Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Melempem di Depan Si Bung

Gerwani yang galak menyuarakan antipoligami tak berkomentar ketika Presiden Sukarno menikah lagi. Butuh sosok pemersatu.

2 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hubungan Gerwani dan Sukarno.

  • Tak menentang ketika Presiden Sukarno melakukan poligami, menduakan Fatmawati.

  • Apa alasan di baliknya?

TAK lama setelah Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) pada 1954, organisasi itu menjadi buah bibir masyarakat. Pada tahun itu Presiden Sukarno menikahi Hartini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gerwis yang berdiri pada 1950 kerap menyuarakan sikap antipoligami, yang menjadi penyebab utama perceraian pada 1951-1952. Di Jawa dan Madura, ketika itu jumlah angka poligami mencapai 60 persen, naik menjadi 62 persen pada 1952, sebagai penyebab perceraian. Tapi para aktivis Gerwis bungkam saat Sukarno menikahi Hartini pada 1953.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hartini adalah istri keempat Sukarno dan dinikahi ketika Sukarno masih menjadi suami Fatmawati. Bung Karno tak mengabulkan permintaan Fatmawati yang meminta cerai. Dengan berat hati, ia tak melarang Fatmawati meninggalkan Istana Negara bersama anak-anak mereka.

Uchikowati kerap mendengar dari ibunya bahwa banyak yang menilai Gerwani melempem di depan Sukarno. Ia adalah anak Hartati, anggota Gerwani dan sahabat Umi Suharti Sumodiwidjo alias Umi Sardjono, Ketua Umum Gerwani.

Ayah Uchi, Djaufar Arifin Santosa, adalah Bupati Cilacap, Jawa Tengah, pada 1959-1960. Umi Sardjono acap datang ke rumahnya ditemani para aktivis Gerwani dan menggelar rapat. Uchi kecil, waktu itu masih 7 tahun, kerap melihat ibunya menghadiri rapat serius dengan para pengurus Gerwani.

Umi Sardjono mengakui bahwa Gerwani tak bersuara lantang menentang poligami Si Bung. Kepada Ruth Indah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan IndoProgress Institute for Social Research and Education, organisasi kajian sejarah, yang menemuinya secara periodik selama 2002-2008, Umi diam meski tak suka kepada tindakan Sukarno.

Pembicaraan dengan Umi memerlukan waktu lama hingga akhirnya ia setuju bercerita mengenai masa lalunya kepada Ruth. Penjara Orde Baru membuatnya paranoid ketika ia ditanyai tentang aktivitas politik dan kegiatan Gerwani. “Umi dan Gerwani menganggap masih memerlukan Sukarno sebagai tokoh untuk melawan imperialisme,” ucap Ruth, mengutip Umi, pada Sabtu, 25 September lalu.

Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia dinilai Gerwani pas dipimpin oleh Sukarno. Dia sosok yang cocok memimpin pemerintahan yang masih terpengaruh sisa-sisa kolonialisme. Umi dan Gerwani, kata Ruth, suka kepada Sukarno karena Si Bung kerap mengajak perempuan dan organisasi perempuan terlibat merumuskan perlawanan terhadap neokolonialisme dan imperialisme.

Pembelaan kepada Sukarno secara publik mereka muat dalam surat kabar Harian Rakjat edisi 4 Januari 1956. Koran yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia itu memuat pernyataan Umi ketika mengomentari poligami Sukarno. Menurut Umi, pernikahan tersebut merupakan urusan pribadi. Umi menyesalkan sikap berbagai pihak yang mendorong perceraian Fatmawati-Sukarno. “Sesuai dengan pendirian Gerwani, perkawinan harus bebas dan demokratis,” tutur Umi.

Menurut Ruth, Umi tahu betul Gerwani ikut disalahkan karena mereka diam ketika Sukarno berpoligami. Apalagi ketika itu banyak organisasi perempuan yang berdemonstrasi terhadap Sukarno, termasuk Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). Ketika itu, Perwari getol mendukung Fatmawati dan mendorongnya meninggalkan Istana Negara.

Dalam buku Gerwani: Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, Amurwani Dwi Lestariningsih menulis bahwa sikap lembek Gerwani terhadap poligami Sukarno membuat hubungan mereka dengan organisasi perempuan lain, termasuk Perwari, menjadi renggang. Para aktivis Gerwani yang acap melabrak para suami yang berpoligami di desa-desa punya dalih yang tak masuk akal ketika berhadapan dengan Sukarno.

Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan, Ita Fatia Nadia, yang pernah bertemu dengan sejumlah pemimpin dan anggota Gerwani, menuturkan bahwa para aktivis Gerwani sebetulnya geram kepada Sukarno. Namun penentangan ini tak muncul ke publik. Mereka memilih diam karena kebutuhan kepada sosok Sukarno sebagai tokoh penentang imperialisme, yang menjadi garis perjuangan Gerwani.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus