Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AJAKAN itu datang dari sahabat jauh di negeri Belanda, awal 1950. Mattheus van Randwijk, Kepala Redaksi dan Direktur Majalah Mingguan Vrij Nederland, meminta Djamaludin Adinegoro datang ke Belanda. Randwijk punya agenda penting. Bersama Cornelis de Koning, koleganya di Vrij Nederland, ia ingin memperbanyak penerbitan buku untuk Indonesia. Salah satunya membuat atlas.
Mereka mencurahkan energi pada usaha penerbitan dan penjualan buku setelah majalah yang dikelolanya goyah ditinggal pelanggan. Vrij Nederland dianggap terlalu memihak Indonesia.
Adinegoro menerima ajakan Randwijk. Ia rela meninggalkan Mimbar Indonesia, surat kabar yang ikut dirintisnya sejak 1947, karena upaya penerbitan buku itu untuk menjembatani hubungan Indonesia dan Belanda. ”Kami sekeluarga sampai boyongan ke Amsterdam,” kata Anita Bachtul Chatam, anak kedua Adinegoro, Selasa pekan lalu.
Di kota itu, Adinegoro bersama istri dan lima anaknya tinggal di rumah Paulus Potterstraat. Di bangunan lima lantai itu mereka menempati lantai dasar hingga lantai dua. Lantai sisanya dihuni keluarga lain. ”Kamar dan ruangannya kecil-kecil,” kata Anita, kini 71 tahun, mengenang. ”Tapi rumah kami menjadi tempat berkumpul mahasiswa Indonesia.”
Hampir dua tahun di sana, Adinegoro menghabiskan waktu untuk mengerjakan atlas. Ia dibantu Adam Bachtiar dan Sutopo. ”Om Bachtiar bolak-balik Jakarta-Amsterdam,” ujar Anita. Kebetulan Adam Bachtiar bersaudara dengan Adinegoro. Ibu mertua Bachtiar kakak kandung Adinegoro. Adapun Sutopo adalah kolega Bachtiar. Ia guru etnologi di sekolah menengah tinggi di Jakarta, yang dipimpin Bachtiar.
Pada masa itu belum ada percetakan yang memadai untuk membuat peta di Jakarta. Itu sebabnya, gambar kartografi atlas dibuat NV Cartografisch Instituut Bootsma-Falkplan di Den Haag. Sementara itu, gambar dan naskah dicetak di percetakan offset NV Boek-en Kunstdrukkerij V/H Mouton & Co., juga di Den Haag.
Falkplan adalah salah satu pembuat atlas yang masih terkenal di negeri itu. ”Mereka sekarang menerbitkan peta-peta lipat untuk wisatawan,” kata Jaap Erkelens, bekas Kepala Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde. Adapun Mouton & Co. dikenal karena sering menerbitkan buku-buku seni budaya.
Tiga serangkai itu tidak sendirian. Selama proses pengerjaan, mereka bekerja sama dengan W.F. Heinemeyer dan J.E. Romein, ahli geografi Belanda. Keduanya, kata Jaap, dilibatkan karena berpengalaman menyusun edisi revisi atlas Bos pada 1930-an. Atlas Bos adalah atlas sekolah yang sangat terkenal di negeri itu. Terbit sejak akhir abad ke-19, atlas ini sudah dicetak ulang hingga ratusan kali. Nama Bos sendiri diambil dari nama belakang si perancang atlas, yang juga guru sekolah menengah di Negeri Kincir Angin itu.
Dari kolaborasi itu, terbitlah buku Atlas Semesta Dunia pada 1952. Inilah atlas pertama yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia sejak Republik merdeka. Pada tahun yang sama setelah atlas itu muncul, trio Adinegoro, Bachtiar, dan Sutopo—tanpa Heinemeyer dan Romein—juga menerbitkan Atlas Semesta Dunia untuk Sekolah Landjutan.
Dua atlas itu diterbitkan NV Djambatan di Amsterdam. Perusahaan tersebut didirikan Randwijk dan De Koning bersama beberapa penerbit di Belanda empat tahun sebelumnya. Nama Djambatan diambil dari De Brug-Djambatan, yayasan yang didirikan Vereniging Nederland-Indonesia pada 1946 untuk menjembatani ketegangan hubungan Indonesia-Belanda masa itu.
Di Jakarta, Randwijk dan De Koning mendirikan Opbouw-Pembangoenan. Tugas yayasan ini memperluas jaringan penerbitan majalah dan buku. Belakangan De Koning mendirikan cabang NV Djambatan di Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal PT Penerbit Djambatan pada 1954.
KETERTARIKAN Adinegoro pada pembuatan atlas bukan tanpa sebab. ”Selain sebagai jurnalis, Ayah mengenyam pendidikan kartografi,” kata Anita. Ilmu itu dipelajarinya di Jerman.
Ia merantau ke Eropa pada 1926 setelah merasa tidak cocok dengan ilmu kedokteran yang dipelajarinya di STOVIA. Sebelum tiba di Jerman, dengan naik kapal Tambora milik Totterdamse Lloyd, Belanda, Adinegoro singgah di beberapa negara. Persinggahan itu ditulisnya dalam kisah perjalanan di harian Pandji Pustaka dari 1926-1929.
Di Jerman, pria kelahiran Talawi, Sawahlunto, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904, itu tinggal di Berlin, Muenchen, dan Wuzburg. Satu semester untuk belajar jurnalistik, empat semester mendalami geografi dan kartografi, serta dua semester studi filsafat dan jurnalistik. Empat tahun di Jerman, ia kembali ke Indonesia.
Sejak itu Adinegoro memimpin harian Pewarta Deli di Medan, menjadi Kepala Perwakilan Pemerintah Pusat di Sumatera pada zaman revolusi, dan ikut mendirikan Kedaoelatan Rakjat di Bukittinggi.
Saat kesehatannya ambruk, Adinegoro memutuskan hijrah dari Bukittinggi ke Jakarta. Untunglah di sana ada Adam Bachtiar yang menyediakan paviliun buatnya. Bachtiar memang masih terhitung kemenakan Adinegoro. Ia dilahirkan di Pariaman, Sumatera Barat, 5 Maret 1905. Tamat dari Hoogere Burger School di Pariaman, Bachtiar meneruskan studi ke Amsterdam, mempelajari etnologi. Ia bisa melanjutkan studi karena peran Gerrit Jacob Nieuwenhuis.
Nieuwenhuis saat itu Ketua Dewan Pendidikan di Departemen Pengajaran di Jakarta. ”Ia menjadi bapak angkat ayah saya,” kata Nasti Mardjono Reksodiputro, 72 tahun, putri kedua Bachtiar.
Pulang dari Belanda, Bachtiar mengajar di Allgemeine Middelbare School di Yogyakarta, pindah sebentar ke Bandung, lalu mengajar calon pegawai negeri di Mosvia, Magelang. Bachtiar kemudian mendirikan sekolah menengah tinggi di Jakarta pada awal pendudukan Jepang. Ia bahkan diam-diam menggelar kegiatan sekolah di rumahnya di kawasan Gondangdia Lama, Jakarta, saat sekolah itu ditutup.
Kecintaannya pada dunia pendidikan mendorongnya ikut terlibat dalam pembuatan Atlas Semesta Dunia. Setelah itu, Bachtiar, yang pernah menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), pindah ke Malang menjadi Dekan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru. Perguruan itu kemudian berganti nama menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kini namanya menjadi Universitas Negeri Malang.
Enam tahun setelah atlas itu terbit, Bachtiar wafat. Ia dikebumikan di pemakaman Samaan, Malang. Adinegoro menyusul sembilan tahun kemudian dan dimakamkan di Karet, Jakarta.
JERIH payah Adinegoro dan Bachtiar mencipratkan hasil. Atlas Semesta Dunia itu membawa pengaruh bagi pembuatan atlas generasi selanjutnya. ”Atlas ini menjadi referensi,” kata Sukwarjono, 63 tahun, Kepala Laboratorium Desain, Konstruksi, dan Analisis Peta Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada. Atlas itu menjadi atlas pertama buatan orang Indonesia yang berani menunjukkan identitas bangsa.
Sementara pada atlas-atlas sebelumnya penamaan kota dan pulau memakai bahasa Belanda, atlas ini memakai bahasa Indonesia. Misalnya dari Buitenzorg menjadi Bogor, Fort de Kock menjadi Bukittinggi, Celebes menjadi Sulawesi. ”Perubahan itu menimbulkan rasa kebangsaan pada masa itu,” ujar Yusuf Razak, 68 tahun, salah satu penyusun Atlas Indonesia dan Semesta Dunia (2002).
Yang menarik, perubahan juga tampak dari bagaimana atlas itu memandang dunia. Jaap menilai para penyusun atlas menempatkan Indonesia sebagai pusat: memberikan perhatian lebih buat Indonesia dan memandang dunia dari sudut pandang Indonesia. Atlas itu menunjukkan Indonesia sebagai negara otonom. ”Bukan lagi sekadar ekor dari Belanda,” katanya.
Ini berbeda dengan atlas pendahulu yang melihat dunia dari sudut Eropa atau Amerika, dengan mengesampingkan Asia. Padahal Asia masa itu sudah berbeda ketimbang sebelumnya. ”Asia sudah mempunyai peranan di dunia dan Indonesia mengambil kedudukan yang penting dalam lingkungan Asia,” demikian kecap dapur dari tim redaksi atlas itu.
Atlas itu juga tak cuma menonjolkan gambar, tapi memuat keterangan soal bahan mentah, hasil bumi, industri, perhubungan, serta flora-fauna. Bahkan atlas tersebut menampilkan teks panjang-lebar soal sejarah, etnologi, sosiologi, ekonomi, dan politik tiap negara—disertai keterangan statistik dan gambar-gambar.
Noorhadi Rahardjo, kolega Sukwarjono dari Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, mengatakan visualisasi data geografi Indonesia dalam bentuk atlas yang disertai deskripsi itu sangat brilian—terlebih untuk ukuran masa itu. ”Sayang, kenapa atlas yang bagus itu tidak pernah dicetak ulang,” kata Jaap menambahkan.
(98) Atlas Indonesia Penerbit: N.V. Djambatan, Jakarta (1952)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo