Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Yang Tidak Suka Syariat Berlindung di Balik Pancasila

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ANDA ingin menguji tingkat kepancasilaan saya?” Pertanyaan itu dilontarkan oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, setengah bergurau. Hari belum lagi sore ketika lelaki 46 tahun itu menerima Tempo di rumah dinasnya di kawasan Widya Candra, Jakarta. Hidayat, yang mengenakan kemeja batik lengan pendek, tersenyum kecil—sedikit kecut.

Kepada bekas Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, kini banyak wajah menoleh. Isu revitalisasi Pancasila, sebagai jawaban atas maraknya peraturan daerah bernuansa syariat Islam, membuatnya berdiri pada posisi sulit. Ia mengaku tidak anti-Pancasila, tapi kiprah partainya sebagai partai Islam membuat orang curiga. Akankah PKS diam-diam merencanakan Indonesia menjadi negara Islam? Akankah PKS menegakkan syariat Islam—sesuatu yang dianggap bisa membunuh demokrasi melalui jalan demokratis? Hidayat menggeleng. ”PKS di DPR hanya 45 dari 550 kursi. Bagaimana mungkin kami disebut-sebut akan memaksakan kehendak?” katanya.

PKS tumbuh dari gerakan pengajian mahasiswa di kampus-kampus. Gerakan ini dianggap banyak kemiripan dengan Ikhwanul Muslimin, organisasi massa yang kemudian jadi partai politik di Mesir. Tokoh-tokoh PKS banyak yang bersekolah di Arab Saudi. Pandangan politik dan keagamaan mereka kerap kali dianggap ”konservatif” dan ”keras”. Terhadap Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi, PKS jelas mendukung.

Besar dalam tradisi pesantren, Hidayat juga mengecap pendidikan tinggi di Madinah, Arab Saudi. Di sana ia aktif dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), organisasi mahasiswa perantauan. Saat maraknya mahasiswa dan aktivis menolak Pancasila sebagai asas tunggal, ia ikut serta. Mungkin karena itu muncul desas-desus bahwa di Arab Saudi, Hidayat pernah menggelar aksi anti-Pancasila. ”Itu semua fitnah,” katanya pendek.

Ditemani teh hangat, Hidayat menerima Arif Zulkifli, Tulus Wijanarko, dan Philipus Parera dari Tempo untuk sebuah wawancara khusus.

Isu Pancasila kembali muncul salah satunya karena ada kecemasan terhadap penerapan syariat Islam. Pendapat Anda?

Saya ingin melihat dari sisi lain. Sejak awal Pancasila ditegaskan sebagai landasan ideologi bangsa. Itu disebutkan dalam Pembukaan UUD 45. Dalam proses amendemen pun disepakati tidak ada perubahan dalam pembukaan itu. Tetapi, dalam perjalanannya, Pancasila pernah ditafsirkan secara tunggal oleh negara. Jadi akan dibawa ke mana Pancasila ini? Ini adalah pembahasan yang belum selesai. Tapi, sisi positifnya, orang diingatkan untuk mempergunakan pendekatan yang proporsional, moderat, dan tidak mengada-ada. Siapa pun yang memperjuangkan Pancasila mestinya yang pertama-tama melaksanakannya.

Maksud Anda?

Ketika seseorang berteriak membela Pancasila, dia pasti tahu sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia juga tahu sila berikutnya adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Artinya, tidak boleh kemudian perilakunya menjadi tidak manusiawi dan tidak adil. Tidak boleh dengan klaim mendukung Pancasila orang lalu menebar fitnah, teror, dan membuat opini yang bisa memecah-belah bangsa. Kalau Pancasila dilaksanakan, permasalahan akan selesai. Tetapi sekarang Pancasila sering cuma dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompok.

Menjadi tameng?

Ya, mencari tameng. Misalnya, seseorang yang tidak suka dengan syariat lalu berlindung di balik Pancasila. Ada kecenderungan orang menggunakan Pancasila untuk menyalahkan pihak yang tidak sependapat dengan dirinya.

Bukankah itu semua karena ada kekhawatiran munculnya isu negara Islam di Indonesia?

Itu bisa dibuat dalih atau rasionalisasi. Apalagi kalau mereka menguasai media yang memudahkan membuat opini. Cuma, masalahnya, kita mencari solusi atau justru sedang memperuncing masalah? Menurut saya, beragam masalah itu kita sikapi dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika.

Anda ingin menegaskan tidak ada yang sedang membawa negara ini menuju negara Islam?

Saya kira tidak ada. Kalau kita masih percaya pada Pancasila, maka seluruh mekanisme yang terjadi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini berjalan dalam konteks prinsip-prinsip Pancasila. Soal RUU Anti-Pornografi, misalnya, seluruh proses musyawarah telah dilakukan. Saya ingatkan, proses itu berjalan di DPR. Di DPR itu, siapa yang mayoritas? Golkar dan PDIP. Mereka jelas bukan partai Islam.

PKS dituding berada di balik RUU APP?

Ada yang mengatakan ini upaya PKS untuk Pemilu 2009. Orang yang ngomong begini lebih politis dari para politisi. PKS di DPR itu hanya 45 dari 550. Bagaimana mungkin dia disebut sebagai mayoritas yang memaksakan kehendak kepada minoritas?

Lalu?

Proses demokrasi sedang berjalan. Kalau masing-masing memberikan kepedulian, kita akan menemukan solusi. Tapi, problemnya, demokrasi di mana pun tidak hanya mengenal bermusyawarah, tapi juga pengambilan keputusan. Terlalu sering umat Islam dalam pengambilan keputusan dikalahkan. Islam dalam pembahasan asas negara dulu kalah. Tapi apakah umat Islam kemudian mengancam akan keluar dari NKRI? Tidak pernah.

Jadi?

Siapa pun yang mau berpendapat, silakan lakukan dengan cara yang berlandaskan Pancasila. Jangan membuat masalah dengan memutarbalikkan informasi. Ada yang bilang RUU APP untuk meng-Arab-kan Indonesia. Saya bertanya di pasal berapa, ayat berapa dari RUU APP itu yang bisa dibilang begitu?

Bukankah RUU itu bisa memicu disintegrasi bangsa?

Bukan RUU APP yang bisa menghadirkan disintegrasi bangsa. Saya menolak segala bentuk disintegrasi bangsa, dan RUU APP tidak untuk menciptakan disintegrasi. Kalau dirunut pasal menimbang dan mengingat, dia justru dalam rangka melaksanakan Pancasila juga.

Kalau kita meyakini Pancasila dan nilai-nilai Islam itu rohnya sama, kenapa ada yang merasa perlu memperjuangkan syariat Islam, termasuk RUU APP?

Itu mestinya ditanyakan kepada yang mengusung syariat Islam. Memang, selalu ada penyalahpahaman PKS. Saiful Mujani (pengamat politik—Red) dalam beberapa tulisannya menyebutkan Hizbut Tahrir Indonesia, PPP, PBB, dan PKS mengusulkan amendemen agar negara melaksanakan syariat Islam. Dia tidak mengerti sikap PKS. Kita sudah terbuka waktu di MPR. Sikap kami jelas berbeda dengan PPP dan PBB. Partai Keadilan mengusulkan Piagam Madinah dalam konteks Indonesia, yakni menghadirkan kesetaraan kepada seluruh umat beragama.

Tetapi, partai Anda kan mengusulkan amendemen juga?

Memang, tapi tidak dalam kerangka syariat Islam. Kami mengusulkan pelaksanaan kehidupan beragama yang sama untuk semuanya. Yang kami usung adalah masyarakat madani, civil society, dan itu bukan dengan jargon syariat.

Di Depok, yang wali kotanya dari PKS, peraturan daerah antimaksiat diusulkan?

Bandingkan gaya kepemimpinan Pak Nurmahmudi dengan Wali Kota Tangerang. Di Tangerang, yang wali kotanya orang Golkar, sudah ada perda antimaksiat. Tetapi orientasi utama Pak Nurmahmudi adalah menyelesaikan masalah sampah.

Tapi, di DPRD Depok, isu syariat Islam muncul juga. Orang-orang PKS ada di situ.…

Usulan itu bukan dari PKS. Anda bisa cek siapa yang mengusulkan.

Menurut Anda, pentingkah syariat Islam?

Setiap muslim dan sudah berkeluarga pasti melaksanakan syariat Islam. Ketika dia menikah, memakai syariat Islam, kan? Masalah timbul karena ada dua pihak: pertama, mereka yang memahami secara literal dan tekstual lalu menimbulkan perilaku anarkis. Saya tidak sependapat dengan cara memahami seperti ini. Kedua, ketika muncul Islamofobia. Semua hal, seperti RUU APP, dianggap sebagai syariat atau pintu gerbang menuju syariat. Nah, ini dua ekstrem yang tidak membantu dalam memahami syariat.

Ada contoh konkret?

Waktu ke Aceh pasca-tsunami, saya bertemu para bupati dan wali kota. Waktu itu mereka lantang mendukung penerapan syariat. Mereka bilang sudah siapkan jilbab untuk para perempuan. Mereka juga sudah menangkapi penjudi. Saya bilang pada mereka, berjilbab dan tidak berjudi memang bagian dari syariat. Tapi menurut saya bukan itu esensi dari syariat. Untuk melaksanakan syariat, yang pertama mesti dilakukan adalah meningkatkan sumber daya manusia. Menjadi manusia unggulan, yang hebat, maju, modern. Nomor dua, menghadirkan masyarakat yang mulia dan bertanggung jawab sehingga tidak korupsi.

Jadi, syariat tidak perlu dihadirkan sebagai peraturan formal?

Banyak hal dalam syariat yang sesungguhnya berlaku umum, misalnya tentang ketertiban dan keamanan, serta hukum. Itu sudah dikover hukum-hukum yang ada. Ada yang ibadah murni, karenanya tidak memerlukan undang-undang apa pun, seperti salat, syahadat, dan sebagainya. Tapi ada beberapa lapisan masyarakat di tempat tertentu yang merasa perlu penegasan. Itu tak jadi masalah, asal dilakukan dengan mekanisme demokrasi dan jalur-jalur yang disepakati bangsa ini.

Tetapi, bukankah akan menyebabkan tumpang tindih peraturan?

Soalnya, masyarakat di daerah melihat perangkat hukum yang ada belum menyelesaikan masalah. Tapi, bagi saya, yang penting mereka melakukan itu secara terbuka, demokratis, dan melalui mekanisme perwakilan seperti yang disepakati.

Jadi, syariat itu apa menurut Anda?

Saya berpendapat syariat adalah bagaimana menciptakan manusia unggulan, menghadirkan moralitas bangsa, menghadirkan masyarakat sejahtera, dan bagaimana menegakkan hukum. Saya, misalnya, mengkritik teman di Aceh yang lebih mengutamakan qonun untuk membidik orang berjudi, sementara tidak ada qonun pemberantasan korupsi. Saya permasalahkan itu karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Mestinya yang lebih dahulu dibuat adalah peraturan tentang korupsi, baru yang lainnya.

Kini seperti muncul gairah bersama untuk menerapkan peraturan daerah yang merujuk pada syariat Islam. Komentar Anda?

Tidak bisa dimungkiri, mayoritas penduduk di Indonesia beragama Islam. Sejarah menceritakan, sebelum Indonesia menjadi republik, negeri ini terdiri dari kerajaan-kerajaan Islam. Di kerajaan-kerajaan itu hukum syariat Islam diberlakukan.

Maksud Anda?

Kalau ada daerah atau sebagian daerah membicarakan syariat, mereka tidak membicarakan di luar NKRI. Mereka bicara dalam konteks NKRI dengan mekanisme yang disepakati, yaitu sila keempat Pancasila. Dan itu tidak mesti dalam konteks hubungan antara mayoritas dan minoritas, antara yang Islam dan bukan Islam. Di Tangerang, misalnya, yang mengajukan usulan perda antimaksiat bukan partai Islam.

Anda ingin mengatakan berbagai perda syariat muncul karena publik tak percaya pada undang-undang yang ada?

Semua orang tahu ada KUHP. Tapi kenapa terjadi pembiaran sehingga yang namanya pelacuran, perjudian, korupsi, pornografi tetap ada? Aspirasi muncul karena itulah yang terlihat. Lalu mereka bahas di DPRD dan disepakati.

Dengan kata lain, asalkan dengan cara yang demokratis, bahkan dasar negara pun bisa diubah—misalnya menjadi negara teokrasi?

Ketika kita menggunakan asas demokrasi, semua orang juga sudah tahu sejak Pemilu 1955 hingga Pemilu 2004 yang selalu menjadi mayoritas di parlemen bukanlah partai Islam. Jadi pertanyaan Anda baru akan mendapat jawaban yang konkret kalau mereka mendapat mayoritas mutlak. Mengubah UUD 45 itu luar biasa sulit. Tidak cukup 50 persen plus satu.

Sulit itu soal lain. Kami bertanya tentang idenya....

Secara ide, itu tidak bisa diwujudkan dalam konteks Indonesia. Karena dalam proses berdemokrasi di Indonesia dan berpemilu, wacana itu tidak ”diperbolehkan” muncul. Coba di bagian mana partai politik diperbolehkan mengatakan: pilihlah partai Islam, lalu kami akan mendirikan negara Islam kalau menang? Adakah partai yang menggunakan jargon itu? Jadi itu tidak mungkin dipakai.

Menurut Anda, apakah demokrasi sejalan dengan nilai Islam?

Saya sering mengatakan demokrasi itu bukanlah Tuhan, tapi juga bukan hantu. Demokrasi adalah sarana untuk memperjuangkan kepentingan bersama dalam masyarakat yang plural. Selama demokrasi itu bukan democrazy, prinsip-prinsipnya sesuai dengan prinsip Islam.

Mana yang lebih baik: demokrasi atau teokrasi?

Demokrasi atau teokrasi adalah produk kepentingan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, demokrasi menjadi alat yang baik selama diselenggarakan dengan cara-cara yang demokratis, bukan cara-cara manipulatif.

Sekali lagi: dengan kata lain, jika masyarakat menginginkan teokrasi, sepanjang dilakukan dengan demokratis, boleh saja?

Tentu kalau masyarakat melakukan itu, masyarakat tengah melakukan pilihannya berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi. Kalau demokrasi digunakan untuk mendukung teokrasi, jelas teokrasi yang dipakai tidak untuk menekan minoritas dan menghadirkan penzaliman. Itu teokrasi yang salah.

Anda frustrasi terhadap demokrasi?

Saya frustrasi terhadap demokrasi ketika demokrasi berkali-kali tidak dilaksanakan sesuai dengan aturannya. Tapi bukan berarti karena itu demokrasi lalu harus dibuang. Karena, itu masih bisa dikoreksi.

Sampai titik mana demokrasi di Indonesia tidak bisa dipercaya lagi?

Dalam konteks Indonesia, demokrasi itu bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Jangankan di Indonesia yang umurnya baru 61 tahun, di Amerika pun demokrasi bisa membuat rakyatnya tidak puas. Misalnya, George Bush meminta dukungan dari parlemen, senat, dan Kongres untuk menyerang Irak. Semua orang tahu semua itu kesalahan besar. Demokrasi yang menghadirkan kekecewaan bukan berarti harus dikubur.

Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa haram untuk pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Seberapa berbahayakah ketiga konsep itu menurut Anda?

Dalam pandangan saya, sekularisme, pluralisme, dan liberalisme bisa hadir dalam beragam tingkatan. Kalau sekularisme dipahami sekadar bahwa agama dan negara adalah dua hal yang berbeda, tentu itu sesuatu yang sudah berlaku di negara kita.

Perda syariat Islam jelas bertentangan dengan prinsip sekularisme?

Sekali lagi, kondisi pemahaman tiap daerah berbeda-beda. Tetapi dalam kekuasaan kehakiman, misalnya, kita menyebut adanya kekuasaan kehakiman agama. Kemudian ada juga Pasal 29 dalam UUD 1945: negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa kan agama, sekalipun tidak merujuk agama tertentu. Itu menandakan ide dasar negara ini bukan sekularisme dalam arti memisahkan total antara agama dan negara.

Menurut Anda, pluralisme itu berbahaya?

Itu juga bertingkat-tingkat. Pluralisme bisa diartikan sekadar mengakui kebenaran itu beragam-ragam. Itu tidak berbahaya. Tapi, kalau pluralisme itu diartikan seluruh agama adalah benar dan karenanya tidak ada yang boleh mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, saya kira itu jadi masalah. Karenanya, tidak mungkin orang beragama mengatakan agamanya bukan yang paling benar.

Sedikit konfirmasi, beredar SMS bahwa Anda ketika di Arab Saudi pernah bikin kelompok anti-Pancasila. Benarkah?

Saya juga terima SMS itu dan saya tahu sumbernya. Saya tegaskan ini adalah fitnah. Pada waktu itu kan ada pemaksaan asas tunggal. Saya menolak asas tunggal.

Dr H.M. Hidayat Nur Wahid

Tanggal Lahir

  • Klaten, 8 April 1960

Pendidikan:

  • IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta (Fakultas Syariah) (1979)
  • Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Arab Saudi (1983)
  • Program Doktor Pascasarjana Universitas Islam Madinah, Arab Saudi

Karier:

  • Dosen Pascasarjana Studi Islam dan Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
  • Dosen Pascasarjana IAIN/UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
  • Dosen Pascasarjana Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta
  • Anggota DPR RI (2004-2009)
  • Ketua MPR RI (sekarang)

Organisasi:

  • Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Arab Saudi (1983-1985)
  • Presiden Partai Keadilan (21 Mei 2000-2003)
  • Presiden Partai Keadilan Sejahtera (18 September 2003-11 Oktober 2004)
  • Anggota Dewan Syuro Partai Keadilan Sejahtera (sekarang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus