Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Komunitas, Cerita, Romansa

Lebih dari sekadar alat transportasi, kereta rel listrik (KRL) adalah komunitas, kisah cinta, dan potret kehidupan orang tersisih. Di dalamnya, ribuan orang beraktivitas dan mencari hidup. Dalam gemuruh kereta, mereka mencari kawan, rezeki, dan mengharapkan keberuntungan.

Kereta juga potret muram tentang bagaimana kemiskinan disiasati: ada penumpang tak bertiket yang menyuap masinis. Ada masinis yang senang penumpangnya tak berkarcis karena mengharapkan recehan upeti.

Kereta api adalah wajah kita: korupsi, kekacauan administrasi—lalu romansa tumbuh di sela-selanya.

19 Juni 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA bukan masinis, bukan pula kondektur, meski bukan penumpang biasa. Mengenakan seragam pegawai PT Kereta Api Indonesia tanpa label nama, ia berdiri di pintu masuk ruang masinis kereta rel listrik (KRL) ekonomi Kota-Bogor, yang tengah berhenti di Stasiun Manggarai. Setiap penumpang yang mendekat disapanya pendek, ”Biasa?” Calon penumpang yang menjawab kata yang sama akan dipersilakannya masuk. Jika penumpang tak menjawab atau malah tampak bingung, ia akan tercagak di pintu selebar setengah meter itu—pertanda tak ada harapan bagi sang tamu untuk bergabung.

Kereta penuh sesak, Senin sore pekan lalu. Sebagian besar penumpang di gerbong kereta bukan saja tak dapat duduk melainkan sudah sulit berdiri. Kaki sebelah bisa memijak, tapi kaki yang lain tertahan kaki tetangga atau terdesak keranjang pedagang buah. Tangan yang mencengkeram besi pegangan, sekadar untuk memantapkan posisi berdiri, tak banyak gunanya. Sedikit saja kereta bergerak, ayunan tubuh ratusan penumpang ke arah yang sama akan melepas pegangan itu dengan segera. Oksigen tinggal sejumput. Udara panas oleh karbondioksida dan bau ketiak basah para penumpang.

Di kabin masinis berukuran 4x1 meter itu sudah ada setidaknya 20 penumpang. Itu di luar masinis dan lelaki yang berdiri di pintu tadi. Di Manggarai, 5-6 penumpang lain mendesakkan lagi badan mereka ke dalam ruang sempit itu. Itu semua setelah mereka menjawab pasti sandi si lelaki. Dari luar terlihat, ruang masinis itu ibarat kandang ayam yang sesak. Dashboard sopir kereta diubah fungsinya menjadi tempat meletakkan bawaan penumpang.

Di Stasiun Tebet sepuluhan orang masuk lagi ke kabin. Di antaranya, seorang lelaki setengah baya yang menerobos, mengisi sebuah ruang sempit. Tak hanya sesak, ruangan itu sudah seperti mesin pres makanan. Untuk mengangkat tangan pun butuh usaha ekstra.

Petugas penanya sandi yang ternyata asisten masinis mulai beraksi saat kereta bergerak meninggalkan Tebet. Dia mencolek penumpang-penumpang di dekatnya. Para penumpang tahu: mereka menyodorkan Rp 2.000 yang kemudian dikirimkan secara esatafet kepada Pak Sandi.

”Biasa” adalah kata kunci untuk upeti Rp 2.000 tadi. Penumpang berkarcis atau tidak harus membayar. Sekali jalan, Pak Sandi dan masinisnya bisa mendapat Rp 100 ribuan. ”Emang, sih, di ruang masinis lebih mahal. Tapi enakan di sini. Lebih aman. Terus, kalau mau turun juga lebih mudah,” kata Norma, penumpang kereta yang kuliah di Universitas Indonesia. ”Saya masuk sini cuma sesekali. Kalau penuh saja,” ujar penumpang lainnya. Baru setelah stasiun Universitas Indonesia, ruang sempit itu sedikit lega. Di kawasan Depok, Bojong Gede, hingga Bogor, ruangan itu biasanya sudah kehilangan penghuni.

l l l

Menumpang di kabin masinis pada jam-jam sibuk sudah menjadi praktek yang lumrah. Modus kongkalikong naik kereta itu bukan satu-satunya. Yang umumnya terjadi adalah penumpang naik gerbong tapi tak membeli tiket. Jangan bayangan, tiket penumpang ditagih sejak dari pintu masuk stasiun. Meski ada petugas jaga, penumpang tanpa karcis bisa melenggang masuk stasiun karena penjaga pintu asik melamun atau menghisap rokok.

Di atas kereta memang ada kondektur yang menagih karcis. Tapi mereka akan lebih lebar tersenyum menemukan penumpang tanpa karcis ketimbang penupang yang memiliki tiket. Soalnya, sudah jadi rahasia umum, penumpang bisa menukar tiket dengan uang seribu perak.

Lain di kereta ekonomi, lain pula di kereta ekspres. KRL Pakuan—jurusan Kota-Bogor atau Tanah Abang-Bogor—yang berpendingin udara dan bertiket Rp 11.000 bisa pula jadikan wahana kolusi. Di gerbong-gerong tertentu, ada sehimpun penumpang yang menjalankan praktek arisan: uang dikumpulkan dari penumpang oleh seorang koordinator, lalu dengan dibungkus koran duit diserahkan kepada kondektur yang memeriksa tiket. Satu orang biasanya membayar separuh dari harga tiket untuk praktek itu.

Lily, sebut saja namanya begitu, adalah pelangganan setia ”arisan” kereta. ”Kalau pulang kerja, saya selalu naik KRL ekspres dan bayar setengah,” ujarnya terkikik.

Wanita 34 tahun itu mulai menjadi penumpang ”nakal” setahun lalu. Sebelumnya dia sudah mendengar soal praktek membayar di atas kereta, tapi tak berani mencoba karena khawatir ditangkap. Kira-kira setahun lalu, secara tak sengaja dia naik gerbong nomor delapan. Entah kenapa seorang ibu menghampirinya dan mengajak dia ikut arisan tiket murah. Belakangan dia tahu si ibu adalah salah satu koordinatornya—selalu duduk di dekat pintu masuk gerbon delapan.

”Pokoknya seruh, deh,” ujar Lily. ”Lumayan kan, cuma bayar Rp 5.000.” Bagi pelanggan KRL ekspres, arisan tiket murah di gerbong delapan—juga sebagian gerbong satu dan di pintu-pintu penghubung—bukan cerita baru. Gerbong delapan dipilih karena, entah untuk apa, di gerbong itu kursi penumpang tidak bernomor. Di gerbong delapan, para penumpang tanpa karcis bisa terbagi hingga empat kelompok. Kelompok Lily anggotanya hampir 30 orang. Pihak ”kereta” menetapkan tarif Rp 120 ribu untuk mereka sekali jalan.

Sebenarnya, tiap penumpang bisa saja memberikan ”salam tempel” kepada kondektur saat diperiksa. Cuma, dibandingkan dengan para ”pemain solo”, menurut Lily, berada dalam kelompok lebih aman. ”Kalau ada PS (pemeriksaan serentak), ada orang kereta yang mengirim SMS ke koordinator,” ujar Lily. Pemeriksaan biasanya dilakukan di Stasiun Gondangdia.

Kalau sudah begitu, mereka akan turun di stasiun sebelumnya. Atau, tetap turun di Gondangdia tapi menunggu di peron hingga kereta ekonomi masuk, lalu melewati pintu pemeriksaan berbarengan para penumpang ekonomi. ”Tapi sejak bulan lalu saya berhenti. Takut,” ujar Lily. ”Suami saya bercerita, ada yang diturunkan di tengah jalan karena tak membeli tiket.” Hendro, penumpang KRL ekonomi, punya cerita lain. Dia mengaku sudah lebih dari sepuluh tahun naik KRL, dengan frekuensi membeli tiket yang tak sampai 20 kali.

Mengenakan celana jins selutut, kaus kuning imitasi seragam tim sepak bola Brasil, serta sepatu sport dari merek terkenal, dia tak tampak seperti orang tak beruang. Katanya, ”Kalau bisa gratis, kenapa harus bayar?” Hendro beberapa kali tertangkap kondektur tapi selembar uang seribu perak menyelesaikan segala urusan.

Pagi itu, selepas Stasiun Pasar Minggu, kondektur melewati gerbong Hendro. Kereta tak terlalu penuh. Hendro mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, bukan uang seribu tapi tiket KRL.

Tak lama, kondektur menjauh. Hendro tersenyum. ”Kadang meriksa tiket pun mereka nggak teliti,” katanya sambil mengulurkan tiketnya. Ternyata Hendro menggunakan karcis lama. ”Aku pungut di peron tadi,” ujarnya santai.

l l l

PRAKTEK nakal di atas kereta tentu sangat merugikan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Audit Ernest&Young tahun 2002, misalnya, menyebutkan sekitar 35 persen penumpang KRL pada tahun itu tak membeli tiket.

Sempat terjadi tiket diperiksa dengan cukup serius. Pemeriksaan tiket dilakukan di pintu masuk dan keluar. Ada hasilnya: audit internal PT KAI 2005 menemukan ada penurunan tingkat kebocoran pemasukan tiket hingga hanya 15 persen. Dengan perkiraan jumlah penumpang lebih dari 500 ribu per hari pada hari kerja dan sekitar 300 ribu pada hari libur, angka 15 persen itu berarti ada ”kehilangan” pendapatan sekitar Rp 25 miliar tahun itu.

Tapi razia itu tak berlangsung lama. Setelah pemeriksaan aparat mereda, kolusi penumpang dan masinis terjadi lagi. Juni tahun lalu, PT KA kembali mengetatkan sistem denda kepada para penumpang tak bertiket. Mereka antara lain mencetak tiket suplisi (tiket denda) agar kondektur cepat dan mudah ketika menjatuhkan sanksi. Menurut Akhmad Sujadi dari Bagian Humas PT KAI Daerah Operasi I Jakarta dan Jabotabek, hasilnya lumayan. ”Tahun lalu saja, pemasukan dari karcis suplisi miliaran rupiah,” ujarnya.

Untuk upaya pencegahan, sejak Mei lalu PT KAI menempelkan stiker di dinding gerbong. Isinya, peringatan untuk tidak naik di ruang masinis dan ancaman denda Rp 5.000 dan Rp 30.000 bagi yang menumpang KRL ekonomi dan ekspres yang tak memiliki karcis.

Tapi tetap saja, praktek nakal tak hilang. Kebocoran masih terjadi. Sepanjang dua pekan lalu, beberapa kali Tempo memergoki kondektur KRL ekonomi memilih menerima uang Rp 1.000 daripada menjatuhkan denda. ”Buat nambah uang dapur,” ujar salah seorang kondektur yang ditemui Tempo di Stasiun Kota. Dia mengaku uang itu dibagi-bagi, tapi menolak menyebut jumlah. ”Nggak banyak, kok,” ujarnya.

Masri Muas, 46 tahun, masinis KRL jurusan Jabotabek, tak mengelak fakta kolusi di KRL. Tapi dia menolak kalau itu semata kesalahan awak kereta. ”Peron dong yang diketatin, supaya yang nggak punya tiket nggak bisa masuk,” ujarnya.

Kalau soal ”suap” di kereta, menurut dia, itu hukum timbal-balik. ”Namanya juga butuh sama butuh,” ujar pria asal Padang itu. Gaji masinis memang tidak besar. Patokannya mengikuti pegawai negeri. Masri, dengan ijazah STM, pangkat 3A, dengan masa kerja lebih dari 20 tahun, bergaji Rp 1,5 juta. Ditambah uang jalan, setiap bulan dia bisa membawa pulang hingga Rp 2 juta. Itu sudah tergolong tinggi.

”Tapi apa artinya uang segitu, apalagi untuk yang sudah berkeluarga dengan tiga anak seperti saya?” ujarnya. Untungnya, istrinya juga bekerja—guru di sebuah SMA negeri di Depok. Dengan penghasilan berdua, mereka bisa mencicil rumah sederhana di Perumahan Taman Manggis Indah, Depok. Anak tertuanya kini telah mencapai semester empat di Universitas Andalas, Padang—tinggal bersama seorang famili.

Tapi tak semua masinis ”seberuntung” Masri. Ada masinis yang bahkan hanya berijazah SMP sehingga cuma masuk golongan 2A. Dengan gaji di bawah Rp 1 juta, alasan untuk kolusi jadi tambah kuat. ”Kami tidak mau munafik, tapi tolong jangan melulu kami yang disalahkan,” ujar Masri.

Philipus Parera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus