Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ketimpangan dan Pertumbuhan yang Menyengsarakan

PERTUMBUHAN ekonomi sering digadang-gadang sebagai senjata ampuh meningkatkan kesejahteraan, termasuk menghapuskan kemiskinan. Tak mengherankan bila pemimpin daerah dari provinsi hingga kabupaten atau kota di seluruh negeri ini umumnya fasih dengan istilah laju pertumbuhan ekonomi (LPE). Inilah jargon ekonomi yang begitu populer di daerah. Kesuksesan pembangunan daerah umumnya diukur dengan pencapaian LPE yang tinggi.

Hal ini, bila dipikir dengan cermat, sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Di era demokrasi, pemimpin daerah dipilih oleh mayoritas penduduk. Dengan kata lain, konstituen mereka adalah "orang kebanyakan" di daerah tersebut. Kepentingan masyarakat yang seharusnya diperjuangkan.

20 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTUMBUHAN ekonomi sering digadang-gadang sebagai senjata ampuh meningkatkan kesejahteraan, termasuk menghapuskan kemiskinan. Tak mengherankan bila pemimpin daerah dari provinsi hingga kabupaten atau kota di seluruh negeri ini umumnya fasih dengan istilah laju pertumbuhan ekonomi (LPE). Inilah jargon ekonomi yang begitu populer di daerah. Kesuksesan pembangunan daerah umumnya diukur dengan pencapaian LPE yang tinggi.

Hal ini, bila dipikir dengan cermat, sebenarnya cukup mengkhawatirkan. Di era demokrasi, pemimpin daerah dipilih oleh mayoritas penduduk. Dengan kata lain, konstituen mereka adalah "orang kebanyakan" di daerah tersebut. Kepentingan masyarakat yang seharusnya diperjuangkan.

Masalahnya, pertumbuhan ekonomi tidak selalu selaras dengan kepentingan "orang kebanyakan" karena dua hal berikut ini. Pertama, pertumbuhan ekonomi tinggi mencerminkan tumbuhnya balas jasa faktor produksi yang tidak mengenal lokasi. Misalnya, tingginya balas jasa kepemilikan hotel dan restoran di Kota Bandung belum tentu mengalir ke penduduk Kota Bandung. Kedua, pertumbuhan ekonomi adalah indikator rata-rata, bukan indikator kebanyakan. Artinya, kenaikan pendapatan segelintir orang secara ekstrem-walaupun merugikan orang kebanyakan-akan tetap meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jadi jelas kecenderungan pemimpin daerah yang terlalu bernafsu menggenjot semata-mata pertumbuhan ekonomi adalah bentuk pengkhianatan amanat politik terhadap konstituen mereka.

Memang argumen yang menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi diperlukan untuk mengurangi angka kemiskinan didukung oleh banyak bukti empiris. Tapi ada dua hal yang sering dilupakan. Pertama, kecenderungan tersebut tidak selalu berlaku. Sangat mungkin terjadi pertumbuhan ekonomi tapi dibarengi dengan peningkatan angka kemiskinan. Ini yang disebut dalam literatur sebagai ciri pertumbuhan yang menyengsarakan (immiserizing growth). Kedua, kekuatan hubungan di antara keduanya sangat bervariasi. Ada yang hubungannya kuat, ada yang tidak. Banyak faktor lain yang bermain.

Pada 2000-an, di Indonesia terdapat cukup banyak kasus pertumbuhan ekonomi positif yang dibarengi dengan peningkatan angka kemiskinan. Dengan kata lain, terjadi pertumbuhan yang menyengsarakan. Hal ini umumnya terjadi di daerah perkotaan yang justru banyak mengalami pertumbuhan ekonomi sangat tinggi. Sepanjang 2002-2012, misalnya, sepertiga kota di Indonesia mengalami kenaikan tingkat kemiskinan, walaupun perekonomiannya tumbuh positif. Analisis statistik periode yang sama untuk seluruh Indonesia menemukan bahwa hipotesis adanya korelasi antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan tidak terbukti untuk sampel daerah perkotaan.

Karakteristik seperti apa yang membedakan daerah perkotaan dan perdesaan? Tingkat ketimpangan. Data Badan Pusat Statistik terakhir (September 2015), misalnya, menunjukkan bahwa koefisien Gini (indikator standar ketimpangan) perkotaan 33 persen lebih tinggi daripada perdesaan. Perkembangan koefisien Gini nasional juga sangat didominasi oleh perkembangan koefisien Gini perkotaan.

Para ahli ekonomi pembangunan sepakat bahwa efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi angka kemiskinan sangat dipengaruhi oleh kondisi awal dari ketimpangan. François Bourguignon, ekonom Prancis yang banyak dirujuk dalam literatur ketimpangan, menyarikannya dalam konsep growth-poverty-inequality triangle. Pertumbuhan ekonomi pada perekonomian dengan distribusi pendapatan yang lebih merata akan lebih efektif menurunkan angka kemiskinan dibanding perekonomian yang lebih timpang. Karena itu, dengan menggenjot pertumbuhan ekonomi tanpa memprioritaskan pengurangan ketimpangan, kita berisiko terjebak pada pertumbuhan ekonomi yang menyengsarakan. Data menunjukkan ini sudah terjadi di banyak daerah di Indonesia.

Salah satu indikator yang banyak dipakai untuk mengukur efektivitas pertumbuhan ekonomi dalam mengurangi angka kemiskinan adalah elastisitas pertumbuhan terhadap kemiskinan (growth elasticity of poverty atau GEP). GEP mengukur berapa persen penurunan angka kemiskinan setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Data menunjukkan bahwa GEP pada era ketimpangan tinggi (2011-2015, ketika koefisien Gini di atas 0,4) adalah 0,05. Artinya, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi, angka kemiskinan menurun 0,05 persen. Angka ini ternyata hanya setengah dari nilai GEP pada periode ketimpangan yang lebih rendah (2005-2010), ketika setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menghasilkan 0,1 persen penurunan angka kemiskinan. Itu sebabnya, mungkin saja, melemahnya penurunan angka kemiskinan yang baru-baru ini terjadi karena pertumbuhan ekonomi berinteraksi dengan tingkat ketimpangan yang tinggi.

Pengurangan ketimpangan sering disikapi emosional karena diidentikkan dengan kebijakan redistribusi pendapatan yang cenderung sosialis, antimeritokrasi, dan membunuh efisiensi. Padahal redistribusi pendapatan hanya satu dari sekian banyak cara mengurangi ketimpangan. Dan, walau itu terdengar klise, kita sebaiknya mengawali dengan meninjau ulang paradigma bahwa ketimpangan adalah ekses yang tak bisa dihindari dari pertumbuhan ekonomi. Hal ini tanpa disadari masih cukup dominan dijadikan pegangan bagi para pengambil kebijakan di pemerintah pusat dan daerah.

Paradigma ini adalah sisa-sisa pemikiran lama dalam literatur ekonomi pembangunan yang berpegang pada supremasi modal fisik dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Akumulasi modal fisik, katanya, memerlukan ketimpangan. Padahal sejarah membuktikan bahwa inovasi justru adalah kunci pertumbuhan. Dan inovasi didukung oleh kekuatan modal manusia. Ketimpangan justru akan menimbulkan under-investment dalam akumulasi modal manusia (misalnya melalui tidak sempurnanya akses terhadap pasar kredit). Akhirnya, ketimpangan mengganggu pertumbuhan ekonomi. Ini tergambar jelas, misalnya, dalam segitiga yang dikemukakan oleh François Bourguignon.

Bukti empiris yang mendukung hal di atas sudah cukup banyak. Salah satu yang banyak menjadi rujukan adalah penelitian Andrew Berg dan kawan-kawan yang dipublikasikan pada 2012 di Journal of Development Economics. Mereka menemukan bahwa dibanding faktor-faktor lain, distribusi pendapatan adalah faktor terpenting yang mempengaruhi keberlanjutan pertumbuhan. Dengan kata lain, negara-negara yang ketimpangannya rendah cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi tinggi yang lebih lama. Implikasinya, mengurangi ketimpangan tidak hanya harus dilakukan dalam konteks pengurangan angka kemiskinan, tapi juga dalam konteks merealisasi potensi pertumbuhan ekonomi itu sendiri.

Bagaimana mewujudkan hal di atas harus kita kembalikan kepada negara. Namun negara tidak harus menghilangkan ketimpangan karena sebagian ketimpangan adalah "sunatullah". Tapi negara wajib menghilangkan ketimpangan yang disebabkan oleh keadaan (circumstances) di luar kendali individu yang bersangkutan. Individu tidak bisa memilih di mana ia dilahirkan. Apakah di daerah terpencil yang kualitas sekolahnya rendah atau di keluarga yang tidak sanggup memberikan nutrisi cukup untuk perkembangan intelektualnya. Semua harus diberi kesempatan yang sama untuk meningkatkan human-capital.

Semua itu harus terwujudkan dalam anggaran kebijakan sosial yang sebanding. Saat ini proporsi anggaran sosial terhadap produk domestik bruto Indonesia masih salah satu yang terendah di dunia. Di era Joko Widodo, proporsi anggaran untuk belanja sosial bersasaran cenderung stagnan, tampak kecil sekali dibanding peningkatan anggaran infrastruktur. Peningkatan infrastruktur penting untuk pertumbuhan tapi tidak menjamin pengurangan ketimpangan. Peningkatan anggaran sosial, terutama yang bersasaran, harus segera ditingkatkan porsinya.

Kalau tidak, kita masih berada di bawah bayang-bayang paradigma lama: pertumbuhan dulu, distribusi kemudian. Artinya, kita belum keluar dari jebakan pertumbuhan yang menyengsarakan. l

Arief Anshory Yusuf
Direktur Eksekutif Center Of Sustainable Development Goals Studies (SDGS Center) | Universitas Padjadjaran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus