Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAI naik tangga, persidangan terdakwa kasus pembobolan BNI terus naik hingga ke perwira polisi bintang tiga. Setelah Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa, lalu Brigadir Jenderal Samuel Ismoko, Kamis pekan lalu Komisaris Jenderal Suyitno Landung mulai disidangkan di Pengadilan Jakarta Selatan. Mantan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Markas Besar Polri ini diduga menyalahgunakan jabatannya selama menangani kasus pembobolan BNI.
Penyidik polisi ini didakwa oleh jaksa penuntut umum Muhammad Hudi dengan dakwaan berlapis tiga. Dalam dakwaannya setebal 16 halaman, Hudi menguraikan ”dosa-dosa” Suyitno, antara lain kepemilikan mobil Nissan X-Trail seharga Rp 240 juta yang disebutkan sebagai hadiah dari Adrian Woworuntu, direktur grup Gramarindo yang kini sudah divonis hukuman seumur hidup.
Menurut Hudi, munculnya mobil itu bermula dari keinginan Suyitno memiliki mobil operasional. Keinginan tersebut dicetuskan Suyitno kepada Ishak, konsultan bisnis Adrian, pada pertemuan di ruang kerja Suyitno, akhir Desember 2003. ”Inisiatif pertemuan adalah Suyitno. Anak buah Suyitno yang mengundang Ishak untuk bertemu,” kata Hudi kepada Tempo.
Pada pertemuan itu, kata Hudi, Suyitno melontarkan tipe mobil yang diinginkannya: jeep Nissan. Ishak pun lalu menghubungi Adrian yang kemudian menyanggupi pembelian mobil Nissan X-Trail senilai Rp 240 juta. Mobil itu dibeli dari dealer Nissan Automal Mobil di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta Selatan.
Saat pihak dealer mobil meminta KTP Suyitno guna mengurus faktur dan STNK, kata jaksa, Suyitno malah mengirim fotokopi KTP orang lain via faksimile. Kendati foto dalam KTP itu wajah Suyitno, tapi KTP itu atas nama Joko Pradigdo yang beralamat di Jalan Kerja Bhakti RT 07/02 Kelurahan Makassar, Jakarta Timur. ”KTP tersebut ternyata tidak benar atau isinya palsu,” ujar Hudi.
Masih ada kesalahan lain yang dilakukan Suyitno selaku Kepala Bareskrim. Menurut Hudi, Suyitno tidak memberikan petunjuk dan arahan kepada anak buahnya, Komisaris Besar Tubagus Irman Santosa (saat itu Kepala Unit II Perbankan dan Ekonomi Khusus) dan Brigadir Jenderal Samuel Ismoko (saat itu Direktur II Ekonomi Khusus) dalam penyitaan aset-aset BNI.
Padahal, kata jaksa, sebelumnya, Suyitno sudah memerintahkan polisi menyita semua aset milik tersangka pembobol BNI. ”Akibatnya, penyitaan tidak dilakukan seluruhnya,” kata Hudi. Tak hanya itu, saat Irman dan Ismoko tidak menyerahkan seluruh uang hasil penjualan aset-aset senilai Rp 1,45 miliar ke rekening BNI, Suyitno ternyata diam saja.
Jaksa lalu menjerat perbuatan Suyitno dengan pasal-pasal tentang pemberian kado atau hadiah untuk pejabat (gratifikasi) yang diatur UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Menurut UU itu, seorang pejabat dilarang menerima hadiah apa pun yang berkaitan dengan jabatannya. Jika terbukti melanggar pasal ini, Suyitno bisa dipenjara hingga seumur hidup. ”Minimal, ya empat tahun penjara,” ujar Hudi.
Di ruang sidang, Suyitno terlihat kaget saat jaksa mendakwanya dengan tuduhan berlapis itu. ”Dakwaan ini membingungkan saya,” ujarnya. Adnan Buyung Nasution, pengacara Suyitno, menyebut dakwaan itu asal-asalan. ”Dakwaan ini terkesan amburadul,” ujarnya. Kepada Tempo, jaksa Hudi menyatakan ia sama sekali tak terkejut jika Suyitno mengeluarkan komentar semacam itu. ”Ucapan semacam itu jamak disampaikan terdakwa,” katanya.
Suyitno merupakan orang ketiga dari Mabes Polri yang diajukan ke pengadilan dalam kasus pembobolan BNI. Dua lainnya yang lebih dulu disidangkan adalah bekas anak buahnya, Irman Santosa dan Samuel Ismoko. Irman juga didakwa menerima hadiah dari tersangka pembobol BNI, yakni Adrian Herling Waworuntu, Mohammad Arsjad, dan Jeffrey Baso. Pada awal Juni lalu, jaksa menuntut Irman dengan hukuman empat tahun penjara. Ia didakwa melanggar pasal gratifikasi, pasal yang kini juga menjerat mantan bosnya, Suyitno Landung.
Adapun Ismoko didakwa menerima cek perjalanan dari BNI Rp 200 juta. Selain itu, menurut jaksa Sahat Sihombing, Ismoko telah melakukan kesalahan karena memerintahkan anak buahnya memeriksa Dicky Iskandar Di Nata, Direktur Utama PT Brocolin Internasional, di sebuah kamar di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, pada Oktober 2003.
Juniver Girsang, pengacara Ismoko, menyatakan kliennya memang mengakui menerima cek perjalanan itu. Hanya, kata Juniver, Ismoko menyebut cek itu diberikan BNI lantaran keberhasilannya menyelesaikan kasus Bank Pembangunan Daerah Bali. ”Cek itu tidak dinikmati secara pribadi, melainkan untuk dana operasional,” ujar Juniver mengutip pengakuan Ismoko.
Maria Hasugian, Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo