Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beragam cara ditempuh novelis muda untuk mulai merajut karier.
Dari menyebarkan cerita pendek lewat SMS sampai memajang hasil karya di platform membaca dan menulis.
Bahkan hingga memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan karya.
Racun dari kawan. Mungkin itu judul yang tepat untuk menggambarkan perjalanan karier menulis Erisca Febriani. Perempuan berusia 24 tahun itu awalnya tak terlalu suka membaca, terlebih menulis. "Awalnya enggak suka baca buku, apalagi yang tebal. Suka mengantuk," kata Erisca kepada Tempo, Jumat, 13 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun rasa malas tersebut perlahan sirna ketika Erisca mendapat teman sebangku di kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 23 Bandar Lampung. Kawannya itu adalah kutu buku. Ia kerap membawa buku ke sekolah. Entah punya naluri bisnis atau memang iseng, dia kerap meminjamkan buku kepada Erisca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Minjeminnya maksa, harus bayar pula."
Karena rasa tak enak, Erisca mau-mau saja meminjam buku. Karena sudah telanjur membayar, ia terpaksa membaca buku-buku yang mayoritas novel remaja itu. Perlahan Erisca jatuh hati pada buku. Novel-novel pinjaman tersebut, kata dia, mengajaknya ke dunia penuh imajinasi. Dari situlah perempuan kelahiran Lampung, 25 Maret 1998, itu keranjingan membaca.
Dari membaca novel, rasa penasaran Erisca mengalir lebih jauh. Ia terpikir bagaimana caranya menulis cerita yang menarik hingga menjadi satu buku novel. Hanya bermodal pengalaman membaca novel, Erisca mencoba menjahit ceritanya sendiri.
Dari puluhan novel yang dibaca, ia belajar membuat karakter, gaya bahasa, sampai menulis konflik beserta penyelesaiannya. Walhasil, menulis menjadi hobi baru Erisca selain membaca.
Namun hobi barunya itu sempat tak mendapat restu orang tua. Musababnya, Erisca kerap kebablasan saat menulis. Biasanya, ia baru mulai menulis setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Nah, terkadang Erisca baru kelar menulis pukul 01.00. "Jadi, cuma tidur 3-4 jam. Aku enjoy, tapi orang tua enggak," kata Erisca.
Penulis novel 'Dear Nathan', Erisca Febriani. Dok. Erisca Febriani
Kawan sebangku Erisca nan kutu buku menjadi pembaca pertama tulisannya. Hanya cerita pendek, sebatas dialog dua orang. Erisca senang saat teman sebangkunya itu memuji karyanya. Misi berikutnya pun disiapkan Erisca untuk menyebarkan cerita bikinannya tersebut lewat pesan pendek alias SMS. Saat itu, ada operator seluler yang punya promo SMS gratis.
"Aku kirim ke temen yang mau saja. Kebetulan aku juga punya kawan komunitas pencinta boyband Shinee. Mereka suka karyaku."
Selanjutnya, penayangan cerita pendek Erisca beralih ke media sosial Facebook. Lagi-lagi ia mencantumkan kawan-kawan pencinta K-Pop sebagai pembaca. Hasilnya pun kala itu memuaskan. Sekitar 5.000 orang membaca tulisannya.
Berbekal pengalaman menulis itu, Erisca mulai berani menjajal cerita panjang. Lahirlah novel Dear Nathan yang ia publikasikan di kanal baca-tulis Wattpad pada pertengahan 2015.
Cerita Dear Nathan ia tulis saat menunggu hasil ujian kelulusan sekolah menengah atas. Karena libur panjang dan jarang bertemu dengan teman sekolah, Erisca mendapat ide menulis novel itu. Niat awalnya hanya menjadikan karya itu sebagai kenang-kenangan kegiatan dan cerita di sekolah.
"Ceritanya related banget di dunia SMA. Ada cowok badung bertemu dengan cewek ambisius," kata alumni SMA Muhammadiyah 2 Bandar Lampung itu.
Seperti geledek di siang bolong, Erisca kaget jumlah pembaca Dear Nathan meledak di Wattpad. Tak sampai setahun sejak diunggah, datang penerbit yang menawarkan Erisca untuk menerbitkannya menjadi buku. Novel itu terbit pada Maret 2016. Hanya sebulan, novel Dear Nathan dicetak ulang lantaran laku keras di pasar.
Penulis novel 'Dear Nathan', Erisca Febriani bersama pemeran 'Dear Nathan: Thank You Salam', Jefri NicholDok dan Amanda Rawles. Dok. Erisca Febriani
Erisca semakin kaget sekaligus bangga ketika rumah produksi datang menawarkan agar Dear Nathan diangkat ke layar lebar. Ia tak pernah menyangka bahwa novelnya akan menjadi film. "Ini jadi pembuktian kepada orang tua," kata penyandang gelar sarjana pertanian Universitas Lampung itu.
Datang suka, datang pula duka. Erisca sempat merasa tertekan ketika diserang kritik tajam dari pembaca sampai sastrawan yang ia kagumi. Ia benar-benar kaget betapa kencangnya kritik tersebut. "Mereka berekspektasi tinggi, padahal akunya baru lulus SMA," tutur Erisca.
Walhasil, pada 2018, barulah Erisca bisa berdamai dengan pedasnya kritik. Perdamaian hati itu tercapai setelah dia mencurahkan isi hatinya kepada editor penerbitan. Saat itu, Erisca sempat bertanya apakah ia perlu menyudahi menerbitkan novel-novelnya dan kembali ke Wattpad.
"Editor aku jawab, 'Kamu tahu amplas kan yang kasar? Anggap kritik itu sebagai amplas yang mengasah kamu biar semakin bagus.' Sejak saat itu, aku ambil sisi positif dari kritik. Seenggaknya, mereka sudah meluangkan waktu untuk beli dan baca novel aku," ucap Erisca.
Setelah Dear Nathan, Erisca meluncurkan sejumlah novel lain, seperti Serendipity (2016), Hello Salma (seri kedua Dear Nathan, 2018), Kisah untuk Gery (2019), Thank You Salma (seri terakhir Dear Nathan, 2019), Di Bawah Umur (2020), dan Kisah untuk Dinda (sekuel Kisah untuk Gery, 2021).
Erisca pun berharap para penulis muda lainnya tak henti semangat memajukan literasi Indonesia. Menurut dia, penulis muda saat ini diuntungkan dengan banyaknya platform yang bisa digunakan untuk mempublikasikan hasil karyanya. Urusan kualitas, ia melanjutkan, bisa dibenahi dengan jam terbang menulis.
Erisca pun berpesan agar penulis muda pandai-pandai memanfaatkan media sosial untuk mempromosikan tulisan mereka. Tak lupa ia menyarankan penulis muda agar tak terlalu berekspektasi tinggi dengan karyanya. "Jadikan menulis untuk diri sendiri dulu sembari perbanyak baca lagi guna menambah wawasan."
Lain Erisca, lain pula Wulan Fadila Fatia atau Wulanfadi. Novelis berusia 22 tahun itu memang suka membaca komik dan novel sejak duduk di bangku sekolah dasar. Komik Kecil-kecil Punya Karya terbitan Mizan menjadi santapan favoritnya.
Penulis novel 'Matt & Mou', Wulanfadi di kediamannya di Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 13 Mei 2022. TEMPO/Nita Dian
Beranjak remaja, saat duduk di bangku SMP, minat membaca Wulan bergeser ke novel remaja. Dia mengenalnya lewat aplikasi membaca dan menulis Wattpad. Awalnya, ia tak terlalu suka menulis.
Perempuan kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1999, itu sempat mencari hobi, dari bermain basket hingga melukis. Rupanya, ia menemukan kenyamanan saat menulis. "Seperti membaca, aku bisa habiskan waktu berjam-jam untuk menulis," kata Wulan ketika dihubungi, Kamis, 12 Mei lalu.
Bekal menulisnya didapat secara otodidaktik. Wulan tidak sekadar membaca, tapi juga mempelajari bagaimana puluhan novel yang ia baca itu disajikan. Dari situ, ia paham bagaimana cara menyusun kerangka cerita, dari satu per satu munculnya konflik sampai klimaksnya.
Novel pertama Wulan terbit pada 2015 saat ia berusia 16 tahun. Judulnya A: Aku, Benci, dan Cinta. Setahun kemudian, ia merilis novel kedua dengan judul R: Raja, Ratu, dan Rahasia.
Novel berikutnya, Matt & Mou, terbit pada 2016. Bahkan novel tersebut naik ke layar lebar.
Film 'Matt & Mou' yang diangkat dari novel karya Wulanfadi. Dok. MD Pictures
Masih pada tahun yang sama, Wulan merilis novel With Julian, lalu I Wuf You - Ketika Terlalu Takut Mengatakan I Love You (2017); Me and My Broken Heart (2018); Stroy of Seth (2019); Sadena dan Sandra (2019), Daisy (2019); serta Raja, Ratu, dan Rindu (2021).
Menurut Wulan, bukan perkara mudah membuahkan novel yang dicetak dan menjadi best seller. Butuh perjuangan dan kesabaran. Salah satunya saat mengirim naskah ke penerbit. Saat mengirim novel pertama pada 2016, ia sempat pesimistis tak bakal lolos seleksi. Sebab, terlalu lama kabar dari perusahaan penerbit. "Ya, sudah aku berusaha merelakan. Setidaknya, ini akan menjadi karyaku sendiri. Setelah merelakan, justru kabar baik datang dari penerbit itu," kata Wulan.
Wulan pun berharap penulis muda lainnya tetap semangat dan menjaga konsistensi dalam menulis. Novelis muda juga wajib memanfaatkan aneka platform baca tulis untuk memasarkan karyanya. Setelah mengantongi banyak pembaca, baru beranikan diri mengirim naskah ke penerbit. "Jadikan tulisan kamu di platform daring sebagai portofolio kamu ke penerbit."
Sementara itu, penulis novel dan puisi, Boy Candra, menganggap kemajuan Internet dan media sosial menguntungkan dunia penulis kreatif sehingga semakin berkembang. Belum lagi semangat dan ide penulis muda yang menjanjikan karya tulis berkualitas.
Boy Candra. Dok.Boy Candra
Namun penulis berusia 32 tahun itu menyebutkan pesatnya kemajuan informasi dan media sosial bisa menjadi tantangan tersendiri bagi penulis muda. Sebab, semua informasi bisa didapat melalui Internet. Adapun menulis dan menjadi penulis membutuhkan kelihaian dalam mengolah informasi tersebut. "Apakah bisa membikin karya yang berbeda atau justru mengintimidasi orang yang ada dengan kentara," kata pria kelahiran Sumatera Barat, 21 November 1989, itu.
Boy menyukai sastra sejak usia sekolah dasar. Ia menulis sejak 2011. Sejumlah novelnya mencatat penjualan best seller, seperti Origami Hati, Catatan Pendek untuk Cinta yang Panjang, Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi, Malik dan Elsa, serta Cinta Paling Rumit. Novel Seperti Hujan yang Jatuh ke Bumi difilmkan dan ditayangkan perdana di Netflix pada Oktober 2020. Adapun novel Malik dan Elsa difilmkan dan ditayangkan di Disney+ Hotstar pada Oktober 2020.
Selain banyak menulis novel, ia menulis cerpen dan puisi. Perjalanan kariernya dalam menulis juga tak mudah. Naskahnya berkali-kali ditolak penerbit. Namun ia terus menulis dan mengirim karyanya. Lalu, pada 2013, novel pertamanya, Origami Hati, pun terbit. Dari situ, Boy terus berkibar.
INDRA WIJAYA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo