Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah Perempuan Pedagang di Ambon, Para Papalele yang Percaya dan Setia

Para papalele atau perempuan pedagang keliling di Ambon memiliki etos kerja yang tinggi.

14 Desember 2020 | 19.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas papalele di Gang Pos, Jalan Sultan Hairun, Kota Ambon, Senin, 7 Desember 2020. TEMPO | Khairiyah Fitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Ambon - 'Kita hidup dengan kasih Tuhan'. Ona Hehanussa melantunkan penggalan lirik lagu puji-pujian itu sembari menyiapkan bakul dan wadah plastik berisi pisang, salak, nangka, dan kenari. Semua barang dagangan Ona baru dipetik dari kebun sendiri. Ada juga sisa jualan kemarin yang belum laku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selesai menyiapkan dagangan, Ona mulai mematut diri. Perempuan 75 tahun ini menuangkan sedikit minyak rambut ke telapak tangan kiri, menggosoknya ke telapak tangan kanan, lalu mengusap kepala. Ona lalu menyisir dan menggelung rambutnya seperti konde. Inilah ciri khas seorang papalele, sebutan bagi perempuan yang melakukan aktivitas ekonomi dengan berkeliling sambil memikul barang dagangan di atas kepala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kelar urusan rambut, Ona Hehanussa merapikan baju cele, busana tradisional masyarakat Maluku dan kain sarung bermotif kotak-kotak merah putih yang menjadi ciri khas Papalele. Kelir sarungnya senada dengan kebaya. Ona tak lupa memakai masker untuk mencegah Covid-19. "Semoga ada berkat hari ini. Amin," samar Ona berdoa.

Saban hari, Ona Hehanussa keluar rumah pukul 09.00 WIT. Seusai memberi makan ayam peliharaannya dan membereskan rumah yang terletak di Pegunungan Sirimau, Desa Hatalai, Kecamatan Leitimur Selatan. Dia menyusuri jalan setapak kampung sembari memikul dagangannya di atas kepala. Meski usianya tidak lagi muda, langkah Ona tidak goyah ketika harus menaiki 166 anak tangga menuju tempat menunggu angkutan umum. Butuh 30 menit dari Leitimur Selatan, yang merupakan kawasan pegunungan, menuju Kota Ambon.

Ona Hehanusa, 75 tahun, seorang Papalele di Ambon saat berada di rumahnya di Desa Hatalai, Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon, Senin 7 Desember 2020. TEMPO | Khairiyah Fitri

Ona membayar angkot Rp 5.000. Jika beruntung, kerabat dan tetangganya yang membayar. Ona menumpang angkot sampai di titik perhentian di Jalan Sultan Hairun. Turun dari angkot, dia mulai berjalan ke sejumlah titik keramaian, perkantoran, dan mampir ke pelanggannya. "Biasanya saat makan siang beta keliling di sekitar perkantoran, orang-orang kantor pasti mencari buah setelah makan," katanya.

Bertransaksi dengan papalele bukan sekadar jual beli biasa. Ona memegang prinsip kepercayaan dan setia kepada pelanggannya. Yanti membuktikan prinsip papalele Ona Hehanussa. Lima tahun lalu, pemilik sebuah toko kelontong di Kota Ambon ini pernah membeli pisang dari Ona dengan jumlah banyak untuk acara keluarga. Sayangnya, saat itu dia tidak memiliki uang tunai yang cukup.

"Zaman sulit seperti seorang, orang biasanya butuh uang cepat. Tapi Ona percaya dan sampai sekarang saya berlangganan membeli buah darinya," ucap dia. Hubungan Ona dan Yanti pun lebih dari itu. Mereka saling berbalas memberi setiap hari raya, baik Natal maupun Ramadan dan Idul Fitri.

Pandemi Covid-19 membuat pertemuan Ona Hehanussa dengan Yanti kian jarang. Pertokoan terpaksa tutup dan Ona pun berhenti berjualan selama beberapa bulan. Terlebih sudah berusia lanjut, Ona termasuk kelompok yang rentan terpapar Covid-19. "Karena ikut aturan pemerintah, saya seng (tidak) jualan," katanya. Selama berada di rumah, Ona Hehanussa merawat kebun dan memelihara ayam. Dia kemudian melihat peluang baru, yakni menjual ayam kampung peliharannya. Sebutir Rp 5.000, tiga butir Rp 10 ribu.

Papalele lainnya, Mama Ci Ance berharap pandemi Covid-19 segera teratasi. Perempuan yang biasa berjualan di Gang Pos, Kota Ambon, ini mengatakan pendapatannya anjlok selama pagebluk. Sebab kini orang enggan mampir dan memilih belanja lewat daring. Keterbatasan pengetahuan teknologi para papalele membuat mereka merugi. "Buah dan sayur yang kami jual banyak yang busuk," kata dia. "Kami juga sudah tua, tak tahu cara pakai hape dan internet."

Tulisan ini adalah hasil Program Fellowship AJI 2020

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus