan tak memadai.

Untuk mengendalikannya, BI berencana mengatur skema kredit melalui acuan loan to value atau rasio kredit terhadap nilai agunan berupa uang muka. Sederhananya, akan ada kenaikan batas uang muka penyaluran kredit. "Namun batasan ini belum ditentukan karena masih berupa kajian," ujar Direktur Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso.

Kebijakan ini dinilai efektif meredam potensi bubble karena bank bisa mengatur porsi kredit yang disalurkan serta menyaring profil konsumen. Namun, yang terpenting, kata Deputi Gubernur BI Hartadi Sarwono, kebijakan ini bisa memicu pergeseran kredit. "Dari sektor yang berpotensi bubble ke sektor yang lebih membutuhkan, misalnya usaha kecil," kata dia beberapa waktu lalu.

Tapi aturan ini menuai reaksi keras dari pelaku industri pembiayaan. Wiwik mengatakan indikasi bubble hingga kini tak bisa dibuktikan lantaran tak ada nilai baku pada level berapa pertumbuhan kredit harus direm. Alasan lainnya, rasio kredit seret masih berada di bawah 2 persen. "Cukup rendah dan masih bisa dikendalikan," ujarnya.

Sedangkan Presiden Direktur Federal International Finance Suhartono mengatakan perusahaan pembiayaan saat ini cukup dewasa menentukan profil risiko nasabahnya. Gimmick uang muka dan bunga yang rendah pun sudah diperhitungkan sehingga tak bakal membahayakan. "Kajian BI itu kami tanggapi positif, hanya sebagai peringatan dini," kata dia.

Meski alarm telah berbunyi, yang jelas penyedia jasa pembiayaan masih akan menikmati masa keemasan beberapa tahun ke depan. Antrean konsumen pun masih akan panjang, seiring dengan turunnya suku bunga dan melejitnya pertumbuhan ekonomi nasional.


Kinerja Industri Multifinance
(Miliar Rupiah)
Periode
Pembiayaan
AsetRasio Kredit
Seret/NPL
%Rp
2009142.539174.4421,912.829
2010186.354230.3011,372.658
Juni 2011212.445259.5481,292.846
2011300.000*277.150**--
2012360.000*340.000*--

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus