Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Surabaya memang panas, bahkan saat jarum jam masih menunjukkan angka 10.00 WIB. Panasnya terasa menyengat. Namun, 18 April lalu, ribuan Bonek terus berdatangan menuju Jalan Embong Malang, yang tak jauh dari lokasi penyelenggaraan Kongres Luar Biasa Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia.
Ruas jalan itu pun berubah menjadi lautan warna hijau, nyaris tak ada warna lain. Jalan itu dipadati massa--disebutkan koordinator lapangan Yanto setidaknya berjumlah sekitar 7.000 orang, yang tidak hanya berasal dari Surabaya. "Mereka datang dari Jakarta, Jawa Tengah. Dari luar Pulau Jawa juga banyak. Dari Batam dan Lombok pun ada," kata Andie Pecie, Ketua Presidium Arek Bonek 1927.
Bonek 1927, yang didirikan dua tahun lalu, adalah pendukung setia klub Persebaya 1927--yang tersisih dari sepak bola nasional selama hampir dua tahun. Itulah yang membuat mereka turun ke jalan.
Aksi ini pun tidak serta-merta dilakukan secara spontan. Bukan karena insiden penamparan terhadap Saleh Ismail Mukadar, Direktur Surabaya 1927, dalam sebuah talk show di sebuah stasiun televisi lokal di Surabaya. "Sudah terencana jauh-jauh hari. Enggak ada hubungannya dengan itu," ujar Andie.
Saleh sendiri membantah jika aksi turun ke jalan itu dilakukan karena insiden yang dialaminya. Menurut dia, Bonek setia kepada Persebaya 1927, bukan kepadanya. Dia juga mengaku tidak pernah mendanai aksi-aksi itu. "Mereka murni biaya sendiri, urunan. Sama sekali enggak ada dari saya," katanya.
Andie Pecie bercerita, ide turun ke jalan muncul setelah kongres tahunan PSSI, Januari lalu, memutuskan pelaksanaan kongres luar biasa akan digelar di Surabaya. Dipilihnya Surabaya, menurut dia, PSSI seolah-olah sengaja memunculkan konflik horizontal.
Bersama rekan-rekannya, yang berjumlah 20 orang, dia menggagas perlu adanya aksi massa besar-besaran turun ke jalan. Mereka membuka rekening untuk menampung sumbangan dari siapa saja yang bersimpati pada gerakan itu. Solidaritas pun berdatangan. Menurut Andie, solidaritas datang di antaranya dari Gerakan Pemuda Ansor, Banser, dan Pemuda Sakerah.
Mereka juga memanfaatkan gerakan di dunia maya. Tak disangka, gerakan melalui media sosial langsung disambut ribuan orang. Bahkan, pada hari pelaksanaannya, tanda pagar SurabayaMelawan pun merajai jagat maya di Twitter. #SurabayaMelawan menjadi salah satu trending topic.
Stadion Gelora 10 November, Surabaya, dipilih menjadi tempat berkumpul sebagai lambang perjuangan Persebaya. Dari sana, mereka melakukan long march menuju tempat penyelenggaraan kongres itu di sebuah hotel di Jalan Embong Malang.
Berbagai macam poster dan spanduk dibentangkan, di antaranya "No Persebaya 1927 We Cry", "Bonek Brebes Melawan", "Get Well Soon PSSI", dan "Bal-balan Indonesia Kakean Aturan tapi Gak Mutu".
Sembari berjalan, mereka meneriakkan yel-yel dan nyanyian dukungan untuk Persebaya dan sepak bola Indonesia. "Hilang semakin hilang, keadilan di negeri ini. Persebaya selalu dizalimi oleh mafia PSSI," terdengar dari mulut mereka.
Dalam aksinya ini, Bonek mengeluarkan tiga pernyataan, yaitu mendukung Presiden RI melawan mafia FIFA demi kedaulatan Indonesia, mendukung Menteri Pemuda dan Olahraga dan Badan Olahraga Profesional Indonesia tegas terhadap PSSI dan PT Liga Indonesia, serta meminta hak PT Persebaya Indonesia dikembalikan.
Tak dinyana, mereka mendapat kabar gembira. Pada saat melakukan aksi, mereka mendapat kabar bahwa Menteri Pemuda dan Olahraga lewat suratnya Nomor 01307 Tahun 2015 telah membekukan kegiatan PSSI.
Keputusan itu disambut gembira. Mereka melakukan sujud syukur dan memekikkan takbir. "Baru pertama ini yang berani terbuka dan konsisten membenahi sepak bola nasional," ujar Andie. Tujuan jangka pendek mereka pun terkabul. Pembekuan ini sesuai dengan harapan mereka.
Massa Bonek pun menepati janjinya. Saat bergabung dengan massa Bonek lain, Ramadhan Rizal menyebut aksi ini sebagai ajang damai. "Enggak ada niat rusuh, kok," ucap pria 20 tahun yang datang bersama empat pendukung Bonek lain dari Surabaya dan Sidoarjo itu. Lewat tengah hari, mereka bubar.
Irfan Budiman, Agita Sukma Listyanti (surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo