Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Kho Ping Hoo Melaporkan Banjir

Tidak jelas mengapa buku ini baru terbit 13 tahun setelah ditulis. Namun sekarang pun, 55 tahun kemudian, wacana Kho Ping Hoo tetap aktual.

3 April 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KHO Ping Hoo memang tak hanya menulis cerita silat. Dalam pengakuannya sendiri, ataupun seperti ditemukan dan dicatat para peneliti, ia juga menulis roman detektif, roman sejarah, dan roman percintaan. Namun jika “roman sejarah” Kho Ping Hoo ternyata disebut pula sebagai “cerita silat Indonesia”, karena terdapatnya laga persilatan dalam latar belakang sejarah lokal, dapatlah dikatakan bahwa proses hibrida bekerja dalam penulisan Kho Ping Hoo sebagai anak budaya peranakan Tionghoa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Geger Solo (Banjir Bandang) terbitan tahun 1979, proses hibrida ini pun terlacak. Kali ini bukan hanya antarbudaya, tapi juga antargenre dalam penulisan. Khususnya melalui buku ini penyisiran untuk memilah fakta dari fiksi akan memperlihatkan kontribusi Kho Ping Hoo justru bukan sebagai pengarang, tapi nyaris sebagai jurnalis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itulah laporan tentang apa yang terjadi di Surakarta pada Rabu, 16 Maret 1966, ketika tepat pukul 24.00 berlangsung banjir bandang yang tak pernah terjadi dalam riwayat kota tersebut. Dalam pengantar penerbit disebutkan banjir itu: “…menghancurkan ratusan rumah, menghanyutkan ribuan ternak, dan ribuan kepala keluarga menderita hebat akibat mengamuknya Bengawan Solo. /Empat tanggul jebol, dan yang terpanjang jebolnya mencapai 191 meter”. Memang, seperti bahasa Kho Ping Hoo sendiri.

Kerusakan juga terjadi di kota-kota sekitarnya, seperti Wonogiri, Sukoharjo, Karanganyar, dan Sragen. Di Klaten, tanggul Sungai Wedi, Dengkong, dan Mlese putus sepanjang 1.700 meter dan merusak jalan sepanjang 50 kilometer. Di Sukoharjo, Dukuh Jumetro lenyap disambar air bah. Berlangsung sejak Rabu, ketika permukaan air terus naik, dan baru mulai menurun pada Jumat, 18 Maret, Kho Ping Hoo yang berada di tengah bencana itu berjuang menamatkan cerita ini pada 21 April 1966.

Ilustrasi dalam buku Geger Solo karya Kho Ping Hoo.

Digolongkan roman percintaan, alur bermain pada Prayitno, anggota Pertahanan Rakyat yang meski rumahnya ikut menjadi korban, ia bekerja keras menolong sesama tanpa putus. Di satu sisi, terdapat percintaan segitiga Prayitno-Nining-Rahmanto, di sisi lain terdapat situasi segitiga Prayitno-Nining-Nuryati, dengan alur bawahan Nuryati yang kehilangan suami dan anak saat bencana, tapi menjumpainya kembali di akhir cerita. Rahmanto, yang suka menggulingkan getek sebelum menolong dan mencuri, akhirnya mengalami nasib setimpal.

Namun yang akan disingkap dari Geger Solo (Banjir Bandang) adalah deskripsi latar, yang bersumber dari laporan pandangan mata peristiwa dua malam satu hari, antara lain seperti berikut:

Seluruh kota madya Surakarta, kecuali hanya sedikit bagian utara barat, diamuk banjir yang datang menyerbu secara liar dan tiba-tiba. /Whrrr... krasak krasak krasak.... Whrrrr.... Whrrr.... Suara air bah yang datang bergulung-gulung, air merah kekuningan yang mengerikan datang menyerbu Kota Solo bagaikan barisan maut yang ganas menyeramkan. /…suara dahsyat ini menelan pekik jerit tangis manusia-manusia yang hanya terdengar sayup-sayup, ‘Tolong.... Toloooonggg.... Toloooong....’” (halaman 7).

Digambarkan bagaimana kentong titir (tanda bahaya) dipukul di segala penjuru, penduduk berlarian kian kemari, sementara aliran listrik dipadamkan. Di mana-mana air memburu orang-orang yang berusaha naik ke atap, dan banjir tetap menyapunya. Bagaimana ketika pintu dibuka, yang membukanya terjengkang karena tekanan air yang mendesak. “...air yang amat kuatnya telah merenggut kusen pintu sehingga daun pintu yang didorong-dorong oleh air tidak kuat lagi, engselnya terlepas dan daun pintunya roboh” (halaman 19).

“Air sudah berada diambang pintu dikatakan bahwa tak mungkin air akan setinggi meja, air sudah setinggi lutut dikatakan tak mungkin air akan sampai di leher. Setelah air betul-betul naik sampai mendekati mulut dan hidung barulah kakek-kakek ini menjerit-jerit dan mau dinaikkan getek atau rakit dari batang-batang pohon pisang untuk pergi ke tempat aman” (halaman 10). “/Ada yang selama sehari dua malam harus memeluk cabang pohon, tak dapat turun, tidak makan dan hanya minum air bah yang merah kekuningan dan amat kotor itu” (halaman 11).

Di tempat lain, suara air bah itu digambarkan seperti, “…hiruk-pikuk yang seakan-akan ada seribu ekor ular mendesis-desis di bawah ranjangnya. Keadaan gelap sekali” (halaman 14). Bahwa semua ini bukan “karangan”, diperkuat penulisnya dengan kalimat seperti, “…dan terutama sekali penulis karangan ini yang merasainya pada malam hari itu” (halaman 11). Membuat pembaca boleh percaya, yang tertulis seperti berikut memang terjadi:

Nyawa tikus, kucing, anjing tak dihiraukan orang. Bangkai-bangkai binatang ini terapung di mana-mana, membengkak seperti dari karet. Sapi-sapi peras berenang sendiri-sendiri menyelamatkan diri. Banyak yang mati. Di antaranya sebelum terlambat disembelih orang-orang, dagingnya dibagi-bagi. Tentu seijin pemiliknya. Memang, lebih baik dipotong sebelum mati konyol dan menjadi bangkai yang hanya akan menambah pekerjaan dan kotoran belaka....” (halaman 42).

Dari laporan Kho Ping Hoo ini, pembaca akan mengetahui air banjir Bengawan Solo itu setelah surut, “…meninggalkan lumpur tanah liat yang busuk sekali. Di mana-mana tercium bau bangkai seperti bau terasi busuk. /Macam-macam barang menggeletak di jalan terbawa air. /Terlihat muka-muka yang pucat kurang tidur, muka yang suram muram melihat harta benda rusak binasa dan hasil jerih payah puluhan tahun habis oleh air....” (halaman 57).

“Banjir mengamuk sampai jauh ke dalam kota. Alun-alun juga banjir hebat, malah sepanjang Pasar Pon dan Tri Windu semua toko buku rusak! /Buku-buku penerbitan CV Gema yang hendak dikirim ke luar kota dan masih berada di kantor perusahaan angkutan juga terendam air dan rusak semua karena perusahaan angkutan itu berada di kompleks dekat Pasar Gede yang menjadi samudera kecil!” (halaman 60-1).

Ilustrasi dalam buku Geger Solo karya Kho Ping Hoo.

Di toko olahraga Gaya, “…raket-raket menjadi bengkak-bengkok seperti gorengan krupuk, gitar lepas lemnya menjadi berantakan, shuttle-cock beberapa puluh dos rusak binasa tak mungkin dapat diperbaiki lagi, perangko-perangko, mainan kanak-kanak... /lemari-lemarinya malang melintang dan isinya rusak semua....” (halaman 60). “/Perkampungan ini penuh dengan lumpur sehingga setiap langkah, kaki terbenam lumpur yang seakan-akan ada tenaga menyedot sehingga kaki yang terbenam sukar ditarik keluar....” (halaman 64). Bukan sekadar pemandangan bencana, ironi mengharukan juga diungkapnya: “…karena bingung harus membawa ke mana anak kecil yang terus menangis saja setelah siuman dari pingsan itu, laki-laki tadi mengantarkannya ke rumah Yayasan Anak Yatim Piatu. Maksudnya menitipkan sementara belum diketahui siapa orang tuanya. Malang bagi Iryanto, laki-laki penolongnya tadi pada keesokan harinya tewas oleh banjir ketika ia berusaha menolong para korban!” (halaman 89).

Meski potongan cerita itu bagian dari fiksi, kiranya dimungkinkan tertimba dari drama kemanusiaan faktual yang dilahirkan bencana. Sedangkan drama kemanusiaan adalah “makanan” susastra ataupun jurnalisme sastrawi, dua genre yang disaling-silangkan Kho Ping Hoo dengan piawai.

Namun apa yang menjadi ciri dalam cerita silatnya, kritik sosial dan nasihat, tetap bertahan: kecenderungan menghubungkan bencana dengan mitos bin takhayul sama sekali ditutup. Penyebab banjir ditelusuri cukup sampai teknologi tanggul sebagai faktor terpenting. Sedangkan nasihatnya untuk ukuran 1966 mesti dianggap maju: “…mengubah aliran air, meluruskan jalan air bengawan yang berbelok di pinggir Kota Solo. Mencegah penggundulan hutan-hutan dan pengontrolan terhadap tanggul-tanggul agar jangan dijadikan tanah garapan dan tempat tinggal secara liar....” (halaman 92).

Jika berbagai laporan media massa perihal banjir bandang pada 16 Maret 1966 ini ditengok dan dibandingkan, mungkin dapat diperiksa utang sejarah apakah kiranya yang jauh hari sudah ditalangi oleh Kho Ping Hoo, bahkan juga ketika Geger Solo (Banjir Bandang) baru terbit pada 1979.

SENO GUMIRA AJIDARMA, WARTAWAN
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus