Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LELAKI beruban bertubuh tonjang itu mirip bintang. Hampir semua penumpang kereta rel listrik (KRL) ekonomi di gerbong 3—dihitung dari belakang—jurusan Bogor-Kota mengenal lelaki paruh baya ini. Di gerbong itu ia selalu disambut senyum dan jabat tangan penumpang lain. Jika kereta sedang penuh, ada saja orang yang berdiri dan mempersilakannya duduk.
Abu Ahmad, begitu ia biasa disapa. Satpam di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, ini memang dedengkot kereta. Dua puluh tahun, Abu Ahmad menumpang alat transportasi itu. Lantaran inilah, ia dikenal oleh banyak penumpang. Ia berangkat dari Stasiun Bojong Gede setiap pukul 7.20 pagi. Selalu di gerbong nomor 3!
Pria 52 tahun ini memang cinta mati pada gerbong 3. Selain karena diangkat menjadi ”lurah” gerbong, Ahmad sebenarnya punya argumen logis. Gerbong tiga adalah gerbong tengah yang persis berhenti di mulut Stasiun Bojong Gede dan Stasiun Sudirman—tempat Ahmad biasa turun. Dari gerbong 3, Ahmad bisa langsung keluar stasiun tanpa harus jauh berjalan. ”Ini menguntungkan saya,” katanya.
Hal lain yang membuat dirinya tidak beringsut dari gerbong 3 selama 15 tahun adalah soal sejarah. Di gerbong inilah Abu Ahmad bertemu dengan ibu anak-anaknya. Pertemuan indah itu terjadi di Stasiun Pasar Minggu, 13 tahun silam. Istrinya yang warga Condet selalu naik dari Pasar Minggu menuju Manggarai. Saking seringnya bertemu di kereta, asmara pun terpentik. ”Witing tresna jalaran saka kulina,” katanya sambil tergelegak. Kini tiga anak lahir dari cinta mereka.
Pertemuan rutin antar-pengguna kereta di tempat dan jam yang sama menerbitkan komunitas kecil di antara mereka. Sri Ajati, penumpang KRL dari Stasiun Depok Baru, misalnya. Wanita bertubuh tambun ini malah punya rombongan khusus, sesama penglaju yang berasal dari komples rumahnya di kawasan Tanah Baru, Sawangan, Depok. Jumlahnya 12 orang, lelaki dan perempuan.
Setiap hari mereka menyewa angkot menuju stasiun. Membayar sewa angkot dan membeli karcis kereta dilakukan secara urunan. Selain itu, Ajati mengaku, naik kereta berombongan jauh lebih aman. Pada jam sibuk—pukul 7-9 pagi—satu gerbong kereta yang berkapasitas 100 orang bisa dijejali manusia hingga lima kali lipat. Dalam keadaan begini, masuk ke gerbong sulitnya minta ampun. Dilindungi penumpang lelaki dalam rombongan, ”Masuk gerbong sesak lebih mudah,” kata Ajati.
Dalam gerbong sesak minus oksigen, pergi berombongan juga berarti mendapat kawan berkelakar. Sesama anggota kelompok juga saling melindungi dari tangan nakal: copet dan cubitan iseng. ”Pencopet ngeri jika kita naik kereta rombongan,” kata wanita 34 tahun ini.
Persahabatan sesama anggota komunitas ada yang berlanjut di luar gerbong. Sejumlah penglaju KRL, misalnya, membentuk komunitas yang mereka namakan KRL Mania. Agar efektif, sebuah website dan milis mereka bentuk. Kini, setelah dua tahun, tercatat sekurangnya 1.000 orang anggota milis itu.
Penggagasnya adalah Agus Imansyah, 35 tahun. Lelaki yang bekerja di kawasan Sudirman ini mengaku paguyuban itu lahir dari obrolan ringan di lobi Stasiun Sudirman—stasiun yang mempertemukan kereta dari Bekasi, Tangerang, dan Bogor. ”Idenya agar paguyuban ini menjadi media aspirasi penumpang KRL,” kata Agus. Untuk itu, mereka menjalin kerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Webside mereka menyajikan segala data tentang KRL: dari perubahan jadwal kereta hingga soal perbaikan stasiun yang dilewati kereta listrik itu.
Lebih dari hanya bergiat di dunia maya, komunitas ini juga kerap menggelar sejumlah kegiatan. Pada Sabtu pekan silam, mereka menggelar acara donor darah di salah satu kediaman anggotanya di Bogor. Untuk memudahkan pelaksanaan kegiatan di Jabotabek, anggota dibagi dalam kelompok berdasarkan stasiun awal keberangkatan. Maka ada istilah roker (rombongan kereta) Bogor, Tangerang, atau Bekasi.
Sebelumnya kelompok ini juga sempat menggelar acara kunjungan ke Balai Yasa Manggarai—bengkel tempat gerbong dipermak. Kunjungan ke sejumlah prasarana PT KAI atau bertemu dengan bos perusahaan kereta itu menjadi kegiatan rutin komunitas ini. ”Selain menambah wawasan soal perkeretaapian, acara ini dapat menumbuhkan rasa cinta pada kereta,” kata Agus. Umumnya anggota paguyuban membawa anak-anak mereka dalam berbagai kegiatan.
KRL Mania juga rajin mengkampanyekan pesan agar penumpang kereta tak lupa membeli karcis. Mereka, misalnya, sempat menempelkan stiker berbunyi ”Yang keren beli abonemen, yang manis beli karcis.” Dana program ini mereka peroleh dari urunan. Tidak hanya berhenti di situ, paguyuban ini juga aktif mengkampanyekan gerakan antikorupsi di kereta, baik yang dilakukan oleh kondektur, masinis kereta, maupun penumpang. Agus menyebut, aksi ”arisan” masih banyak dijumpai di gerbong kereta ekspres semua jurusan. Arisan dalam hal ini adalah upeti yang diberikan sejumlah penumpang tanpa tiket kepada masinis kereta.
Biasanya, uang itu dikumpulkan oleh seorang koordinator dan diserahkan ke kondektur dalam bungkusan kertas koran. Kondektur otomatis tidak akan memeriksa karcis para peserta ”arisan”. Biasanya praktek ini terjadi di gerbong pertama kereta ekspres. ”Anggota kami sempat merekam praktek ini melalui kamera tersembunyi dan kami serahkan ke PT KAI untuk ditindak,” kata Agus.
Arisan lain diikuti Ana Dwiyana. Ini bukan arisan korupsi tapi arisan sungguhan. Pesertanya adalah kawan senasib seperjalanan dari Bogor dan kawasan lain yang menuju Stasiun Kota. Anggota satu kelompok ada yang hingga 50 orang. Satu bulan sekali para peserta berkumpul di gerbong yang telah mereka tentukan. ”Lumayan, buat manambah teman,” kata Ana, salah seorang penggiat arisan. Terkadang, pengundian pemenang arisan dilakukan di rumah salah seorang peserta.
Paguyuban kereta juga terbentuk di antara pedagang dan pengamen. Ada, misalnya, kelompok Peka alias Pengamen Kereta. Menurut ketuanya, Mamat, Peka memiliki 45 anggota. Kelompok ini mentas di luar jam sibuk. ”Biasanya siang dan malam,” kata Mamat.
Selain membagi jarak panggung bagi para anggotanya agar adil, Peka dibentuk untuk membantu anggotanya yang kesusahan seperti sakit atau kena musibah. Untuk bisa aktif dalam kelompok ini, setiap anggota ditarik iuran Rp 1.000 per hari.
Di antara deru jas jus kereta, mereka tumbuh: komunitas yang disatukan perasaan senasib.
Cahyo Junaedy
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo