Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPADATAN aktivitas Andani Eka Putra selaku Kepala Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas tak berubah banyak, meski pandemi sudah memasuki bulan ke-10. Pagi hari, ia berkantor di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Andalas di Kelurahan Limau Manis, Padang, Sumatera Barat, sebagai direktur umum dan sumber daya. Siang harinya, pria kelahiran 48 tahun lalu itu berada di laboratorium kampus yang menjadi rujukan utama pengetesan sampel Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Sumatera Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kesibukan Andani juga berlanjut di rumah. Selepas magrib, ia biasa membaca hasil pemeriksaan sampel tes usap polymerase chain reaction dari laboratorium untuk diverifikasi. Aktivitas itu berlangsung sampai pukul 12 malam. Andani lalu tidur dan bangun pada pukul 3 pagi untuk mengulangi pekerjaan verifikasi hasil pemeriksaan yang menjadi tanggung jawabnya seorang diri. Hasil itulah yang pada pukul 6 pagi ia laporkan ke Gubernur Sumatera Barat. Ia mengaku tak menghitung lamanya ia bekerja setiap hari. Tapi, “Saya tidur hanya tiga jam sehari,” ucapnya, Senin, 14 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tahap penanganan Covid-19, para petugas pengambil sampel dan pengetesan di laboratorium merupakan pasukan di garda terdepan. Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito, menyatakan peran penting pengetesan ini. “Testing itu untuk mengetahui siapa yang positif supaya disembuhkan. Yang tanpa gejala langsung isolasi mandiri. Ini bagian dari upaya memutus rantai penularan,” tutur Wiku.
dr Andani Eka Putra./Tempo/Febriyanti
Hasil pengetesan, baik dari laboratorium kesehatan daerah yang kemudian disetorkan ke dinas kesehatan maupun dari kepala daerah, dikumpulkan secara nasional di Jakarta. Masyarakat mengetahui data situasi harian itu ketika diumumkan oleh Satgas Penanganan Covid-19 atau melalui laman covid19.go.id. Wiku mengakui bahwa kadang-kadang ada data yang tidak sama antara pusat dan daerah karena sistem yang belum sinkron.
Di awal masa pandemi, pengetesan Covid-19 hanya dilakukan di jaringan laboratorium milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Namun jumlah laboratoriumnya terbatas dan tak lagi memadai saat jumlah kasus terus bertambah setelah kasus pertama diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu. Menurut pegiat Lapor Covid, Ahmad Arif, laboratorium lain dilibatkan dalam pengetesan setelah laboratorium jaringan Kementerian Kesehatan mulai kewalahan.
Di Sumatera Barat, pengetesan sampel awalnya dilakukan di laboratorium Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di Kabupaten Agam. Hasil tesnya cukup lama untuk bisa diketahui. Andani lantas memberi masukan kepada Gubernur Irwan Prayitno agar pemeriksaan bisa dilakukan di laboratoriumnya. Gubernur mendukung ide itu dan menyampaikan kepada Kementerian Kesehatan. Persetujuan pun diberikan sehingga laboratorium Universitas Andalas mulai melakukan pengetesan sejak 25 Maret lalu.
Petugas di Laboratorium Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas bekerja dari pukul 05.30 pagi sampai pukul 04.00 pagi berikutnya, dibagi dalam tiga sif. Setiap petugas wajib memakai alat pelindung diri selama enam-tujuh jam sehari. “Saat itu, tidak ada jaminan mengenai honor yang mereka terima. Mereka mengatakan bekerja dengan ikhlas,” ucap Andani, yang meraih gelar doktor ilmu kedokteran Universitas Gadjah Mada pada 2016. Honor mereka akhirnya diberikan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
Kesibukan para pengetes sangat bergantung pada berapa banyak tes usap yang dilakukan. Laboratorium Universitas Andalas yang kini memiliki 60 anggota staf awalnya memeriksa 100 sampel per hari. Setelah itu, jumlahnya terus meningkat. Pada Mei, mereka mengetes 800 hingga 1.570 sampel per hari. Menurut Andani, selama Mei itu spesimen yang diperiksa sebanyak 9.631 sampel dan menjadi pemeriksaan sampel tertinggi di Indonesia dari 98 laboratorium yang aktif dalam tes usap Covid-19.
Tak berhenti di situ. Puncak pemeriksaan sampel di Sumatera Barat terjadi pada Oktober lalu. Saat itu, menurut Andani, angka pemeriksaan menembus angka 100 ribu spesimen dalam sebulan. Tapi setelah itu jumlahnya berkurang dan kini jumlah pemeriksaan sekitar 2.500 sampel dalam sehari. “Sampelnya sedikit karena yang positif sudah mulai berkurang,” ucapnya. Tingkat keterisian tempat tidur pasien Covid-19 di Sumatera Barat saat ini juga sudah berkurang, dari awalnya penuh sekarang menjadi 50-60 persen.
Kesibukan juga dialami petugas di Laboratorium Bio Safety Level 2 Universitas Padjadjaran, Bandung. Savira Ekawardhani, pengajar di Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, salah satu petugas yang mengetes sampel di laboratorium itu. Laboratorium ini memiliki 20-30 anggota staf, terdiri atas peneliti hingga petugas kebersihan khusus. Ada dua-tiga sif anggota staf yang bertugas dalam sehari-semalam. Sampel tes usap yang diperiksa berkisar 200-300 buah. “Tidak mungkin libur karena sehari bisa banyak sampel yang menumpuk,” ujar Savira.
Jumlah sampel yang harus diperiksa inilah yang mempengaruhi tingkat stres. Tapi penyebab lain adalah pemakaian baju hazmat selama berjam-jam di dalam ruangan tertutup. “Kalau sudah di dalam ruangan kerja tidak bisa apa-apa selama minimal dua-tiga jam. Sekadar minum, makan, atau pergi ke toilet harus ditahan,” ujarnya, yang meraih gelar doktor bidang Neuro-behavioral Genetics Universität Trier, Jerman, pada 2009. Sebagian lagi yang bekerja dari malam sampai fajar pun harus menahan kantuk. “Saat ini, kita semua yang kerja sejak Maret itu sudah mulai lelah,” katanya.
Sumber ketegangan lainnya adalah kekhawatiran tertular SARS-CoV-2. Walau sudah menjadi rutinitas harian selama sembilan bulan, Savira menambahkan, petugas tetap merasa tegang ketika sedang menangani sampel. “Meski terbiasa, selalu muncul pertanyaan di hati, apakah aman enggak ya,” tutur perempuan 46 tahun itu. Andani menambahkan, di awal masa pandemi, banyak mahasiswa yang bertugas di laboratoriumnya menangis karena takut terinfeksi. “Saya katakan di laboratorium itu lebih aman karena menggunakan alat pelindung diri level 3. Justru di kafe-kafe itu yang tidak aman karena tak tahu siapa yang kena Covid-19.”
Angka kasus yang masih tinggi juga membuat para tenaga kesehatan ini tak punya waktu jeda. Menurut Savira, petugas di laboratorium sempat berharap dapat menikmati masa-masa libur di akhir tahun. “Prediksinya akhir tahun sudah cukup rendah angkanya. Eh, ternyata sekarang malah naik lagi,” ucapnya, Jumat, 4 Desember lalu. Kondisinya kini seperti déjà vu. Mereka harus kembali sibuk seperti pada masa awal pandemi. Setiap pekan mereka harus terus mengolah sampel pasien. Di akhir pekan mereka nyaris selalu tidak bisa libur.
Walau tidak lagi mengenal libur, menurut Savira, timnya berusaha tetap solid dan saling menjaga agar tidak terinfeksi. Mereka memperjuangkan agar ratusan sampel yang masuk setiap hari bisa langsung diproses dan hasilnya cepat keluar. Savira menjelaskan, mereka membayangkan pasien-pasien di luar sana yang menunggu sambil harap-harap cemas di bangsal rumah sakit. Sebagian pasien lain menanti hasil pemeriksaan sampel dalam kondisi kritis karena hendak dioperasi.
Jam kerja panjang ini memang tak meredam kritik dari luar terhadap kualitas pengetesan yang dianggap masih tidak memadai. Salah satu kritiknya adalah soal hasil tes yang terlambat keluar dan membuat seseorang berada dalam ketidakpastian. Hal itu pun bisa memicu penularan baru. Pasien yang sudah dites tapi belum tahu hasilnya bisa menjadi sumber penularan jika tak mau melakukan isolasi mandiri.
Menurut standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), hasil tes paling lambat harus keluar dalam dua hari. Di Indonesia, kenyataan berkata lain. Ada hasil tes yang bisa keluar dalam 24 jam, tapi ada yang sampai seminggu. Menurut Wiku, penyebabnya antara lain keterbatasan reagen, antrean sampel yang panjang, dan keterbatasan laboratorium. “Di Nusa Tenggara Timur hanya ada satu laboratorium sehingga pernah minta pemeriksaan ke Surabaya. Otomatis hasil pemeriksaan terlambat diketahui,” ujarnya.
Andani memiliki ide mempercepat pengetesan dengan metode pool test. “Teorinya sudah ada, saya memodifikasinya. Dengan metode itu kita bisa mengetes 5.000 sampel dalam waktu cepat,” katanya. Karena inovasi itu, Andani diajak Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) ke Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, Jawa Timur, Jawa Barat, Bali, dan Sulawesi untuk berbagi pengetahuan soal pool test ini.
Menurut Andani, masalah utama Covid-19 bukan hanya soal angka infeksi dan tingkat kematian yang tinggi. Secara global, kasusnya menginfeksi lebih dari 78 juta orang dan menyebabkan lebih dari 1,7 juta nyawa melayang. Masalah lainnya adalah penyebaran virus yang sangat cepat. “Karena ini masalah penyebaran, solusinya cuma bagaimana kita memutus rantai penyebaran. Karena itu tracing (pelacakan) menjadi penting,” tuturnya.
Menurut Direktur Program Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives Egi Abdul Wahid, pelacakan harus dilakukan paling lambat 72 jam setelah seseorang dikonfirmasi positif. Jika lebih dari itu, angka kasusnya akan bertambah banyak akibat datangnya kasus baru. Pelacakan dilakukan setelah ada konfirmasi bahwa seseorang yang sudah mengikuti tes usap itu dikonfirmasi positif. Pelacak akan menghubungi orang tersebut untuk memberi tahu hasilnya dan menanyakan dengan siapa saja dia melakukan kontak erat.
Petugas melakukan proses polymerase chain reaction di laboratorium Covid RS Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Agustus 2020./TEMPO/Prima Mulia
Mereka yang dikategorikan berkontak erat dengan pasien positif adalah keluarga inti pasien, orang yang berbicara dengan pasien dalam jarak kurang dari dua meter selama lima menit, dan orang yang berbicara dengan pasien secara terus-menerus selama 15 menit. “Pelacakan dimulai dari dua hari sebelum ada gejala. Sebab, 48 jam sebelum muncul gejala sudah bisa menginfeksi,” ujarnya.
Meski punya fungsi penting, penolakan dari masyarakat terhadap petugas pelacak kontak erat masih tinggi. Bentuk penolakan itu beragam, dari dimusuhi tetangga, diblokir nomor teleponnya, diusir saat hendak menjalankan tugas, hingga mendapatkan ancaman. Hal seperti ini dialami oleh Sellie Damayanti yang nomor telepon selulernya diblokir oleh orang yang dinyatakan positif Covid-19 ketika ia melakukan pelacakan kontak.
Sellie ditugaskan BNPB sejak November lalu di Pusat Kesehatan Masyarakat Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di sana, dia bertugas bersama 40-an pelacak kontak. Menurut Sellie, jumlah orang yang dilacak sangat bergantung pada banyak kasus positif hari itu. Maksimal, Sellie bertugas melacak lima orang dalam sehari. Sesuai dengan panduan, dari tiap orang itu bisa digali sekitar 30 nama yang berkontak erat dengannya. “Banyak pasien yang tidak terbuka. Ada yang malah memberikan hanya beberapa nama atau keluarga intinya saja,” ucapnya.
Pada 26 November lalu, Sellie pernah mendapatkan tugas melacak dua pasien positif. Salah satunya dari kluster perkantoran. Dari pelacakan itu, dia mendapatkan 20 nama orang yang melakukan kontak erat. Ia pun harus menelepon semua orang itu dan menyarankan mereka mengikuti tes usap. “Untungnya itu kluster perkantoran. Si pengusahanya berinisiatif mendorong ada swab test untuk karyawannya,” kata perempuan 23 tahun yang baru lulus dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta itu.
Bagi Sellie, kendala yang paling sering dihadapi adalah penolakan dari orang yang dinyatakan positif. Begitu mengetahui panggilan telepon itu merupakan pelacakan kontak, mereka akan menutup sambungan telepon, setelah itu nomor diblokir. Ada juga yang mengangkat telepon tapi mengaku tidak pergi ke mana-mana. “Kalau tidak mengaku, biasanya kami mengejar dengan sejumlah pertanyaan sehingga akhirnya diketahui bahwa dia berkontak dengan orang lain,” ucap Sellie.
Ia mengaku punya nasib lebih baik dari koleganya yang punya pengalaman diancam oleh pasien yang terkonfirmasi positif. Pasien itu mengatakan tidak percaya dan malah mengancam, “Kamu jangan macam-macam. Saya ini bekas napi,” ujar Sellie yang menirukan perkataan sang pasien. Jika menghadapi kasus seperti itu, menurut Sellie, dia akan berkoordinasi dengan petugas puskesmas dan kelurahan untuk mendatangi rumah pasien secara langsung untuk pelacakan.
Pengalaman tak mengenakkan juga dialami salah satu pelacak kontak di Kota Bogor, Jawa Barat, Sumardi. Warga Kelurahan Kebon Pedes, Kota Bogor, ini dimusuhi tetangganya gara-gara peristiwa pada Mei lalu. Saat itu ia menginformasikan ada tetangganya yang berstatus orang dalam pantauan. Laporan Sumardi ini membuat tim dari puskesmas datang ke daerahnya. Setelah dites, diketahui ada yang positif. Daerahnya pun dikarantina. Kejadian itu membuat dia dimusuhi. Kabar soal kiprahnya sebagai pelacak juga terdengar ke kampung lain di sekitar tempat tinggalnya.
Sumardim melakukan pengeceka suhu tubuh warga di Kebon, Pedes, Bogor./Dokumentasi Pribadi
Tak lama setelah peristiwa itu terjadi, pria yang sehari-harinya berprofesi pekerja bangunan itu ditugaskan untuk datang ke kampung tetangganya. Penduduk kampung itu menolak kedatangannya. Sumardi kemudian menghubungi kelurahan dan dipertemukan dengan pengurus rukun warga kampung itu. Singkat cerita, Sumardi pun dibolehkan masuk kampung untuk melakukan pelacakan. “Hasilnya, lima orang positif,” kata Sumardi. Salah satunya adalah pedagang yang masih jualan di pasar. “Saya ngeri bakal banyak yang tertular di pasar dan menjadi kluster baru,” ucap pria 41 tahun itu.
Marina Yulia Ningsih, 35 tahun, pelacak kontak dari Puskesmas Lubuk Kilangan, Padang, pun punya pengalaman serupa. Mula-mula, hampir semua pasien menolak dilacak. Ia juga pernah dicaci-maki di depan pintu rumah orang yang ingin dilacaknya. Di lain kesempatan, panggilan telepon Marina tidak diangkat. “Kami maklum saja karena mungkin masyarakat sedang stres. Kalau ada yang kena Covid-19 dianggap aib,” ujar perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai pegawai puskesmas ini. “Kami akhirnya datang bersama aparat kelurahan, babinsa (bintara pembina desa), dan petugas Dinas Kesehatan Kota Padang. Baru keluarga pasiennya mau dites swab,” ucap Marina.
Murti Utami Putri, pelacak dari Pencerah Nusantara yang bertugas di Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung, Jawa Barat, mirip-mirip juga pengalamannya. Ia pernah dituding mengganggu ketenangan, berbicara tidak sopan, atau membuat hidup susah karena memberi tahu hasil positif kepada pasiennya. “Padahal niat saya kan mau membantu. Ingin kasus di Bandung Kulon ini terdeteksi,” tutur lulusan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Sriwijaya, Palembang, Sumatera Selatan, pada 2019 ini. Perlakuan tak bersahabat itu tidak membuat Murti, juga pelacak lainnya, menyerah.
Saat menghadapi pemblokiran nomor telepon seluler, Murti dan kawan-kawannya bersiasat. Ia akan meminjam ponsel temannya untuk menghubungi. Jika tak kunjung dijawab, biasanya ia menggunakan jurus pamungkasnya: mengirim pesan, “Kalau bapak tidak mengangkat telepon, kami akan datang ke rumah dengan memakai pakaian hazmat lengkap,” ucap gadis kelahiran Palembang, 25 Juni 1997, itu. Ancaman ini terbukti cukup manjur. Stigma buruk tentang orang positif Covid-19 membuat pasien takut dan akhirnya bersedia berbicara.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo