Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Main Api Melawan Pasar
Pasar keuangan global tak pernah punya belas kasihan. Begitu ada satu negara terpuruk, mendadak sontak mereka akan mencari-cari negara mana lagi yang bakal terseret. Bulan depan mungkin pegawai negeri dan pensiunan di Yunani tak lagi mendapat bayaran karena pemerintah sudah kehabisan uang. Sampai sekarang belum ada solusi bagaimana caranya mengisi brankas negara nan melompong itu.
Apakah Indonesia yang akan terseret Yunani? Sepertinya nasib Indonesia saat ini masih jauh lebih baik daripada takdir buruk Yunani. Cuma, pasar finansial biasanya tak menuntut dua kondisi yang sama persis untuk menarik suatu kesimpulan. Satu gelagat buruk bisa saja tumbuh menjadi gejolak yang bikin merinding. Riak itu sudah ada. Penerimaan pajak Indonesia untuk kuartal pertama 2005 sangat menyedihkan, hanya 13,65 persen dari target setahun. Ini pencapaian terburuk untuk hasil kuartal pertama dalam lima tahun terakhir.
Sejauh ini belum ada sinyal bahwa pemerintah akan sedikit mengerem program-program yang memerlukan anggaran besar sebagai pencegah menggelembungnya defisit. Padahal, jika tren melemahnya pendapatan pajak ini berlanjut, bakal ada kekurangan Rp 200 triliun dari target Rp 1.296 triliun untuk 2015.
Dalam kondisi genting ini, 22 April lalu terbit Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2015, yang mengatur insentif pajak bagi korporasi. Dalam keadaan penerimaan menurun, kok pemerintah malah menurunkan daya sedot pajak? Ini tidaklah keliru, bahkan sangat perlu. Masalah melesetnya penerimaan pajak ada pada penetapan target yang tidak realistis, perintah dari pucuk pimpinan tanpa peduli betapa ekonomi mulai lesu. Karena itu, jalan keluar dari kecerobohan ini adalah pemangkasan rencana belanja secara drastis, jika pemerintah tetap ingin memiliki bujet yang kredibel. Pada saat yang sama, segala langkah untuk mendongkrak aktivitas ekonomi. Salah satunya PP Nomor 18 Tahun 2015 harus berjalan giat.
Pelambanan ekonomi kali ini serius jika melihat angka-angka kuartal pertama 2015. Menurut Bank Indonesia, ekspansi kredit hanya 11 persen, jauh lebih rendah dari ambang 20 persen, syarat minimal untuk melumasi pertumbuhan ekonomi yang kuat. Angka penjualan mobil dan sepeda motor merosot masing-masing 16 persen dan 19 persen dibanding kuartal pertama tahun lalu. Seorang bankir senior bahkan membisikkan penurunan penyaluran kredit perumahan di banknya. Inilah gelagat awal serangan malaise.
Untuk memerangi kelesuan ini, teorinya, pemerintah semestinya menyuntikkan stimulus dalam bentuk belanja anggaran. Kenyataannya, pemerintah justru harus memangkas pengeluaran karena penerimaan pajak yang jauh dari harapan. Ini seperti lingkaran setan tak berujung. Kunci pemecah kebuntuan ini adalah aliran investasi yang sehat.
Sayangnya, alih-alih sinyal jelas untuk penarik investasi, yang muncul justru retorika yang bertolak belakang. Di World Economic Forum, Senin pekan lalu, Presiden Joko Widodo mengirim sinyal hangat menyambut investor. “Jika ada masalah, telepon saya,” katanya. Dua hari kemudian, Jokowi menilai Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia adalah solusi ketinggalan zaman seraya menyerukan perlunya tata ekonomi dunia baru. Pesan terakhir ini justru memicu peringatan di seluruh lantai bursa. Apakah Indonesia berniat main api dengan sentimen nasionalisme yang lebih kuat sembari menutup pintu terhadap pergerakan modal di pasar finansial global?
Sampai di sini, orang dapat merasakankesamaan kondisi antara Indonesia dan Yunani. Jadi, bersiaplah. Jika kartu domino Yunani mulai jatuh bulan depan, kartu berikut yang terseret roboh bisa jadi adalah kita.
Yopie Hidayat (Wartawan Ekonomi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo