Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERETA rel listrik (KRL) kelas ekonomi itu berhenti di jalur 2 Stasiun Bekasi, persis saat azan magrib merayapi langit. Ribuan penumpang mendadak dimuntahkan oleh gerbong-gerbong kereta berwarna kuning kusam. Wajah-wajah layu para penglaju bertemu dengan dengus letih kereta tua jurusan Jakarta-Bekasi tersebut. Seorang penumpang, sebut saja namanya Sri, 29 tahun, melangkah gontai. Ia baru pulang belanja dari Pasar Tanah Abang. ”Saya pelanggan setia KRL sejak masih sekolah menengah,” kata pemilik usaha konveksi di Bekasi Timur itu. Ia rutin pergi ke Tanah Abang untuk belanja bahan atau bertemu pelanggan. Naik KRL, ”Murah dan hemat waktu,” katanya.
Menyimpan jam terbang tinggi sebagai ”warga kereta”, Sri paham benar romantika setiap sudut stasiun. Seperti halnya Hero, penjaga penitipan motor di samping stasiun, yang juga sudah mengenalnya. Pria ini segera menyiapkan motor Sri begitu melihat pelanggan setianya datang selepas senja.
Stasiun kereta adalah titik pertemuan warga masyarakat dengan berbagai kepentingan. Di Stasiun Bekasi—dibangun pemerintah kolonial pada 1925—fungsi itu kian terasa ketika ratusan kompleks perumahan menjamur sejak 1996.
Salah satu plot cerita ada di area peron. Di sini terdapat 85 kios yang menyediakan aneka kebutuhan penumpang. Kios-kios berbagai ukuran itu disewakan dengan harga Rp 300 ribu - 25 juta per tahun. Yang lebih mahal adalah lapak berukuran 2 x 3 meter yang disewa Rp 4,5 juta per tahun. Lapak itu biasanya ditempati empat pedagang yang menyewa secara patungan.
Mereka yang lebih kuat modal menyewa kios yang lebih besar. Rudi, 35 tahun, misalnya. Di dekat lintasan 4 Stasiun Bekasi, ia membuka kios bakso berukuran 4 x 5 meter. Pria asli Sumedang ini mengaku membayar Rp 25 juta per tahun untuk menyewa kiosnya. Setiap hari Rudi bisa menggembol pendapatan Rp 200 ribu - 300 ribu.
Bagi yang hanya bermodal pas-pasan, bukan berarti pintu rezeki tertutup. Cukup membayar Rp 70 ribu per bulan, mereka boleh menggelar kios tenda di halaman parkir. Dengan uang sebesar itulah, Anas, 33 tahun, menjajakan kaus kaki, sapu tangan, dan celana dalam. Murah meriah.
Lahan parkir stasiun adalah cerita lain lagi. Di Stasiun Bekasi ada dua penitipan sepeda motor dan mobil. Penitipan di pintu selatan milik Haji Muchtar, dan di pintu utara milik Haji Pendi. Keduanya pun harus membayar sewa kepada pengelola stasiun. ”Masing-masing Rp 25 juta per tahun,” kata Kepala Humas PT Kereta Api Persero Daerah Operasi 1 dan Jabotabek, Akhmad Sujadi.
Uang sebesar itu bukan soal pelik bagi keduanya. Hitunglah sendiri berapa duit yang mereka keruk setiap hari: dengan tarif titipan Rp 2.000 per motor, tiap hari mereka menampung 400 kendaraan. Ada lagi yang lain: penitipan helm seharga Rp 500 per penutup kepala.
Lahan sewa kedua haji itu juga masih bisa disubkontrakkan. Lihatlah Iwan, pemuda 26 tahun yang mengelola penitipan kendaraan di lahan 40 meter persegi di bawah tangga menuju loket stasiun. Kepada Haji Pendi, Iwan membayar sewa Rp 55 ribu per hari. ”Ditambah Rp 5.000 lagi untuk abang-abang itu,” kata Iwan. Abang-abang yang dimaksud adalah seorang pedagang pakaian merangkap ”preman” lokal yang selalu minta jatah harian. Setelah dipotong pajak dan sewa harian, Iwan mengantongi Rp 125 ribu setiap hari untuk dibawa pulang.
Menyangkut pajak swasta, Iwan tak sendiri. Di luar stasiun ada pula pengemudi angkutan umum dan taksi. Mereka biasa dimintai Rp 500 - Rp 1.000 setiap kali mangkal menaikkan penumpang. Salah satu pemetik pajak itu adalah Yamin, 43 tahun, warga Kampung Pintu Air, Bekasi. Namun, bapak dua anak ini menolak disebut preman. ”Kami meminta uang karena ada yang kami kerjakan,” katanya. Komunitas stasiun menyebut pekerjaan Yamin sebagai timer.
Bersama 14 temannya warga Pintu Air, Yamin menguasai kawasan depan stasiun. Ia memastikan tak ada kelompok lain di sana. ”Tidak ada jagoan (lain),” kata pria yang sudah 15 tahun menjadi timer ini. Sementara bagian depan stasiun dikuasai Yamin Cs, bagian belakang diduduki sekitar 15 pemuda Kampung Gabus. Kata Yamin, di antara mereka ada peraturan tak tertulis untuk tidak berebut lahan. ”Kita sama-sama cari makan di sini,” katanya.
Sebagai timer, Yamin mengaku mendapat penghasilan rata-rata Rp 30 ribu per hari. Menurut Nanang, salah satu timer dari kelompok belakang, setiap anggota geng bekerja dua jam. Setiap usai beroperasi, mereka menyisihkan Rp 3.000 untuk diberikan kepada koordinator. ”Setelah terkumpul, sepekan sekali uang itu disetor kepada petugas,” kata Nanang. Petugas? Yang dimaksud tentulah polisi.
Di Stasiun Bekasi, obyek operasi para timer hanya kendaraan roda empat. Ojek tak pernah mereka pajaki. Saat ini, sekurangnya ada tujuh perkumpulan tukang ojek di sana. Setiap kelompok melengkapi diri dengan kartu anggota yang dikeluarkan Polisi Sektor Bekasi Utara atau Polisi Resor Metropolitan Bekasi. Biaya membuat kartu berkisar Rp 20 ribu - Rp 30 ribu per orang.
Menurut Wakil Koordinator Persatuan Ojek Bekasi Utara, Rahmat Safarudin, tiap tukang ojek juga wajib membayar uang jaket Rp 80 ribu, uang asuransi Rp 15 ribu, dan iuran keamanan dan penggunaan lahan Rp 2.000 per minggu. Petugas Polsek Bekasi Utara, Brigadir Suyoto, membenarkan kantornya membina para pengojek. Emblem nyatanya diterakan di jaket para pengojek. Namun, dia membantah jika dikatakan ada iuran tambahan di luar biaya keanggotaan dan jaket.
Lain di Bekasi, lain pula di Depok. Di kawasan selatan Jakarta ini keamanan stasiun berpusat pada seorang lelaki setengah baya bernama Dudung. Bertahun-tahun di sana, ia adalah Kepala Koordinator Keamanan Stasiun Depok.
Siang itu, ketika ia berbincang dengan Tempo, beberapa pemulung tergopoh-gopoh melaporkan ada sopir angkot yang tertangkap petugas. Dudung segera memencet-mencet seluler Nokia 7660 hitamnya. ”Paling saya bayar denda tilang saja,” ucap Dudung seusai bicara lewat telepon.
Untuk memperlancar tugasnya, sehari-hari lelaki berperawakan besar ini dibantu empat anak buah yang menjaga pos masing-masing di bagian depan, belakang, tengah, dan sisi timur stasiun. Dudung sendiri lebih sering nongkrong, ngopi, dan main catur di warung nasi milik Gunawan, 57 tahun.
”Saya menjaga wilayah ini secara kekeluargaan,” kata Dudung. Menurut dia, PT KAI tak mempersoalkan keberadaannya, bahkan meminta dia turut menjaga stasiun. Katanya, ia melarang orang mabuk-mabukan di stasiun supaya tidak terjadi keributan. Meski, ”Kadang ada juga sih ribut-ribut kecil,” ujarnya. Sopir dan pemungut pajak swasta (timer) diusahakannya mendapat surat tugas dari Dinas Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya.
Meski tak tertulis, semua aturan itu tampaknya berjalan dengan sendirinya. Termasuk dalam soal tak adanya ”kebijakan” penambahan tukang ojek di pangkalan pertigaan Jalan Arif Rahman Hakim. Saat ini jumlah tukang ojek di sana mencapai 26 orang itu. Angka itu dianggap sudah optimum.
Dulu, untuk mendapat kavling, setiap pengojek harus membayar Rp 1,8 juta. Maklum, jalur ini memang lumayan gemuk. Itulah sebabnya tak ada yang ingin melepas atau menukar kavlingnya. ”Saat ini tidak ada tambahan karena takut penghasilan pengojek berkurang,” kata Dudung.
Penghasilan para penghela sepeda motor itu kini memang cukup lumayan. Setiap hari perolehan mereka mencapai Rp 50 ribu - 150 ribu. Itu penghasilan bersih setelah dipotong uang lampu dan uang kesiagaan Rp 1.000 per hari, serta ditambah uang bensin.
Di stasiun, semua kepentingan bertemu. Di stasiun, rezeki bepercikan besar dan kecil.
Tulus Wijanarko, Evi Flamboyan, Siswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo