Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kesadaran politik Umi Sardjono terbentuk dari lingkungan keluarga dan kursus-kursus politik.
Mengawali perjalanan dengan menjadi anggota Parindra, organisasi pergerakan nasional yang diikuti ayahnya.
Ditentang keras ketika akan membawa Gerwani menjadi bagian dari PKI.
PAPAN kayu kecil menempel pada dinding bagian depan rumah bergaya arsitektur kolonial Belanda. “ANGKATAN MUDA PATHOOK ’43”, begitu bunyi tulisan di papan itu. Kalimat berikutnya tak terbaca lagi karena warnanya telah memudar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah jembar di Kampung Pathuk, Kelurahan Ngampilan, Kota Yogyakarta—sekitar 1,3 kilometer di sisi barat kawasan Malioboro—itu memang tampak telah lama tak terurus. Pagarnya berkarat. Cat di dinding, juga di kayu jendela, nyaris habis terkelupas dimakan waktu. Rumput liar memenuhi halaman, mengelilingi tanaman liar lain yang sebagian setinggi orang dewasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delapan dekade silam, pada sekitar 1946, rumah itu menjadi tempat para pemuda terpelajar biasa berkumpul. Mereka dikenal dengan sebutan Pemuda Pathuk. Gerakan bawah tanah kelompok berideologi sosialis ini kerap mendiskusikan berbagai hal, dari kemerdekaan, nasionalisme, internasionalisme, hingga Marxisme. Saat itu musuh mereka adalah fasisme Jepang.
Sebelum menjadi Ketua Umum Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), Umi Sardjono adalah salah satu aktivis kiri yang kerap berkumpul di rumah itu. "Umi Sardjono ikut berdiskusi tentang Marxisme di sini," kata Ita Fatia Nadia, Ketua Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan, Kamis, 30 September lalu.
Pentolan gerakan Pathuk ini antara lain Sunjoyo, KRT Yosodiningrat, Umar Joy, Dayino, Muhammad Tohib, juga Sjam Kamaruzaman, yang kelak menjadi tokoh kunci Partai Komunis Indonesia. Rumah Pathuk pula yang menjadi jujugan Ketua Umum PKI Dipa Nusantara Aidit. Penyair terkemuka Chairil Anwar dan maestro seni lukis S. Sudjojono juga sering mampir ke rumah itu.
Penulis buku berjudul Suara Perempuan Korban Tragedi '65, Ita Fatia Nadia di rumahnya di kampung Ngadiwinatan, Kota Yogyakarta, 30 September 2021. TEMPO/Shinta Maharani
Ita adalah putri Dayino, salah satu pendiri Pemuda Pathuk. Suatu hari, pada 1995, dia sempat bertemu dengan Umi Sardjono. Kepada Ita, Umi bercerita tentang pengalamannya mendalami ideologi dari satu kursus politik ke kursus politik lain, termasuk dalam “Marx House” Pemuda Pathuk. "Aku ini dulu ikut kursus Marx House di tempat bapakmu, lho," tutur Ita, menirukan Umi.
Umi juga mengikuti kursus politik Sukarno yang diselenggarakan di sayap selatan Gedung Agung, Yogyakarta. Saat itu ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta. Sebelum ke Yogyakarta, Umi sempat pergi ke Madiun, Jawa Timur, untuk mengikuti kursus politik Marx House Madiun yang diadakan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
"Saya suka dengan kursus Marx House di Yogya. Kalau Marx House di Madiun, di Pesindo, sangat buku-buku. Jadi harus baca buku,” ujar Ita, menuturkan cerita Umi. “Kalau di Yogya lebih (membahas) problem fasisme Jepang.”
•••
PADA mulanya, Umi Sardjono menjadikan Surastri Karma Trimurti sebagai panutan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. S.K. Trimurti adalah wartawan yang juga aktif di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pimpinan Amir Sjarifuddin, organisasi yang juga dimasuki Umi.
Tulisan-tulisan Trimurti di majalah yang didirikannya, Pesat, membuat Umi terpesona. Mereka akhirnya bertemu saat sama-sama ditahan tentara Jepang. Umi dan Trimurti kemudian bersahabat. Umi memanggilnya dengan sebutan akrab “Yu Tri”.
Duo Umi dan S.K. Trimurti kemudian mendirikan Barisan Buruh Wanita (BBW) agar perjuangan buruh perempuan tetap berada di garis perjuangan sosialis. Saat itu buruh perempuan di pabrik belum berserikat. Pada 1945, di Kediri, Jawa Timur, diselenggarakan kongres untuk membentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).
Penyelenggara kongres itu adalah Setiati Surastro, yang nantinya turut mendirikan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Hasil kongres Kediri menetapkan S.K. Trimurti sebagai ketua, Umi Sardjono sebagai wakil ketua, dan Siti Asiah Satyagraha dari harian Suluh Indonesia sebagai sekretaris jenderal.
BBW adalah bagian dari Barisan Buruh Indonesia (BBI). Organisasi ini didirikan pada 15 September 1945 untuk memudahkan mobilisasi serikat buruh. BBI membentuk laskar buruh pabrik. Adapun BBW dikhususkan untuk perempuan. Dalam kongres, tercetus ide membentuk partai buruh.
Pada 1946, BBI melebur ke Gabungan Serikat Buruh Indonesia. Mereka yang tidak sepakat dengan peleburan itu lantas membentuk Gabungan Serikat Buruh Vertikal. Tapi, pada akhir 1946, keduanya kembali bergabung menjadi SOBSI. BBW ikut melebur.
S.K. Trimurti bergabung dengan Partai Buruh Indonesia. Ia lalu diangkat Amir Sjarifuddin menjadi Menteri Perburuhan dalam kabinetnya yang dilantik 1947. Setahun berjalan, Kabinet Amir Sjarifuddin digantikan Kabinet Hatta (1948-1949). Saat itulah terjadi Peristiwa Madiun.
Sejumlah anggota PKI, termasuk Amir, ditangkap di Solo, Jawa Tengah. Umi, yang berada di bawah koordinasi Pesindo di Madiun, juga ditangkap dan ditahan oleh tentara Indonesia selama tiga bulan. Setelah peristiwa itu, Pesindo tiarap. Sedangkan Umi melanjutkan perjuangannya di organisasi perempuan.
•••
PADA era Konferensi Meja Bundar, 1950, pergerakan perempuan seperti di persimpangan: mengikuti kepentingan politik borjuasi perempuan atau mengusung politik anti-imperialisme. Kongres Wanita Indonesia sampai bingung menempatkan keanggotaannya dalam Women’s International Democratic Federation, yang anti-imperialisme.
Umi Sardjono yang kecewa karena menilai perempuan absen dari revolusi Indonesia, dan tidak berperan dalam kepemimpinan melawan imperialisme, lalu mengajak Tris Metty dari Rukun Putri Indonesia dan S.K. Trimurti mendirikan organisasi kemasyarakatan perempuan. Melalui kongres di Semarang, 3-6 Juni 1950, dibentuklah Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis).
Gerwis adalah gabungan enam organisasi perempuan, yakni Rukun Putri Indonesia asal Semarang, Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerakan Wanita Indonesia (Kediri), Wanita Murba Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia (Pasuruan). Tris Metty terpilih sebagai ketua umum. Adapun Umi Sardjono dan S.K. Trimurti menjadi wakil ketua I dan wakil ketua II.
Dalam kongres kedua, pada 1954, Umi terpilih menjadi Ketua Umum Gerwis. Nama Gerwis pun diubah menjadi Gerwani. Pada saat itu, S.K. Trimurti mengundurkan diri. Menurut Umi, seperti diceritakan Ruth Indiah Rahayu dalam Umi Sardjono: Feminis Marxis yang Menakhodai Gerwani, Trimurti mundur karena mempunyai persoalan masa lalu dengan Partai Komunis Indonesia.
Dalam wawancara yang dimuat di Api Kartini pada Juni 1960, Umi menegaskan bahwa Gerwani lahir bukan sebagai organisasi pelengkap, melainkan menjawab kebutuhan kaum perempuan. Organisasi ini lahir bagi perempuan yang melawan kolonialisme Belanda dan feodalisme serta “tak mau lagi jinak-jinak menyerah kepada segala kebuasan penjajah”. “Untuk itulah Gerwani dilahirkan,” ucap Umi.
Di bawah kepemimpinan Umi, keanggotaan Gerwani berkembang pesat. Dalam sambutan Dewan Pimpinan Pusat Gerwani pada Kongres III di Solo, 22-27 Desember 1957, disebutkan jumlah anggota menjadi 650 ribu orang, meningkat 800 persen dari 80 ribu pada Kongres II. “Di seluruh kepulauan sudah ada cabang, termasuk di ibu kota Provinsi Irian Barat, yaitu Soa Siu,” demikian tertulis dalam dokumen tertanggal 1 Januari 1958.
Dalam kongres tersebut hadir perwakilan dari atau World Women Democratic Federation serta utusan dari kaum wanita Mesir. Mengalir pula surat dan kawat, antara lain dari Pimpinan Pusat Gerakan Wanita Demokratis Belanda, Komite Wanita Cekoslovakia, Liga Wanita Demokrasi Jerman, dan Gabungan Wanita Seluruh Republik Rakyat Tiongkok. Ada pula surat dari Jepang. Saat memimpin Gerwani, Umi memang aktif menghadiri berbagai acara World Women Democratic Federation di Helsinki, Berlin, Praha, Moskow, Aljir, dan Beijing.
Perkembangan pesat Gerwani bukan tanpa hambatan. Dalam laporan pada sidang pleno ketiga Gerwani, Umi menyebut organisasinya kerap mendapat intimidasi dan fitnah. “Misalnya bahwa Gerwani itu kafir dan di beberapa daerah ada ancaman kalau masuk Gerwani rumahnya akan dibakar, akan diculik, dan dibunuh,” kata Umi dalam laporannya. Ia meminta kader Gerwani menangkis tuduhan itu dengan bekerja lebih ulet, tabah, dan memiliki kewaspadaan tinggi.
Kongres III mempertegas sikap organisasi dalam membela hak-hak wanita dan anak-anak. Gerwani mencatat banyak wanita menjadi korban perceraian yang sewenang-wenang, kawin paksa, dan lainnya. Per kuartal ketiga 1956, misalnya, dari jumlah pernikahan sebanyak 297.724, angka kasus talak mencapai 136.242 atau 45 persen lebih.
Gerwani juga menyoroti pendidikan dan kesehatan anak. Aksi pembelaan terhadap anak ini dilakukan dengan memperbanyak gedung sekolah dan kursus guru sekolah taman kanak-kanak. Dalam kongres dilaporkan sebanyak 179 TK dan 3 sekolah rakyat—setara dengan sekolah dasar—telah terbangun di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Tengah, dan Sumatera Selatan.
Pemikiran yang juga ditawarkan Umi kepada anggota Gerwani adalah menyeimbangkan tugas pergerakan dan kewajiban rumah tangga. Umi mendorong kader Gerwani tak mengorbankan keluarga demi organisasi. “Pekerjaan organisasi memang berat dan meminta banyak pengorbanan karena pekerjaan tersebut adalah pekerjaan untuk membela kepentingan wanita,” ujar Umi dalam laporannya pada sidang pleno Gerwani, 16-19 Juni 1956.
Sidang Biro Gerakan Wanita Demokratis Sedunia (GWDS). Repro foto: Gunawan Wicaksono, dari koleksi Uchikowati
Tak hanya berucap, Umi bahkan mendorong pengurus organisasinya memecahkan masalah yang dihadapi kader yang memiliki anak jika ditugasi ke luar kota. Di beberapa lokasi sidang, Gerwani menyediakan tempat penitipan anak agar kadernya tetap leluasa beraktivitas.
Menurut Ita Fatia Nadia, ada sederet perempuan pemikir di balik kesuksesan Umi memimpin Gerwani. Ia menyebutkan sejumlah perempuan yang juga duduk di jajaran Dewan Pimpinan Pusat, seperti Francisca Casparina Fanggidaej, Kartinah Kurdi, Sulami Djojoprawiro, Setiati Surasto, dan Salawati Daud.
Menjelang akhir 1965, Ita menceritakan, friksi besar terjadi. Umi ingin menarik Gerwani menjadi organisasi di bawah PKI. Tapi Sulami, Kartinah, dan lainnya menolak. Mereka menilai Umi sebagai feminis, tapi sangat patuh kepada partai. “Dan dia sangat Aidit,” Ita mengungkapkan hasil wawancaranya dengan sejumlah mantan pemimpin Gerwani.
Saat itu, Ita menambahkan, PKI berencana membentuk Wanita Komunis, yang kepemimpinannya akan diserahkan kepada Umi. Para pemimpin lain menolak karena organisasi itu diyakini akan bentrok dengan Gerwani. Penentuan arah Gerwani, apakah akan melebur dengan PKI atau tidak, rencananya diputuskan dalam kongres berikutnya, Desember 1965. Tapi kondisi berubah total setelah Gerakan 30 September atau G30S. PKI yang didirikan pada Mei 1914 akhirnya dinyatakan sebagai partai terlarang, hingga dibubarkan pada 1966.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo