Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Infak Ilmu dan Kebenaran

Ia gigih menegakkan hukum dan kedisiplinan di lingkungannya. Tak takut tekanan dan teror serta siap menguras harta untuk memperjuangkan kebenaran.

23 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Plandi, Kecamatan Plandi, Jombang, kalang-kabut menjelang pelajaran pertama mereka pada Senin awal Desember lalu. Guru Bimbingan dan Pembinaan Siswa Muchasonah sedang "bersemangat" pagi itu. Dia menyisir satu per satu kelas. Tak sampai sejam operasi, 75 pasang sepatu dicomot dari pemiliknya. Jumlah ini hampir 10 persen dari 777 siswa di sekolah itu. Sepatu yang tidak hitam legam, ada warna mencolok lain, atau sekadar ada garis warna-warni kena razia. "Sudah lama tidak ada operasi sepatu. Ini penertiban rutin," kata Sonah—panggilan akrab Muchasonah—kepada Tempo.

Seusai operasi, ia memanggil salah satu murid agar mengkoordinasi teman-temannya membeli cat semprot hitam. Kalau belum dicat hitam semua, sepatu tak boleh diambil. "Njaluki sepatu akeh opo arep dibothok (minta sepatu banyak sekali apa mau dibotok—makanan khas berbahan lamtoro dan kelapa parut)," ujar salah satu murid perempuan sambil berjalan berjingkat tanpa alas kaki. "Arek-arek podho nggresulo (anak-anak mengeluh), Pak," ucap Huda, murid yang juga kena razia.

Tak hanya merazia sepatu, Sonah juga memanggil anak laki-laki yang rambutnya mulai memanjang. Lalu, kress, rambut mereka digunting di tempat. Operasi telepon seluler juga sering dilakukan. "Ketat dan disiplin," kata Suliah, pegawai koperasi sekolah, berkomentar tentang Sonah.

Bukan hanya soal kedisiplinan. Muchasonah juga banyak membuat perubahan sejak dua tahun masuk ke sekolah ini. Dia diangkat sebagai wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Dengan jabatannya itu, ia menginisiasi kebijakan wajib salat duha berjemaah setiap pagi. Pukul 06.15, semua siswa harus sudah datang untuk salat empat rakaat, dilanjutkan doa bersama. Setelah itu, baru masuk kelas. "Anak zaman sekarang kalau tidak dijejali agama jangan harap nuraninya bisa terbuka," ujar perempuan kelahiran Jombang, 31 Desember 1965, ini. Biarpun saat ini dianggap kontroversial, ia yakin dampak "infak ilmu" kedisiplinan itu akan dirasakan anak-anak didiknya kelak.

Menurut sejumlah rekannya, menjadi guru adalah termin kehidupan baru Sonah. Kini ia lebih tenang, tak segarang saat menjadi pegawai Kantor Kementerian Agama Jombang.

Cerita tentang sepak terjang Sonah dikenal luas di Jombang. Namanya sering masuk koran karena mengungkap sejumlah kasus di kalangan internal kantor kementerian yang saat itu masih bernama Kantor Departemen Agama Jombang yang dianggapnya melanggar hukum. Pemberani dan tak pandang bulu. Satu kasus di antaranya penggelembungan gaji calon pegawai negeri di Kantor Departemen Agama Jombang pada 2005 (baca "Biar Penegak Hukum Berkompetisi"). "Teman-teman kepala sekolah se-Jombang tahu tentang Bu Sonah," kata M.H. Syahrir, Kepala MTsN Plandi.

Sebelum kasus penggelembungan gaji calon pegawai negeri, ada satu lagi yang cukup menyita perhatian publik Jombang, yakni laporan dugaan penyalahgunaan aset madrasah tsanawiyah di Kecamatan Jogoroto. Pada 2003, sekolah yang semula dikelola Yayasan Darussalam (swasta) itu diubah statusnya menjadi madrasah tsanawiyah negeri. Namun asetnya ternyata masih dikelola yayasan meski sudah diserahkan ke negara. Sonah melihat dana untuk madrasah itu rentan disalahgunakan karena secara de facto masih dikelola yayasan, meski secara de jure berstatus milik negara.

Sebagai kepala tata usaha, yang menjadi pintu keluar-masuk uang di MTsN Jogoroto, Sonah terusik ketika mendapati perbaikan lima ruang kelas di sekolah itu tak wajar. Ia melaporkan dugaan penyelewengan aset-aset tersebut ke polisi. Ia juga jengkel tanda tangannya dipalsukan di surat perintah membayar oleh pengurus yayasan. Alih-alih memberi dukungan, atasannya di sekolah justru meradang. Sedangkan rekan kerjanya menjauh.

Pada Maret 2004, turun surat tugas dari Kepala Kantor Departemen Agama Jombang Munsyief. Sonah dipindahkan ke bagian staf tata usaha di Kantor Urusan Agama Jogoroto. Merasa alasan pemindahannya tak jelas, perempuan berkerudung ini memperkarakannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya. "Ini soal harga diri. Rasanya kok seperti diinjak-injak kepala saya," katanya.

Dia memenangi gugatan PTUN. Hakim menilai mutasi Muchasonah tidak wajar karena tidak ada pertimbangan dari Badan Pertimbangan Pangkat dan Jabatan disertai surat keputusan. Kepala Kantor Departemen Agama Jombang tak menyerah hingga mengajukan permohonan kasasi dan kasusnya berlarut-larut sampai berganti pimpinan pada 2007.

Meski surat tugas mutasi itu akhirnya dibatalkan, kasus dugaan korupsi MTsN Jogoroto yang dilaporkannya malah tak jelas ujungnya walau telah lewat berbilang tahun. "Hal itu malah membuat dia semakin ingin membuka kasus-kasus lain," ujar Siswoyo, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Adil Surabaya, yang mendampingi Sonah sebagai konsultan hukum.

Muchasonah adalah sarjana muda Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Surabaya angkatan 1986. Masuk Departemen Agama pada 1989 sebagai anggota staf tata usaha, ia melanjutkan kuliah hukum di Universitas Darul Ulum, Jombang, pada 1994. Mata elangnya tajam melihat ketidakberesan. Awal 1990-an, misalnya, Sonah menemukan dugaan korupsi uang setoran nikah di Kantor Urusan Agama Mojowarno. Sikap kritis itu tak disukai rekan dan atasannya. Tapi saat itu tak ada yang berani mengusik Sonah karena ia keponakan Syamsuddin Suhar, Kepala Departemen Agama Jombang waktu itu.

Hingga pakdenya wafat, Sonah mulai merasa kerap "dikerjai" atasan dan teman-temannya. Pertama, permohonan penyesuaian pangkat gelar kesarjanaannya dipersulit dan setahun baru selesai. Pindah ke bagian lain, ia berulang kali merasa "dimakan" teman sendiri. Awalnya Sonah memilih mengalah. Tapi, karena terus dianiaya, ia akhirnya melawan.

Debut perlawanannya dimulai dengan membuka kasus MTsN Jogoroto itu. Jabatannya sebagai kepala tata usaha di sekolah itu membawanya berkenalan dengan ruwetnya jejaring hukum di Kota Santri tersebut.

Kegigihan Sonah melawan korupsi membawa langkahnya hingga ke Ibu Kota. Ia melaporkan kasus korupsi di daerahnya ke berbagai lembaga, dari Kepolisian Resor Jombang, Indonesia Corruption Watch, Komisi Pemberantasan Korupsi, sampai Ombudsman. Terkesan membabi-buta, tapi hal itu disebutnya efektif mendorong penegakan hukum.

Uniknya, meski Sonah wira-wiri sendiri, bekal untuk mengungkap kasus datang sendiri entah dari siapa. Dinihari kadang-kadang beragam dokumen bahkan data sensitif, seperti berita acara pemeriksaan, sudah teronggok di teras rumahnya.

Dengan kiprahnya yang tak biasa itu, wanita asal Dusun Murong, Desa Mayangan, Kecamatan Jogoroto, 80 kilometer ke arah barat daya Surabaya, ini mengaku kenyang menghadapi fitnah, ancaman, dan teror fisik ataupun mental. "Tapi teror apa pun tidak mempan. Orangnya berani luar biasa," kata Khoirul Luthfi, mantan kepala desa setempat.

Beruntung Sonah tak hanya mengandalkan gaji pegawai negeri. Ia punya beragam sumber penghasilan sampingan, termasuk dari tiga kolam lele di halaman belakang rumahnya. Menurut dia, ongkos menegakkan hukum tak murah. Tak terhitung berapa kali ia bolak-balik Jombang-Jakarta dan berapa banyak harta benda yang dikeluarkan untuk "biaya perang" melawan korupsi. "Saya anggap pengorbanan ini sebagai infak kebenaran," ucapnya.


Biar Penegak Hukum Berkompetisi

Lembar-lembar dokumen masih disusun rapi oleh Muchasonah di rumahnya di Desa Mayangan, Kecamatan Jogoroto, Jombang, awal Desember lalu. "Ini jawaban dari kantor Kementerian Agama," katanya sambil menunjukkan salah satu surat di antara dokumen itu.

Surat bertarikh 2007 tersebut merupakan balasan atas permohonan Sonah—panggilan akrab Muchasonah—agar atasannya memberi kenaikan pangkat. Maklum, sejak 2003, golongannya sebagai pegawai negeri tak pernah beranjak dari III-B. Permohonan itu dikabulkan, tapi ada catatan kecil yang mengganjal hatinya: menunggu putusan Mahkamah Agung.

"Masih harus menunggu putusan kasasi MA yang diajukan Kepala Kantor Kementerian Agama Jombang Munsyief," ujarnya. Sonah dan kantornya memang masih beperkara gara-gara mutasi dirinya dari jabatan Kepala Tata Usaha Madrasah Tsanawiyah Negeri Jogoroto menjadi pegawai Kantor Urusan Agama Jogoroto tanpa alasan jelas. Apalagi surat putusan baru turun pada Mei 2005, sementara Sonah sudah pindah Maret 2004 hanya dengan surat tugas. Perkara itu bergulir ke pengadilan, dan Sonah menang di Pengadilan Tata Usaha Negara Surabaya dan di sidang banding. Kini ia masih menunggu putusan kasasi.

Sonah menduga penundaan kenaikan pangkatnya berhubungan dengan sikapnya yang vokal selama ini, termasuk membongkar kasus penggelembungan gaji calon pegawai negeri di Kantor Departemen Agama Jombang. Kasus bermula saat seorang temannya bercerita bahwa ia disuruh menandatangani rapel gaji calon pegawai negeri. Bayaran yang seharusnya diberikan per Juni 2005 ketika 435 pegawai baru mulai bekerja dimajukan perhitungannya menjadi Januari 2005. Ternyata "gaji" hasil markup lima bulan yang nilainya mencapai Rp 1,3 miliar mampir ke sejumlah tangan, termasuk petinggi Kantor Departemen Agama.

Mendengar kecurangan itu, Sonah segera melapor ke Kepolisian Resor Jombang pada November 2005. Dua bulan tak ditindaklanjuti, ia melapor ke kejaksaan negeri. Dengan menggandeng Lembaga Bantuan Hukum Adil Surabaya, Sonah mengirim surat ke Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian RI, Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga Presiden RI. "Ini caranya mendorong penegak hukum agar berkompetisi mengusut kasus korupsi," katanya.

Kasus itu pun naik ke meja hijau. Tiga pejabat, yakni Kepala Kantor Departemen Agama Jombang Munsyief, Analis Kepegawaian Departemen Agama Jombang Masrukat, dan mantan Kepala Subbagian Tata Usaha Kantor Departemen Agama Jombang Fatkhul Wahab, divonis bersalah. Mereka dihukum 13 bulan penjara, didenda Rp 50 juta subsider satu bulan penjara, dan diwajibkan membayar uang pengganti. "Jombang menjadi pionir dan ada beberapa kota yang menggunakannya sebagai yurisprudensi," ucap Siswoyo, Ketua LBH Adil, yang mendampingi Sonah sebagai konsultan hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus