Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Umi Sardjono dan aktivis Gerwani ditahan tanpa persidangan.
Ia tak mengetahui peristiwa pembantaian para jenderal di Lubang Buaya.
Tak berinteraksi dengan tahanan lain agar tak menularkan stigma PKI.
MUDJIATI baru beberapa hari mendekam di Penjara Bukit Duri, Jakarta Selatan, pada 1966. Perempuan asal Slipi, Jakarta Barat, itu diminta membantu seorang sipir membacakan dokumen berisi daftar nama tahanan untuk diketik. Beberapa bulan sebelumnya, Gerakan 30 September atau biasa disebut G-30-S pecah di Ibu Kota.
Kala itu, usianya masih 18 tahun. “Pertama kali saya mengenal Umi Sardjono dari daftar nama itu,” ujarnya saat ditemui Tempo, Sabtu, 25 September lalu, di perkampungan tak jauh dari lintasan rel kereta di Depok, Jawa Barat.
Mudjiati seorang tahanan langsiran dari markas Komando Distrik Militer Jakarta Pusat. Sejak diciduk tentara pada November 1965, hampir satu tahun ia mendekam di Bukit Duri.
Pemerintah Orde Baru menudingnya terlibat pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Lubang Buaya, Jakarta Timur, pada Gerakan 30 September 1965 malam. Pemerintah Orde Baru menuduhnya terlibat dalam peristiwa kelam itu karena aktivitasnya di organisasi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para aktivis Gerwani di penjara Bukit Duri, Jakarta. Dok. Uchikowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuduhan kepada Umi, Mudjiati, dan para tahanan politik lain nyaris seragam. Para tentara yang memeriksa meminta mereka mengaku ikut membantai para jenderal sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer dan menari telanjang. Untuk mendapatkan pengakuan itu, petugas menganiaya mereka. “Kepala saya sampai dibenturkan ke tembok,” ujar perempuan yang kini berusia 73 tahun itu dengan nada lirih.
Mudjiati mengaku tak tahu pasti Umi mengalami penyiksaan selama masa tahanan. Sebelum menghuni penjara khusus perempuan di Bukit Duri, Mudjiati mengaku hanya mengenal Umi dari pemberitaan di sejumlah media massa.
Saat diminta membacakan dokumen para tahanan, Mudjiati melihat nama Umi dalam daftar tahanan yang berasal dari kluster Senayan alias anggota parlemen. Dalam daftar itu juga tercantum nama Dahliar, Mudikdio, Salawati Daud, dan Kartinah Kurdi. Umi, yang menjabat Ketua Umum Gerwani, ditahan sejak 20 Oktober 1965.
Ada 170 tahanan politik di penjara Bukit Duri saat itu. Mereka menghuni sel mini berukuran 2 x 2,5 meter. Di dalamnya tersedia satu tempat tidur dan pispot. Tiap sel dihuni tiga orang.
Karena keterbatasan tempat, sebagian di antara mereka terpaksa tidur di kolong kasur beralaskan tikar. Makanan yang mereka terima pun ala kadarnya. “Menu kami hanya nasi dan sayur,” tutur Mudjiati.
Perlakuan terhadap Umi berbeda ketimbang tahanan lain. Ia menghuni sel seorang diri. Menurut Mudjiati, fasilitas itu juga diterima sejumlah tahanan lain yang masuk kategori A.
Mereka yang berada dalam kelompok ini adalah orang-orang yang ditengarai terlibat langsung dalam peristiwa G-30-S. Begitu pun para petinggi Gerwani yang terdaftar dalam kluster Senayan.
Kala itu, penjara Bukit Duri bernama Lembaga Pemasyarakatan Chusus Wanita. Penghuninya narapidana umum dan tahanan politik. Namun kedua jenis tahanan ini menghuni blok berbeda.
Menurut Mudjiati, sipir melarang mereka berinteraksi karena alasan keamanan. Mereka yang berstatus tahanan politik sewaktu-waktu bisa dipindahkan ke blok narapidana jika berulah dan sipir menilai mereka melakukan kesalahan berat.
Berbeda dengan narapidana lain, para tahanan politik perempuan di Bukit Duri dilarang membawa buku atau alat tulis. Kalaupun ada, buku yang boleh dibaca hanya buku agama dan kitab suci.
Lahan bekas Penjara Wanita Bukit Duri yang dulunya menjadi tempat tahanan politik, kini menjadi Komplek Ruko Bukit Duri Plaza, Jakarta, pada 29 September 2021. TEMPO/Nurdiansah
Fasilitas olahraga yang ada di penjara Bukit Duri hanya sebuah meja tenis yang dipakai secara bergiliran. “Umi tidak pernah menggunakan sarana olahraga itu,” ucap Utati, mantan penghuni penjara Bukit Duri lain.
Utati mengenang Umi sebagai sosok yang pendiam. Ia jarang berkomunikasi dengan tahanan lain seperti halnya Mudigdio atau Salawati Daud. Interaksinya sebatas dengan orang-orang lingkaran tertentu. Itu pun dengan bahasa Belanda. Utati menduga, Umi berusaha mengurangi anggapan kedekatan dengan tahanan lain agar tak memberikan stigma keterlibatan mereka dalam G-30-S.
Selama dalam tahanan, menurut Utati, Umi dan tahanan politik lain kerap mengisi waktu luang dengan merajut atau menyulam. Semua penghuni penjara tahu Umi mahir merajut memakai dua jarum sulam (knitting).
Hasil kerajinan tangan itu dijual atas bantuan pemuka agama yang dijadwalkan datang mengisi ceramah setiap pekan. “Sepulang dari penjara, badan mereka penuh membawa kerajinan tangan kami,” kata Utati.
Para penghuni penjara memakai uang hasil penjualan untuk membeli kebutuhan harian seperti sabun, odoldan atau bahan makanan. Adakalanya mereka memperoleh barang-barang pokok itu lewat bantuan sanak-famili saat membesuk.
Saat membesuk, pengunjung dan penghuni penjara tak boleh berdekatan. Untuk menyerahkan berbagai bahan kebutuhan, para pembesuk hanya dibolehkan menyorongkan kiriman di atas meja yang disekat dua kawat pemisah.
Mujiati, mantan tahanan politik di Bukit Duri dan Plantungan, saat ditemui di Depok, Jawa Barat, 25 September 2021. TEMPO/Nurdiansah
Mudjiati dan Utati sesekali diberi izin berbelanja ke Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, mewakili keperluan tahanan lain. Tentu saja dengan kawalan petugas. Keduanya juga kerap dilibatkan petugas dalam membantu urusan dapur.
Menurut Utati, Umi dan tahanan golongan A lain tak pernah diberi tugas atau disiksa sipir selama mendekam dalam penjara. Mereka hanya dilibatkan untuk kerja bakti membersihkan lingkungan penjara.
Ikhtiar para tahanan mengusir rasa jenuh adalah bernyanyi dan menari bersama. Menurut Nani Nurani Affandi, mantan tahanan Bukit Duri, nyanyian tak hanya bermanfaat untuk menghibur diri, tapi juga sebagai alat komunikasi. Para tahanan secara berkala menyepakati melantunkan nyanyian tertentu untuk memberi kabar kepada rekannya akan kehadiran sipir.
•••
PENJARA Bukit Duri berjarak sekitar 30 meter dari Pasar Jatinegara. Lokasinya terletak di sisi barat pasar, tak jauh dari jembatan Kali Ciliwung. Bangunan peninggalan Belanda itu dibuat dengan tembok tebal dan menjulang setinggi empat meter.
Jejak penjara itu kini tak lagi terlihat. Pemerintah Orde Baru memugar bangunan itu pada 1980-an. Di atas area lahan itu kini berdiri deretan rumah toko setinggi empat lantai.
Di penjara itu, Umi Sardjono bertemu dengan Jamilah, perempuan 15 tahun yang bersama pemudi lain dituding sebagai pelaku penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya. Salah satu tuduhannya, mereka menikam alat vital para perwira tinggi Angkatan Darat dengan pisau lipat. Mereka juga disebut mencungkil mata dan mengiris tubuh para jenderal dengan silet.
Belakangan, laporan autopsi mayat para jenderal memastikan tuduhan itu tak terbukti. Selain luka tembak yang fatal, tak ada tanda-tanda penyiksaan pada tubuh mereka. Namun stigma terhadap Jamilah sudah telanjur melekat. Nama dan fotonya dimuat setidaknya di empat surat kabar pada awal November 1965.
Kepada Ruth Indiah Rahayu, Ketua Divisi Pendidikan IndoProgress Institute for Social Research and Education, Umi Sardjono menyatakan tak pernah mengenal Jamilah yang disebut sebagai anggota Gerwani. Jamilah pun mengaku menjadi pekerja seks yang tak mengetahui apa pun tentang peristiwa Lubang Buaya. Namun, selama di penjara, Jamilah dan teman-temannya terus disiksa agar mengaku bersalah.
Penulis Lilik H.S., yang bersama fotografer Adrian Mulya menghasilkan buku Pemenang Kehidupan—berisi foto dan kisah hidup penyintas peristiwa 1965—menceritakan kesaksian salah satu tahanan politik yang menyaksikan Jamilah disiksa hingga nyaris gila. Menurut Lilik, Jamilah dan kawan-kawannya dirawat oleh Umi Sardjono seperti anak sendiri.
Utati, mantan tahanan politik di Bukit Duri, saat ditemui di Depok, Jawa Barat, 25 September 2021. TEMPO/Nurdiansah
Namun, melihat nasib malang para perempuan muda itu, beban Umi makin menjadi-jadi.“Rasa bersalah Umi pada perempuan muda itu besar sekali,” tutur Lilik. “Itu mungkin yang mendasari Umi tak mau bercerita apa pun ataupun diwawancarai secara terbuka.”
Saskia E. Wieringa dalam buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia juga mencatat peran media massa dalam mengipasi propaganda tentang Gerwani meski pentolan-pentolannya berada di balik tembok penjara. Saskia menulis ada wartawan Berita Yudha yang datang ke penjara untuk menemui Umi dan pemimpin Gerwani lain, seperti Mudikdio, Dahliar, dan Kartinah Kurdi.
Umi dan teman-temannya tak banyak menjawab pertanyaan si wartawan. Umi hanya menjawab bahwa ia tidak tahu apa pun tentang peristiwa Lubang Buaya. Namun wartawan itu menulis para perempuan itu “tampak sangat mencurigakan”. Adapun para pengawal di penjara justru disebut “berlaku sopan dan simpatik” serta tak ada perlakuan kejam terhadap para tahanan.
Tulisan di Berita Yudha pada 5 Desember 1965 sama sekali tak mengutip omongan pimpinan Gerwani. Malah pernyataan seseorang bernama Emmy yang ditampilkan. Emmy mengaku bahwa dia, “…ikut latihan di Lubang Buaya, dan di sana para pemimpin menjanjikan kepadanya akan menerima Rp 1,2 juta jika mau menyiksa para jenderal.”
Penulis buku Kembang-kembang Genjer, Fransisca Ria Susanti, yang mewawancarai tokoh-tokoh Gerwani, mengatakan Jamilah dan teman-temannya pernah diminta menari sambil telanjang. Setelah itu, tubuh mereka difoto. “Perlakuan itu membuat anggota Gerwani geram,” katanya. “Jamilah digunakan sebagai alat propaganda untuk memfitnah Gerwani.”
Nani Nurani Affandi, perempuan lain yang ditangkap, juga mengaku menjadi korban penahanan propaganda anti-Partai Komunis Indonesia. Penyanyi dan penari Istana Kepresidenan Cipanas itu menjadi target Corps Polisi Militer hanya karena pernah mengisi acara ulang tahun PKI di gedung pertemuan Roxy, Cianjur, Jawa Barat. “Mereka menuding saya ikut melakukan penyiksaan di Lubang Buaya, bahkan pernah pacaran sama Aidit,” ujar Nani.
Fransisca tak mengetahui persis jumlah anggota Gerwani yang ditahan atas tuduhan terlibat Gerakan 30 September. Berdasarkan data yang banyak beredar, jumlah perempuan yang bergabung dalam organisasi ini ditaksir mencapai 500 ribu-1,5 juta orang. Sebagian di antara mereka menjalani penahanan hingga belasan tahun tanpa sekali pun menjalani proses hukum.
Umi Sardjono sendiri baru dilepas pada 1979. Ada juga yang menyebut tahun 1976. Meski mengalami penahanan tanpa peradilan itu, Umi sama sekali tak mengasihani dirinya. “Apa yang terjadi pada saya adalah risiko dari pilihan yang saya ambil. Ya, saya harus menanggung risiko itu,” kata Fransisca menirukan ucapan Umi.
Kepada Ruth Indiah Rahayu, Umi justru menyesal karena banyak perempuan ditahan lantaran dituduh aktif di organisasi yang dia pimpin. Ini termasuk mereka yang bukan anggota Gerwani seperti Jamilah. “Dia meminta maaf karena tidak bisa membantu nasib mereka,” tutur Ruth.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo