Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tafakur di Balik Terungku

Empat lembaga pemasyarakatan mengutamakan pendekatan keagamaan untuk merehabilitasi narapidana kasus narkotik. Rehabilitasi juga menjadi kunci untuk mengurangi jumlah penghuni penjara. Pemidanaan kasus narkotik idealnya hanya diterapkan terhadap para bandar dan pengedar.

15 Mei 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lembaga pemasyarakatan memanfaatkan suasana Ramadan untuk menggiatkan program rehabilitasi narapidana narkotik.

  • Pengguna narkotik hendaknya dianggap sebagai korban, bukan pelaku kriminal.

  • Masih ada bandar narkotik yang mengendalikan jaringan dari balik jeruji.

DI bawah langit mendung, puluhan sajadah menyelimuti pelataran Masjid Al-Ikhsan di kompleks Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Sungguminasa di Gowa, Sulawesi Selatan, pada Selasa, 4 Mei lalu. Belasan alas salat lain membentang di selasar ruang tahanan. Para narapidana bersama sipir bersiap melaksanakan salat zuhur siang itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hujan akhirnya turun. Anggota jemaah yang berada di luar masjid berhamburan. Para narapidana kembali ke ruang tahanan, lalu mendirikan salat di sana. Didit Hariyadi, koresponden Tempo di Sulawesi Selatan, yang sudah bersiap dengan kameranya, batal merekam momen salat berjemaah itu. Awalnya ia berniat menangkap suasana ibadah narapidana yang umumnya dihukum karena kasus narkotik tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembaca, pada suasana Lebaran tahun ini, Tempo menyajikan laporan khusus tentang proses rehabilitasi narapidana narkotik di dalam penjara. Setelah serangkaian diskusi panjang dalam rapat redaksi pada akhir April lalu, kami memutuskan memotret empat penjara narkotik yang tersebar di berbagai wilayah. Empat penjara ini dianggap memiliki program paling menonjol untuk menyadarkan para narapidana dari kecanduan narkotik.

Narapidana Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II A Kabupaten Sleman, Yogyakarta sedang mengaji di Masjid At Taubah, Kamis, 6 Mei 2021. TEMPO/Shinta Maharani

Kisah mereka penting untuk diangkat karena bisa menjadi inspirasi bagi penjara lain guna membuat program serupa. Edisi ini juga membawa misi memberikan pengetahuan kepada publik bahwa ketergantungan pada narkotik bisa disembuhkan dengan program rehabilitasi yang sungguh-sungguh.

Indonesia masih menjadi pasar potensial peredaran narkotik. April lalu, Kepolisian RI menggagalkan penyelundupan sabu seberat 2,5 ton asal Timur Tengah. Ini tangkapan terbesar dalam beberapa tahun terakhir. Yang mengenaskan, bisnis haram ini dikendalikan oleh seorang pesakitan dari balik terungku. Ini membuktikan penjara kita belum beres.

Badan Narkotika Nasional merilis jumlah pencandu narkotik pada 2020 mencapai 1,8 juta orang. Pasar yang luas membuat bisnis narkotik masih menggiurkan. Keuntungannya dikabarkan mencapai belasan kali lipat dari ongkos produksinya. Barang haram ini bahkan beredar di dalam penjara. Razia oleh sipir kerap menemukan sabu dan sebangsanya di sudut-sudut tersembunyi di dalam sel.

Di tengah situasi yang pelik itu, masih ada penjara yang gigih merehabilitasi para pencandu agar sembuh dari ketergantungan. Lembaga Pemasyarakatan Sungguminasa, misalnya, mengandalkan pendekatan keagamaan untuk menyadarkan mereka. Hasilnya cukup memuaskan. Hampir setiap tahun penjara ini melahirkan penghafal Al-Quran yang telah lepas dari narkotik lewat program pendampingan yang diawasi secara ketat oleh pengelola lembaga pemasyarakatan.

Ini yang membuat Lembaga Pemasyarakatan Sungguminasa meraih predikat sebagai salah satu penjara penyelenggara rehabilitasi terbaik dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2020. Selama Ramadan lalu, program keagamaan di dalam penjara kian intens dijalankan. Hampir semua narapidana menyibukkan diri dengan ibadah. Kami mengirim Didit untuk melihat dari dekat pelaksanaan program itu.

Kami juga mengutus koresponden Yogi Eka Sahputra ke Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Tanjungpinang di Kepulauan Riau. Penjara yang berada di tengah perkebunan sawit di Pulau Bintan ini membuat beragam terobosan untuk membina penghuninya. Pendekatan keagamaan lagi-lagi menjadi andalan. Mereka bahkan membangun pesantren dan mendirikan “asrama” khusus para narapidana yang diangkat menjadi “santri”.

Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Pamekasan, Madura, Jawa Timur, menggandeng Pondok Pesantren Suryalaya untuk membantu program rehabilitasi. Kami mengirim koresponden Mustofa Bisri untuk mereportasekan situasi di dalam penjara. Tak jauh letaknya dari sejumlah pondok pesantren, Lembaga Pemasyarakatan Pamekasan kaya akan program pendidikan keislaman. Pengelola penjara bahkan mewajibkan narapidana nyantri di pesantren agar mendapatkan pembebasan bersyarat.

Petugas lapas bersama BNNK dan polisi menggeledah kamar warga binaan di Lapas Kelas IIB, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, untuk mencegah peredaran narkoba di dalam lapas., Selasa (6/4/2021) malam. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

Ada lagi Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas IIA Sleman, Yogyakarta. Koresponden Shinta Maharani ditugasi mewawancarai sejumlah narapidana di sana. Shinta masuk ke sudut-sudut penjara yang populer di kanal YouTube karena sering mengunggah video yel-yel ala militer untuk membangkitkan kekompakan dan semangat para napi tersebut. Selain mengandalkan kegiatan keagamaan, Lembaga Pemasyarakatan Sleman memiliki perpustakaan dengan koleksi buku berlimpah.

Program rehabilitasi di keempat penjara itu dibantu para ustad yang memiliki latar belakang beragam. Bagi penghuni non-Islam, mereka dilayani rohaniwan agamanya. Para pemuka agama tersebut direkrut untuk membangun kesadaran warga binaan agar tak jatuh lagi ke kubangan masa lalu. Lewat berbagai tausiah, para narapidana diajak menginsafi kesalahannya. Di antara para ustad itu, ada yang pernah merasakan dinginnya bilik sel. Pengalaman sebagai tahanan memudahkan mereka menjalankan program rehabilitasi bagi narapidana.

Tak ada gading yang tak retak. Empat lembaga pemasyarakatan yang kami liput bukan tanpa cela. Pada 11 November 2020, BNN membongkar jaringan peredaran sabu yang dikendalikan seorang narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Sleman. Sang bandar bahkan disebut berjejaring dengan pengedar lain yang berada di penjara berbeda. Begitu juga ketiga lembaga pemasyarakatan yang lain, selalu saja ada pihak luar berupaya menyelundupkan narkotik ke dalam penjara. Petugas pun masih menemukan bubuk terlarang saat merazia sel.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Saut Poltak Silitonga mengatakan, mencegah peredaran narkotik tak cukup dengan mengandalkan petugas lembaga pemasyarakatan. Maka lembaganya selalu menggandeng kepolisian dan BNN untuk mengawasi penjara. “Sepanjang 2020, tercatat 264 kasus penyelundupan yang kami gagalkan,” ujarnya.

Ulah para bandar tersebut, kata Reynhard, bisa merusak program rehabilitasi para narapidana. Untuk mensterilkan lingkungan penjara dari peredaran narkotik, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan memutuskan memindahkan napi nakal ke penjara dengan keamanan supermaksimum, Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah. Ada 643 bandar narkotik yang sudah dipindahkan ke sana. “Ini adalah upaya kami untuk memutus mata rantai peredaran narkoba,” tuturnya.

Direktur Jenderal Pemasyarakatan Reynhard Saut Poltak Silitonga. http://www.ditjenpas.go.id

Kasus narkotik memang menjadi problem utama penjara saat ini. Kapasitas semua penjara di Indonesia hanya untuk 135.647 orang. Sementara itu, jumlah semua narapidana dan tahanan hingga Mei 2021 sebanyak 262.755 orang. Lebih dari separuhnya adalah narapidana dan tahanan kasus narkotik. Kebanyakan dari mereka adalah pengguna.

Penjara yang sesak kerap menimbulkan masalah. Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta, misalnya, hanya berkapasitas 1.084 orang. Tapi penghuninya mencapai 3.061 orang atau hampir tiga kali lipat dari daya tampungnya. Tak mengherankan, meski Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Jakarta memiliki sistem dan fasilitas penunjang yang memadai, kasus penyelundupan narkotik sering dijumpai di sana.

Cara untuk menangkal sesaknya penjara sebenarnya bisa dengan merehabilitasi pengguna narkotik. Sejak awal mereka tak perlu masuk tahanan, tapi diikutkan program rehabilitasi supaya lepas dari ketagihan. Kepala Balai Besar Rehabilitasi BNN Yuki Ruchiyat mengatakan pemidanaan kasus narkotik idealnya hanya diterapkan terhadap para bandar dan pengedar.

Pembaca yang budiman, kami tak memungkiri masih ada penjara lain yang juga menerapkan program rehabilitasi bagi narapidana narkotik dengan sungguh-sungguh. Tapi, dalam memberantas narkotik, rehabilitasi di dalam penjara semestinya bukan opsi pertama. Di pundak para penegak hukum tugas terberat digantungkan. Narkotik harus ditangkal sejak dari hulu. Dari produksi dan pengirimannya. Bagaimanapun, mencegah lebih baik daripada mengobati.


Tim Liputan Khusus Pertobatan di Penjara

Penanggung Jawab:
Mustafa Silalahi

Kepala Proyek:
Riky Ferdianto

Penulis:
Abdul Manan, Agung Sedayu, Hussein Abri Dongoran, Riky Ferdianto, Rosseno Aji

Penyumbang Bahan:
Didit Hariyadi (Gowa), Yogi Eka Sahputra (Bintan), Shinta Maharani (Yogyakarta), Mustofa Bisri (Madura)

Penyunting:
Anton Septian, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Mustafa Silalahi, Stefanus Pramono

Penyunting Bahasa:
Iyan Bastian, Hardian Putra Pratama, Edy Sembodo

Periset Foto:
Jati Mahatmaji, Ratih Purnama, Gunawan Wicaksono

Desainer:
Imam Riyadi, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar

Ilustrasi Sampul:
Kendra Paramitha

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus