Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BABI hitam itu hanya bisa menguik-uik tak jelas. Moncongnya diikat tali. Begitu juga empat kakinya bersatu oleh tali tambang. Raja Larantuka, Don Martinus Diaz Vieyra Godinho, memegang parang. Berdoa sejenak, lalu parang itu disabetkan ke tenggorokan si babi. Selasa dua pekan lalu, babi itu kelojotan sejenak sebelum tebasan kedua memisahkan leher dengan tubuh gemuknya.
Kepala babi itu lalu digantung di salah satu tiang tenda di lapangan Ile Mandiri, tempat puncak perayaan lima abad Tuan Ma digelar. ”Kami meminta kepada leluhur supaya tak terjadi hujan dan acara lancar,” kata Rofinus Nara Kean, juru bicara istana.
Malam sebelumnya di tempat yang sama, para tetua adat Larantuka memberikan sesajen kepada 27 leluhur mereka dari Ile atau Gunung Mandiri (Larantuka), Ile Boleng (Adonara), Ile Labalekang (Lembata), Ile Napo (Solor), dan Ile Sirom (Pantar). Para tetua adat ini mengunyah pinang dan kapur serta minum moke (arak) di tempurung kelapa. Moke untuk leluhur diberikan dengan menuangnya ke tanah. Tak boleh ada orang atau kendaraan melintas di depan mereka.
Inilah bagian dari adat Lamaholot yang masih dipegang di Larantuka dan sekitarnya. Upacara serupa juga digelar saat akan membangun rumah dan tempat ibadah, atau terjadi bencana alam. ”Kalau mau bikin fondasi, tanahnya dikorek dulu oleh pemimpin adat,” kata salah satu pelaku adat, Yoseph Miten Balun.
Jauh sebelum gereja Katolik masuk Larantuka, kata Raja Don Martinus, masyarakat memiliki kepercayaan kepada lera-wulan (matahari-bulan) dan tana-ekan (tanah-bumi) yang melambangkan Sang Pencipta serta bumi yang melahirkan orang Lamaholot. Suku primitif saat itu memberikan persembahan kepada Sang Pencipta dan para leluhur di mazbah batu. ”Segala sesuatu yang tak melalui upacara ini tak akan berhasil,” kata Martinus.
Eduardus Jebarus, imam diosesan Keuskupan Larantuka, menilai sebagian adat ini tak sejalan dengan ajaran gereja. Misalnya, memberi makan para leluhur. ”Saya bisa saja mendoakan para leluhur, tapi tak perlu sampai memberi makan. Ada-tiada leluhur, acara tetap akan berjalan,” katanya.
Eduardus menilai upacara seperti itu menimbulkan dualisme agama-adat. ”Inilah kesulitan gereja saat bertemu dengan agama asli di satu daerah.” Ia menyayangkan adat semacam ini dilakukan aktivis gereja, seperti pengurus Konfreria.
Tapi para pelaku adat membantah pertentangan adat Lamaholot dengan gereja. Justru gereja Larantuka merestui upacara semacam itu. Buktinya, ”Uskuplah yang meminta kami menggelar upacara,” kata Yoseph Balun.
Benarkah? Uskup Fransiskus Kopong Kun membantahnya. Ia tak pernah meminta pengadaan upacara adat. Baginya, upacara semacam itu tak terlalu penting. Tapi ia juga tak mempersoalkan pengadaan upacara tersebut. ”Ini bagian dari budaya yang menghargai para leluhur,” katanya. Pun upacara seperti itu sudah lebih dulu ada sebelum gereja menyebarkan ajaran di Larantuka.
Entah adat Lamaholot manjur entah tidak. Tak lama setelah pemotongan babi, hujan begitu deras. Tapi dua hari kemudian, saat perayaan ekaristi digelar di lapangan Ile Mandiri, Larantuka kering dan hangat, langit terang-benderang, tanpa setetes pun air hujan.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo