Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Koalis Bos Yang Mengapung Istana

Manuver berburu kursi mewarnai awal pemerintahan baru. Menutup catatan positif pemerintahan Jokowi-JK.

2 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JOKO Widodo terpilih menjadi presiden ketujuh Republik Indonesia dengan harapan tinggi. Ia dianggap sebagai pemimpin yang "berbeda": tidak peduli protokoler, tampil apa adanya, dan selalu menggunakan pendekatan praktis. Popularitasnya melampaui batas negara, seperti ketika majalah Time membuat sampul berjudul "New Hope" pada hari pelantikan Jokowi-Jusuf Kalla, 20 Oktober 2014.

Kini, lewat seratus hari pemerintahan Jokowi-JK, yang terekam media massa justru gesekan antarpartai politik pendukung mereka. Aneka intrik ini, termasuk dalam pencalonan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, mengaburkan sejumlah catatan positif pemerintahan baru. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto, misalnya, menilai Presiden Jokowi berhasil memotong birokrasi untuk menyelesaikan aneka masalah. "Termasuk dalam distribusi pupuk," katanya Kamis pekan lalu.

Jokowi-JK didukung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Menurut Kalla, partai-partai ini hanya menempatkan sepuluh politikus anggota Dewan di Kabinet Kerja. Sisanya berasal dari birokrat, pengusaha, dan akademikus.

Kini, tarik-menarik politik urusan pengisian jabatan di lingkaran Istana terjadi di antara partai-partai itu. PDI Perjuangan justru paling santer menyerang karena mengklaim banyak kepentingan mereka tak dipenuhi Jokowi. "Anda kader partai. Sadarlah. Tanpa partai, Anda bukan siapa-siapa," kata Ketua PDIP Effendi Muara Sakti Simbolon, Jumat pekan lalu.

Effendi bahkan menyebut Jokowi laksana "kacang lupa kulitnya". Tapi anggota Dewan ini tak spesifik menunjuk apa saja kesalahan Jokowi. Dia hanya mengatakan pemerintah menjalankan "kebijakan ekonomi liberal" yang bertentangan dengan ideologi partainya. Ia menyatakan kisruh pencalonan Kepala Polri setelah Komisaris Jenderal Budi Gunawan dijadikan tersangka bukanlah kepentingan partainya.

Padahal PDIP terlihat mati-matian mendorong pelantikan Budi yang sudah disetujui DPR. Partai NasDem mengambil sikap sama, yaitu meminta Presiden tetap melantik Budi. "Kami mendukung pelantikan karena legal formal prosesnya sudah dipenuhi," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum NasDem Enggartiasto Lukita, Rabu pekan lalu.

PKB memprotes lantaran tak diajak membahas penundaan pelantikan Budi. "Ini ada anomali seharusnya ngomong-ngomong dululah," ucap Wakil Ketua Dewan Syura PKB Ali Maschan Moesa.

Para politikus PDIP mengancam menarik dukungan terhadap Jokowi jika Budi tak segera dilantik. Apalagi setelah Jokowi menerima Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto, pesaingnya dalam pemilihan presiden, di Istana Bogor pada Kamis pekan lalu.

Ketua PDIP Bambang Wuryanto dan Effendi membantah kabar bahwa partainya bakal meninggalkan Jokowi. Toh, serangan politikus PDIP terhadap Jokowi lewat pernyataan di media massa tak kunjung berhenti. Masinton Pasaribu, politikus PDIP di DPR, tak langsung membidik Jokowi. Dia memutar menendang orang-orang di sekitar Presiden.

Masinton menuding bos Sekretariat Kabinet, Sekretariat Negara, dan Kantor Staf Kepresidenan memotong jalur komunikasi partainya dengan Jokowi. "Mereka bukan kader PDIP. Pesan dari partai untuk Jokowi lebih dari satu minggu baru sampai," ucapnya. Tudingan serupa sebelumnya disampaikan Effendi.

Masinton tak menyebut nama, tapi jelas siapa yang disasar, yakni Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, dan Kepala Staf Kantor Kepresidenan Luhut Binsar Panjaitan. Pratikno membela koleganya. "Tak bisa kami menyampaikan, 'Pak Presiden, jangan terima yang ini atau yang itu'," katanya Jumat pekan lalu.

Luhut sudah lama tak disukai PDIP karena dinilai terlalu menguasai Jokowi. Jokowi memang dekat dengan pensiunan jenderal TNI Angkatan Darat itu. Keduanya berkongsi dagang jauh sebelum Jokowi menjadi Wali Kota Surakarta pada 2005.

Plot menjadikan Luhut sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan gagal demi menjaga perasaan Megawati Soekarnoputri. Memasukkan Luhut ke kabinet dikhawatirkan memantik amarah Mega karena Budi batal menjadi Menteri Sekretaris Negara gara-gara rapor merah dari Komisi Pemberantasan Korupsi serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan.

Belakangan, Jokowi pasang badan demi Luhut. Jokowi tiba-tiba melantik Luhut sebagai Kepala Staf Kantor Kepresidenan pada 31 Desember tahun lalu, seusai pelantikan Laksamana Madya Ade Supandi menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut. Andi Widjajanto mengaku baru tahu Luhut akan dilantik sekitar satu jam sebelumnya.

Sejumlah orang di lingkaran Istana mengatakan pelantikan Luhut membuat Mega berkeras menyorongkan Budi dan Jokowi harus meluluskannya. "Pokoknya, Budi harus menjadi Kepala Polri," kata seseorang di lingkaran Istana, Selasa pekan lalu.

Effendi tak mau mengomentari perseteruan Mega dengan Luhut. "Saya enggak ikutan kalau soal itu," ujarnya. Luhut pun tak memberikan konfirmasi. Tapi dia pernah menyatakan tak ada masalah apa pun dengan Mega.

Presiden Jokowi menganggap tak ada yang salah dengan orang-orang di sekitarnya, termasuk Luhut. "Saya memilih orang berdasarkan kompetensi, bukan yang lain," katanya kepada Tempo di kantornya, Jumat pekan lalu.

Dia mengakui begitu tinggi tarik-menarik kepentingan dalam pengisian jabatan-jabatan. Ia juga paham semua ingin masuk ke lingkaran kekuasaan. Namun Jokowi memastikan tak pernah membuat kebijakan berdasarkan tekanan partai walau ia bukan petinggi partai. "Lihat saja hasilnya," ujar Presiden.

Tekanan dan tarik-menarik kepentingan justru terjadi pada prosesnya. Dalam penyusunan anggota kabinet, perlawanan terjadi ketika Jokowi mengharuskan rekam jejak calon menteri dicek oleh KPK dan PPATK. Partai-partai pendukung tak menyetujui mekanisme baru itu dengan alasan tak ada landasan hukumnya.

NasDem berpendapat, hak prerogatif Presiden cukup dijadikan landasan memilih menteri. Tak perlu Presiden menyerahkan hak prerogatifnya itu kepada lembaga lain. Namun, menurut Enggartiasto, partainya mempersilakan kalau meminta masukan KPK dan PPATK dianggap sebagai bagian dari hak prerogatif Presiden.

Andi Widjajanto mengatakan ada satu partai yang berkeras menolak. "PDIP akhirnya menerima, semua akhirnya menerima," ujarnya.

Protes lain muncul ketika Jokowi mengharuskan menteri tak rangkap jabatan di partai. PDIP dan PKB keras menolak dengan alasan kerja di kabinet tak akan terganggu walau menteri juga mengurusi partai. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mencontohkan dirinya yang rangkap jabatan ketika menjadi Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ketua PDIP Puan Maharani, putri Mega, turut keras menolak.

Upaya menawar dilakukan sampai akhir. Walhasil, Puan masuk kabinet dan meninggalkan jabatannya di pengurus pusat partai, yang sampai sekarang tak berpengganti. Politikus PDIP, Olly Dondokambey, diangkat menjadi Ketua Fraksi PDIP Sementara di DPR, menggantikan Puan.

Muhaimin memilih mengurus PKB. "Kami berupaya, tapi keputusan Presiden begitu, ya, kami terima," kata Ali Maschan.

Larangan rangkap jabatan juga menjerat Surya Paloh, yang ingin bergabung ke Dewan Pertimbangan Presiden. Dia berupaya melobi hingga akhir Desember. Menjelang pelantikan anggota dewan yang berisi sembilan orang itu, para pemimpin partai pendukung sepakat tak ada yang masuk Dewan Pertimbangan Presiden. "Lalu NasDem mengajukan calon lain," ujar Andi Widjajanto.

Di pengujung proses, Paloh mengajukan Ketua Majelis Tinggi NasDem Jan Darmadi sebagai penggantinya. Menurut kalangan Istana, tim Sekretariat Negara dan Sekretariat Kabinet merekomendasikan agar Presiden menolak pendiri PT Jakarta Setiabudi Internasional itu karena ia diduga kuat terlibat bisnis perjudian.

Presiden lantas memanggil Paloh untuk meminta pengganti. Paloh tetap mencalonkan Jan dengan alasan tak ada kandidat lain. Jan akhirnya dilantik pada medio Januari lalu.

Sekretaris Jenderal NasDem Patrice Rio Capella mengatakan Paloh tak bersedia menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden, bukannya ditolak Presiden. "Profil Pak Jan tak ada masalah," katanya. Enggartiasto menganggap profil yang dipersoalkan adalah cerita masa lalu. "Pak Jan orang baik. Sudah masuk Islam," ujarnya.

Seperti Paloh, Mega keras bertarung dalam penyusunan kabinet. Mega mendesak Jokowi dan Kalla agar jangan sampai mengangkat Maruarar Sirait menjadi menteri. Padahal Maruarar sudah tiba di Istana pada sore 26 Oktober tahun lalu bersama calon-calon menteri yang akan dilantik esok harinya.

Menurut Andi Widjajanto, Maruarar yang sedang menengok ayahnya, tokoh PDIP, Sabam Sirait, yang sedang sakit di Singapura, dipanggil mendadak oleh Presiden. Maruarar belum mengantongi rekomendasi dari Mega sebagai ketua umum partai. Jokowi menyediakan kursi Menteri Pemuda dan Olahraga. "Dia anak muda wakil dari Tapanuli," ucap Kalla kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Maruarar, menurut Kalla, direncanakan menjadi "wakil Batak" menggantikan Mahendra Siregar, mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, yang menolak dijadikan Menteri Perindustrian. Mahendra, kata Kalla, memilih menemani anaknya bersekolah di luar negeri.

Maruarar lantas ke rumah Mega di Jalan Tengku Umar untuk meminta restu, tapi tak membuahkan hasil. Dia lantas meluncur ke Istana untuk bertemu dengan Jokowi. Menurut orang dekat Jokowi yang ketika itu berada di Istana, telepon seluler Kalla menyalak. Mega di ujung telepon menyatakan keberatan jika Maruarar masuk kabinet karena memang tak direkomendasikan partai.

Kalla membantah cerita bahwa Mega mengancam menarik empat menteri dari PDIP kalau Maruarar tetap dijadikan menteri. "Saya yang ditelepon karena Pak Jokowi tak pernah pegang handphone," kata Kalla.

Jobpie Sugiharto, Ananda Teresia, Moyang Kasih D.m., Fransisco Rosarians, Muhammad Muhyiddin, Prihandoko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus