Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Perempuan Dogmatis di Dua Dewan

Menjadi legislator, Umi Sardjono getol mendorong aturan yang menjamin kesetaraan gender dan melindungi perempuan. Enggan mendukung kemerdekaan Timor-Timur.

 

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Umi Sardjono menolak aturan perempuan harus mendapat izin suami untuk pergi ke luar negeri.

  • Menolak poligami, Umi Sardjono kerap berhadapan dengan organisasi perempuan Islam.

  • Umi Sardjono juga mendukung petani perempuan mendapatkan tanah.

TIGA tahun menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Suharti Sumodiwirjo atau Umi Sardjono kian menunjukkan tajinya. Ia gencar mendorong perubahan aturan tentang keimigrasian. “Sebabnya, perempuan yang mau ke luar negeri harus mendapat izin suami,” tutur Umi seperti ditirukan Ruth Indiah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan IndoProgress Institute for Social Research and Education, Sabtu, 25 September lalu.

Menurut Ruth, Umi berpandangan kaum hawa tak boleh dibelenggu untuk bepergian ke luar negeri. Apalagi saat itu banyak perempuan telah bersekolah di luar negeri atau mengikuti kegiatan internasional. Misalnya, delegasi perempuan Indonesia hadir dalam konferensi pertanian di Moskow, Rusia, pada 1950-an.

Umi kerap mendiskusikan aturan imigrasi itu dengan koleganya di DPR. Usul itu pun disambut anggota Dewan lain. Ruth mengatakan peraturan itu didukung oleh Partai Nasionalis Indonesia, Partai Komunis Indonesia, golongan pemuda, dan mahasiswa. “Perjuangan untuk mengegolkan aturan ini tak berat, karena di DPR banyak perempuan,” ujar Ruth.

Cerita Umi itu disampaikan kepada Ruth secara periodik pada 2002-2008. Pembicaraan dengan Umi memerlukan waktu panjang karena ia tak terlalu terbuka ihwal masa lalunya. Penjara Orde Baru membuat Umi cemas ketika ditanya tentang aktivitas politik dan kegiatan organisasi yang dipimpinnya, Gerakan Wanita Indonesia atau Gerwani.

Di DPR, Umi menjadi bagian dari Fraksi Gotong Royong yang berisi utusan perwakilan masyarakat. Sejak 1959 hingga 1965, ia menjadi legislator yang mewakili kelompok perempuan. Di parlemen, Umi kerap memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki. Selain aturan imigrasi, ia mendorong pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perkawinan.

Rancangan tersebut sebenarnya sudah masuk DPR pada 1946. Tapi pembahasannya tak kunjung rampung. Sebab, terjadi perdebatan panjang di Dewan soal batas usia perkawinan, serta ketentuan monogami dan poligami. “Umi dan Gerwani ingin Undang-Undang Perkawinan melarang poligami,” ujar Ruth.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokumen biodata Umi Sardjono sebagai anggota DPR dari PKI dengan nomor anggota 86. Dok. DPR RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam buku Laporan Umum Gerwani: Meluaskan Aksi-aksi untuk Memperkuat Tuntutan Hak-hak Wanita serta Anak, dan Perdamaian, Umi menyebutkan sejumlah alasan agar Undang-Undang Perkawinan segera disahkan. Pernyataan ini juga disampaikan oleh Umi dalam Sidang Pleno Gerwani Ke-3 yang digelar pada Juni 1956.

Menurut Umi, seperti tertulis dalam buku, aturan itu diperlukan untuk melindungi perempuan. Pada masa itu, Gerwani menemukan sejumlah kasus kawin paksa di berbagai daerah. Seperti yang terjadi kepada Maisuri, anak di bawah umur yang dinikahkan oleh orang tuanya dengan pria yang sudah memiliki 3 istri dan 12 anak pada awal 1955.

Gerwani juga menemukan sekitar 115 kasus yang merugikan perempuan akibat perkawinan. Kasus itu tersebar di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sebagian besar perkara itu adalah diabaikannya hak-hak istri ketika diceraikan oleh suami dan poligami yang tak diketahui oleh istri pertama.

Saskia E. Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia mencatat pada 1956 separuh pernikahan berakhir dengan perceraian. Selain itu, ada 60 ribu perkawinan kedua yang dilakukan oleh suami. Berpegang pada data itu, Umi mengusulkan batasan minimum usia pernikahan untuk perempuan adalah 21 tahun.

Menurut Ruth Indiah Rahayu, usul itu merupakan hasil studi banding Umi ke Cina sebelum menjadi anggota Dewan. Ketika itu, Umi melihat ada kemajuan dari revolusi komunis di Cina, salah satunya adalah usia perkawinan. Usia 21 tahun pun dinilai sebagai waktu yang pas untuk melakukan perkawinan. “Siap secara medis dan dewasa,” tutur Umi seperti ditirukan oleh Ruth.

Gagasan Umi dan Gerwani ditentang oleh organisasi perempuan Islam di Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan parlemen, seperti Aisyiyah Muhammadiyah dan Muslimat Nahdlatul Ulama. Organisasi tersebut menentang larangan poligami karena dalam Islam tak ada larangan memiliki istri lebih dari satu.

Begitu pula soal usia pernikahan, terjadi perbedaan pendapat. Sejumlah organisasi perempuan Islam dan anggota DPR malah mengusulkan usia minimal perempuan menikah jauh dari yang diinginkan Umi dan Gerwani, yaitu 12 tahun.

Hingga sidang paripurna DPR digelar pada 1965, Undang-Undang Perkawinan tak juga disahkan. Ketika itu, pemimpin sidang dari Partai Masyumi, Abikoesno Tjokrosoejoso, malah membekukan pembahasan rancangan aturan tersebut. Baru pada 1974, atau saat Umi masih diterungku di dalam penjara, Indonesia memiliki Undang-Undang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 itu mengatur poligami. Suami yang akan beristri lebih dari satu orang harus mengajukan permohonan ke pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Surat permohonan itu pun harus disertai izin dari istri, serta kepastian suami bisa menjamin kehidupan semua istri dan anak-anaknya. Adapun usia minimal untuk perkawinan adalah 16 tahun.

Umi juga mendorong undang-undang yang mengatur pertanahan. Dalam laporan Sidang Pleno Gerwani Ke-3 yang berlangsung pada Juni 1956, Umi mengatakan banyak petani perempuan hidup melarat. Sebabnya, perempuan yang menggarap tanah sejak masa penjajahan Jepang tak mendapat kepastian soal hak memiliki tanah.


Kondisi itu menjadi lebih buruk setelah Indonesia mengikuti Konferensi Meja Bundar dengan Belanda pada November 1949. Tanah-tanah yang dikelola para petani harus diserahkan kepada pemilik modal. Mereka yang menolak menyerahkan lahannya akan diusir atau ditangkap oleh aparat keamanan.

Karena itu, Umi menjadi salah satu motor pengesahan Undang-Undang Pokok Agraria. Kepada Ruth Indiah Rahayu, Umi mengungkapkan keinginannya agar perempuan punya hak atas pembagian tanah, kepemilikan tanah, serta bagi hasil. “Dia mendukung perjuangan petani perempuan,” kata Ruth. Undang-undang itu diteken oleh Sukarno pada 24 September 1960.

Di DPR, Umi kerap berdebat dengan koleganya. Salah satunya dengan Fransisca Fanggidaej, anggota DPR dari Fraksi Gotong Royong. Ia merupakan perwakilan golongan wartawan yang ditunjuk oleh Sukarno untuk menjadi anggota DPR.

Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan Ita Fatia Nadia mengatakan Francisca pernah bercerita bahwa dia mengajak Umi mendukung kemerdekaan Timor Timur, kini Timor Leste, pada 1963. Saat itu, Timor Timur masih dijajah oleh Portugis. Fransisca menjelaskan bahwa kondisi di sana mirip dengan Indonesia saat dijajah oleh Belanda dan Jepang.

Menurut Ita, Fransisca berharap Umi mendukung gagasan itu karena memiliki sikap anti-penjajahan. Namun Umi menolak gagasan tersebut. “Jangan bicara masalah itu dulu, tapi bicarakan dulu tentang Indonesia,” ujar Ita, mengutip pernyataan Fransisca soal sikap Umi Sardjono pada Selasa, 28 September lalu.

Ita menemui Fransisca di Belanda pada 1997 dan 2001. Ia merupakan eksil yang tak bisa pulang ke Indonesia sejak 1965. Paspornya dicabut oleh pemerintah karena dianggap sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Kepada Ita, Fransisca mengaku kecewa atas sikap Umi Sardjono. “Fransisca menyebut Umi tak mengerti anti-imperialisme dan terlalu dogmatis,” ucap Ita.

Meski pernah berbeda pendapat, keduanya masih berkawan hingga akhir hayat. Fransisca beberapa kali menitipkan surat dan uang dalam bentuk euro untuk Umi melalui kenalannya. Fransisca berpulang pada November 2013 di Belanda, dua tahun setelah sahabatnya tutup usia pada 11 Maret 2011.


•••

SEBELUM menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Suharti Sumodiwirjo alias Umi Sardjono pernah menjadi anggota Dewan Konstituante dari Partai Komunis Indonesia pada 15 Desember 1955. Tugas Dewan Konstituante adalah menyusun Undang-Undang Dasar baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Selain Umi, ada empat anggota Gerakan Wanita Indonesia yang menjadi anggota Dewan setelah Pemilihan Umum 1955. Mereka adalah Suharti Suwarto, Mudikdio, Sundari Rachman, dan Salawati Daud. Seperti Umi, mereka juga terafiliasi dengan PKI.

Dalam pidato yang dimuat di buku Laporan Umum Gerwani: Meluaskan Aksi-aksi untuk Memperkuat Tuntutan Hak-hak Wanita serta Anak, dan Perdamaian, Umi mengatakan dipilihnya sejumlah pengurus Gerwani tak lepas dari naiknya perolehan suara PKI.

Pada Pemilihan Umum 1955, PKI berada di peringkat keempat dengan perolehan 16,4 persen suara. Adapun urutan pertama hingga ketiga ditempati Partai Nasionalis Indonesia dengan perolehan suara  22,3 persen, Partai Masyumi 20,9 persen, dan Partai Nahdlatul Ulama 18,4 persen.

Umi juga menyebutkan 50 persen dari total 37,78 juta pemilih saat itu adalah perempuan. Hasil itu tercapai karena banyak kalangan, termasuk Gerwani, yang meyakinkan pemilih perempuan tentang pentingnya pemilihan umum. Dalam buku yang sama, Umi juga menyampaikan terima kasih kepada PKI dan pemilihnya sehingga Gerwani memiliki perwakilan di parlemen.

Umi Sardjono (duduk kedua dari kiri) bersama para Pengurus Harian DPP Gerwani pada Kongres Gerwani ke-3 di Solo, Jawa Tengah, Desember 1957. Dok. Uchikowati

“Dewan Harian mengusulkan kepada pleno untuk menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada PKI dan pemilihnya yang sudah memenangkan saudara-saudara itu,” ujar Umi dalam Sidang Pleno Gerwani Ke-3 pada Juni 1956.

Ruth Indiah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan IndoProgress Institute for Social Research and Education, organisasi kajian sejarah, mengatakan Dewan Konstituante tak berumur panjang. Presiden Sukarno membubarkan Dewan Konstituante karena pembahasan mengenai Undang-Undang Dasar tak mencapai titik temu.

Pada 1959, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 150 yang mengembalikan konsitusi pada Undang-Undang Dasar 1945. “Sukarno lalu membentuk parlemen dan kabinet baru,” ujar Ruth. Pada tahun yang sama, Umi terpilih menjadi anggota DPR sebagai utusan golongan perempuan.

Jabatan Umi rampung setelah terjadi peristiwa 30 September 1965. Ia ditangkap oleh tentara karena dituduh terlibat pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat di Lubang Buaya. Bersamaan dengan penangkapan itu, karier politik Umi Sardjono pun kandas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus