Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Arjuna, go Arjuna, go…, go…," Yudistira, Bima, Nakula, dan Sadewa serta Drupadi tiba-tiba bertepuk tangan. Mereka mengantar kepergian Arjuna ke Himalaya untuk mencari busur sakti, dengan kor berintonasi ala penyanyi rap.
Itulah Mahabharata garapan sutradara Jepang, Hiroshi Koike. Riuh. Nyentrik. Tak terduga menampilkan idiom hip anak muda. Koike dikenal selama 30 tahun memimpin kelompok teater eksperimental Pappa Tarumahara. Dua karyanya, Love Letter dan Three Sisters, sempat singgah di Jakarta. Beberapa tahun lalu ia membubarkan kelompok itu dan memulai proyek Mahabharata, sebuah proyek panjang yang direncanakan terdiri atas empat bagian dengan aktor dari berbagai negara Asia.
"Secara keseluruhan, proyek ini mungkin memakan waktu tujuh tahun" kata Fumiko Sato, Manajer Produksi Hiroshi Koike Bridge Project. Bagian pertama telah dipentaskan tahun lalu di Kamboja. Pertunjukan di Teater Salihara, Jakarta Selatan, dua pekan lalu adalah bagian kedua. Fokusnya: pengasingan Pandawa di hutan. Para aktor dari India, Thailand, Jepang, dan Malaysia. Mereka dipertemukan dalam latihan intensif hampir dua bulan di Kerala, India.
Di tangan Koike, kita melihat sebuah "dekonstruksi" pilihan pemain. Pemeran Raja Destarata dipilih bertubuh kecil. Raja yang buta itu bahkan digambarkan kakinya tak menyentuh lantai saat di singgasana. Duryudana dan Bima, yang dalam persepsi umum bersosok tinggi besar gagah, dimainkan aktor yang kurus dan yang pendek. Drupadi juga bukan sosok yang anggun. Kresna klemar-klemer. Hanya tokoh Sengkuni yang pas dalam gambaran kita: lincah, bergerak ke sana-kemari, licik, culas.
Koike tampak berusaha membenturkan kekayaan ekspresi gerak dan diksi tradisi para aktor dengan sensibilitas kekinian. "Dia selalu bertanya gerakan apa yang akan kami tampilkan dalam mengisi adegan," ujar Waewdao Sirisok, penari asal Thailand pemeran Drupadi. Saat Drupadi, dalam adegan judi, ditarik-tarik rambutnya oleh Duryudana, Sirisok tampak sedikit menampilkan gesturkulasi penari tradisi. Tapi kemudian ia meraih sebuah mikrofon, lalu melantunkan kemarahannya bak seorang penyanyi rock.
Cara pengadegan Koike komikal, kenaif-naifan, banal, setengah sirkus. Dalam sebuah adegan, pemain berjajar dan melakukan instruksi dari rekaman suara. Rekaman mengeluarkan kata tidur, doa, cemas, dan sebagainya, lalu mereka memperagakan gerakannya. Koike juga sedikit menyelipkan unsur kecak. Saat Bima bertemu dengan Hanoman, mulut pemeran Bima, Tetsuro Koyano, mendesis cak, cak. Koyano memang dikenal lama tinggal di Ubud dan mendalami topeng Bali.
Koike mengaku hanya melahap Mahabharata terjemahan versi Jepang. Tapi jelas sumbernya adalah Mahabharata versi India, yang menampilkan Drupadi sebagai istri bagi kelima Pandawa. Banyak adegan Bima mesra dengan Drupadi. Bima membantu Drupadi memperdayai dan membunuh Kichaka, pembesar Kerajaan Wirata. Bima menyelimuti dirinya dengan kain merah. Ketika Kichaka merogoh, mengira itu tubuh Drupadi, Koyano yang fasih berbahasa Indonesia itu lirih mengucap, "Jangan...." Penonton tertawa.
Selama pentas, topeng dan kostum yang tak dipakai dibiarkan menjadi latar belakang panggung. Ini mengingatkan pada pertunjukan Koike di Salihara pada 2013: Circus, The Memoirs of Hiroshi Koike & Pappa Tarahumara, yang menempatkan kostum sebagai instalasi. Aktor berganti kostum dan topeng (semua karya I Wayan Tangguh dari Desa Singapadu, Bali) di atas panggung. "Saya suka permainan elemen kostumnya," kata Riantiarno.
Menurut Koike, Mahabharata tak ubahnya kisah 100 Years of Solitude, novel Garcia Marquez. Boleh saja persamaan itu. Hanya, saat adegan Bima bertemu dengan Hanoman, dan Bima berkata "Tunjukkan jalan ke Ceylon (Sri Lanka)", penonton yang mengerti Mahabharata akan merasa janggal. Sebab, bukankah itu kata-kata Rama dalam Ramayana saat meminta para kera membantunya menyeberangi laut ke Alengka?
Dian Yuliastuti, Ratnaning Asih
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo