Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manusia menciptakan tahun baru mungkin karena kita butuh penanda.
Di dunia ini, ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu.
Ingatan tak selalu panjang: mesti ada batas pada sehimpun catatan dan ada batas lagi untuk memulai catatan di lembar yang baru.
31 DESEMBER 1995, saya kedinginan di Gunung Ciremai. Sejauh bisa mengingat, itu satu-satunya perayaan menyambut matahari terbit di tahun baru. Setelah itu setiap tahun baru berlalu begitu saja: sedang di jalan, hanya menonton televisi, atau ketiduran. Waktu itu saya masih SMA, ingin juga ikut menyambut 1 Januari seperti teman-teman sekelas lain yang heboh tiap kali pergantian tahun. Lagi pula, waktu itu saya baru 17 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum malam, perjalanan harus sampai di puncak. Ciremai menyimpan cerita-cerita mistis. Ada sebuah cerita terkenal tentang para pendaki yang semalaman tak menemukan jalan pulang, hanya berputar-putar mengitari satu pohon. Jalur pendakian juga licin. Pada Desember, Kuningan selalu hujan. Maka, ketika matahari belum lingsir, kami hampir mencapai puncak tertinggi di Jawa Barat itu. Dingin makin menusuk, oksigen kian menipis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di puncak itu kami kelelahan. Hujan turun renyai. Semesta terungkup gelap. Ini puncak, lalu apa? Desember telah lewat. Pada pukul 0 orang tak sanggup gaduh. Ini Januari, mana matahari baru itu? Apa sebetulnya yang baru? Mungkin hanya almanak di meja belajar. Selebihnya sesuatu yang rutin, sisanya menunggu. Yang berubah hanya angka-angka karena waktu, toh, berputar seperti biasa. “Waktu diam, kita yang bergerak,” kata Michael Crichton dalam novelnya, Timeline. Barangkali, karena itu kita jadi tua. Tua dengan sendirinya.
Maka, pada 1 Januari 1996 itu, umur saya bertambah sehari dibanding ketika mulai menanjak di Palutungan, kaki Ciremai tempat saya mulai mendaki. Atau, kata orang-orang pintar, pernyataan lebih tepat adalah usia saya dan teman-teman sekelas itu berkurang satu hari saat kedinginan. Umur atau usia mungkin hanya penanda dan cara manusia memaknai waktu agar kita bisa menyisipkan kenangan ke dalamnya. Sebab, waktu tak seperti lokasi: kita tak akan bisa mengunjunginya kembali.
Tahun 1995 itu pun menjadi sebuah ingatan, kenangan yang muncul tiap menjelang tahun baru. Kini, saya berada di ujung 2024. Tubuh saya hampir berusia 47, meski bumi yang saya pijak tetap bumi yang fana ini. Saya tetap berusia 47 bahkan kalaupun saya kembali ke titik yang sama di Ciremai seperti tahun 1995.
Para ahli percaya bahwa gravitasi menciptakan waktu. Di dimensi lain dengan gravitasi nol, waktu melambat karena kecepatan benda-benda bergerak makin menjauh dibanding kecepatan cahaya. Di bumi pun, karena gaya gravitasi berbeda-beda akibat garis lintang, rotasi, dan geografi, kecepatan benda berbeda-beda. Apel di Tasikmalaya lebih ringan dibanding apel dengan massa yang sama di Antarktika sehingga ketika dijatuhkan kecepatannya pun akan berbeda. Tak ada durasi yang mutlak.
Dalam Interstellar, film Christopher Nolan, Joseph Cooper yang terperangkap dalam ruang lima dimensi bisa melihat dirinya sendiri di masa lalu ketika pamit kepada anaknya saat hendak menjelajah galaksi untuk mencari planet baru pengganti bumi. Di ruang lima dimensi itu, Cooper berada 30 tahun di masa depan jika dilihat dari waktu bumi.
Maka apa sebetulnya arti Desember dan Januari bagi kita, bagi kami, orang-orang kepayahan di puncak gunung? Ketika kami saling berbisik bahwa hari sudah 1 Januari, di bagian bumi yang lain orang masih tidur, atau masih makan malam, ada juga yang baru bersiap menuju alun-alun untuk merayakan pergantian tahun. Sementara itu, di Jayapura, orang Papua meniup trompet tahun baru dua jam sebelumnya. Maka apa arti baru dalam satuan waktu?
Manusia menciptakan tahun baru mungkin karena kita butuh penanda. Bahwa ada sesuatu yang harus berakhir dan bermula agar hidup tak jadi jemu. Manusia akhirnya menyadari ingatan tak selalu panjang: harus ada batas pada sehimpun catatan dan ada batas lagi untuk memulai catatan di lembar yang baru: bahwa jatah hidup kian berkurang.
Di puncak Ciremai, para pendaki menyambut pagi dengan riang. Bukan karena itu 1 Januari, melainkan karena waktu turun telah tiba. Matahari memancar-mancarkan cahaya menerobos celah pinus yang basah. Pancaran dan hangat yang sama dengan tanggal-tanggal lain, hari-hari yang lain. Jalur itu juga jalur yang sama dengan jalan yang saya lewati kemarin. Yang berbeda adalah cara saya melihat dan mengalaminya. Juga kenangan yang terbentuk ketika melaluinya.
Hal-hal baru itu adalah pengalaman. Jika mengunjungi Ciremai hari ini, saya akan mengarungi pengalaman-pengalaman baru yang berbeda dibanding 1995. Kata “mengarungi” mungkin tak tepat karena seolah-olah peristiwa-peristiwa telah ada di depan saya, seperti takdir yang tak bisa diubah. Padahal kita melihat masa lalu selalu dengan perspektif hari ini, seperti saya mengingat kembali peristiwa 1995 ketika menuliskan artikel ini.
Sepanjang turunan hingga tiba di Palutungan, saya tak mengingat pengalaman lain dan detail-detail peristiwa lain di hari baru 1996 itu, kecuali seorang teman menyetel musik, lagu “December” dari Collective Soul:
December clouds are now covering me
December songs no longer I sing ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo