Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual

Ada dua konsep penting kekerasan seksual. Apa yang akan dicegah oleh peraturan yang dibuat Menteri Nadiem Makarim?

 

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi pelecehan seksual. (Shutterstock)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Apa itu kekerasan seksual?

  • Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan hendak mencegah segala bentuk kekerasan seksual.

  • Jika soal persetujuan terus disoal, ia aka menghilangkan konsep dasar kekerasan seksual yang menguntungkan predator seks.

KEGADUHAN merespons upaya perlindungan hukum bagi korban kekerasan seksual melalui Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim Nomor 30 Tahun 2021 akan mengaburkan permasalahan, meminggirkan korban, bahkan makin membuat mereka menderita. Korban kekerasan seksual bisa menjadi korban untuk kedua kalinya ketika kasusnya disangkal dan diabaikan. Akibatnya, tujuan melindungi korban dan membangun budaya baru zero tolerance terhadap pelecehan seksual di kampus, lembaga paling terhormat di hati masyarakat, justru tidak tercapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kekerasan seksual di kampus umumnya tersembunyi. Publik baru mengetahui kejadiannya setelah sekian lama peristiwanya terjadi. Civitas academica biasanya menganggapnya sebagai aib. Karena itu, mereka menutup kasusnya dan membiarkan pelakunya tetap mengajar, membimbing, dan tetap menyandang predikat terhormat, lalu mengulangi perbuatannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pelakunya adalah dosen, guru besar, pejabat universitas atau fakultas, termasuk dekan, kakak kelas, teman sekelas, dan siapa saja di kampus yang memiliki kekuasaan atas para korban. Kekuasaan menentukan kelulusan, kewenangan menentukan nilai, atau memiliki posisi lebih tinggi membuat mereka mereka leluasa melakukan pelecehan tubuh (body shaming), meretas, hingga merekayasa gambar digital para korban.

Di Indonesia, kekerasan seksual di kampus sudah terjadi pada 1962. Waktu itu seorang pengacara pembela hak asasi manusia dan pendiri lembaga bantuan hukum terkemuka membongkar satu kasus kekerasan seksual oleh seorang dekan kepada mahasiswanya di salah satu fakultas di universitas ternama di Indonesia. Alih-alih dihukum, dekan itu malah menduduki jabatan terhormat di lembaga-lembaga tinggi negara.

Sampai hari ini kasus kekerasan seksual terus berlangsung. Kasus-kasus yang muncul hanya puncak gunung es karena pelakunya hampir tidak pernah dihukum. Kasus yang sampai ke meja hijau sangat sedikit, meskipun indikasinya kuat. Bentuk kekerasannya bermacam-macam, dari pelecehan seksual secara verbal, percobaan pemerkosaan, hingga ancaman menggugurkan bayi. Ke mana para mahasiswa? Di mana para dosen dan pejabat kampus? Mereka diam tidak bersuara.

Mengapa kejahatan kekerasan seksual tidak pernah berhenti bahkan makin merajalela? Jawabannya sederhana: tidak ada hukum yang mengakomodasi kekerasan seksual, terlebih lagi karena bentuk dan jenis-jenisnya makin berkembang. Hukum pidana (KUHP) kita menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan kesusilaan dengan ruang lingkup yang terbatas. Padahal kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan. Korbannya bisa kehilangan nyawa, cacat seumur hidup, atau menderita trauma, depresi, sampai menyakiti diri sendiri.

Hukum acara pidana (KUHAP) kita membebankan pembuktian kekerasan seksual kepada korban. Itu sebabnya para korban enggan melapor. Sebab, alih-alih mendapat keadilan, mereka akan mengalami viktimisasi sekunder. Ketika para korban melapor, bukti-bukti visum sudah hilang karena biasanya mereka baru bersuara setelah menjadi alumnus dan punya karier yang mapan.

Pada 2019, terdapat 174 kasus kekerasan seksual di 79 kampus di 29 provinsi. Pelaku adalah dosen, mahasiswa, anggota staf, tokoh agama di kampus, dan dokter di klinik kampus. Sebanyak 96 persen korban adalah mahasiswa perempuan. Sebanyak 20 persen tidak melapor dan 50 persen tidak menceritakan kepada siapa pun.

Dari sedikit jumlah itu ada juga mahasiswa yang berani membentuk organisasi seperti HopeHelps yang menerima aduan melalui telepon atau perangkat digital, yang membuat korban lebih leluasa menyampaikan keluhan. Saat ini sudah ada organisasi serupa di 15 universitas. Selama 2021, HopeHelps menerima 40 laporan kekerasan seksual di 15 kampus. Survei Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengindikasikan bahwa bukti-bukti itu makin kuat sehingga perlu instrumen hukum yang khusus mengatur perlindungan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus.

Ada dua unsur penting dalam konsep kekerasan seksual. Pertama, tindakan yang dilakukan pelaku tanpa consent (persetujuan, kesukarelaan) dari korban. Artinya, terjadi pemaksaan. Siapa orang yang bisa memaksa? Mereka yang memiliki kuasa lebih besar daripada korban. Pemaksaan adalah suatu kejahatan, penindasan, dan karena itu harus dihukum. Maka, bila unsur consent ini terus-menerus diributkan bahkan diminta dihilangkan dari peraturan Menteri Pendidikan, secara konseptual tindakan kekerasan seksual menjadi tidak ada. 

Relasi kuasa menjadi unsur kedua yang penting. Ketika ada dua orang bertemu dan salah seorang memiliki kuasa lebih besar daripada yang lain, di situ ada potensi kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Kekuasaan yang lebih di lingkungan kampus bisa berupa kekuasaan dalam menentukan kelulusan, memberikan nilai, lebih cerdas, punya kewenangan membimbing skripsi hingga disertasi, lebih tua secara usia, memiliki jabatan, atau punya kelas sosial lebih tinggi. Kelebihan-kelebihan adalah ketimpangan relasi kuasa yang punya potensi menciptakan kekerasan seksual.

Masalahnya, kekuasaan yang lebih besar juga bisa terbentuk oleh bagaimana identitas dikonstruksi. Umumnya identitas umur dan gender, di samping latar belakang ras, etnik, kelas sosial, dan agama, bisa menentukan seseorang melakukan kekerasan seksual terhadap yang lain. Tidak mengherankan jika kebanyakan korban adalah para perempuan yang usianya lebih muda. Karena itu, unsur relasi kuasa tidak mungkin dihilangkan dari konsep kekerasan seksual.

Bahkan, dalam situasi tertentu, ketiadaan consent atau pemaksaan tetap ada melalui relasi kuasa. Jika korbannya di bawah umur, penyandang disabilitas, tidak berdaya karena tipu daya, berhubungan seksual karena diberi minuman keras, dan disiksa, pendeknya yang membuat ia rentan, kita harus menganggap hubungan tersebut sebagai kekerasan seksual. Ketidakberdayaan korban karena kerentanan menyebabkan ada atau tidak adanya consent menjadi tidak relevan. Bila diam sekalipun tidak berarti ia setuju.

Naskah akademik Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 sudah mengakomodasi dengan baik studi literatur dan studi lapangan berupa pemetaan statistik serta kasus-kasus pengalaman korban kekerasan seksual. Bila dihubungkan dengan data Komisi Nasional Perempuan pada 2020, ada 8.000 kasus kekerasan seksual, 5.000 di antaranya terjadi di ranah privat. Artinya, pelaku adalah orang yang dikenal para korban, baik yang memiliki hubungan darah (ayah, kakek, paman, kakak) maupun orang-orang yang memiliki kedudukan sehingga dihormati, seperti guru, kepala sekolah, guru agama, dan dosen.

Maka Pasal 5 Peraturan Menteri Pendidikan itu merinci definisi kekerasan seksual yang di dalamnya termasuk tindakan pamer organ seksual diri (eksibisionis). Definisi ini bertujuan mengakomodasi agar para pelaku kekerasan seksual dalam berbagai bentuk tidak lolos dari hukuman.

Sebagai negara Pancasila, yang merumuskan nilai kemanusiaan dalam konstitusi, sudah selayaknya kita memikirkan masalah serius yang dihadapi bangsa ini, yakni kekerasan seksual, terutama di kampus. Universitas adalah lembaga khusus, tidak bisa disamakan dengan lembaga apa pun, termasuk lembaga politik ataupun bisnis. Universitas adalah rumah produksi ilmu pengetahuan, penjaga gerbang kebenaran, yang seharusnya bertanggung jawab atas masa depan masyarakat.

Jika kekerasan seksual di kampus kita biarkan, Indonesia Emas 2045 tidak akan tercapai. Pembangunan manusia justru lebih utama dibanding pertumbuhan ekonomi. Karena itu, negara wajib memastikan rasa aman bagi warganya dan terbebas dari rasa takut atas ancaman kekerasan seksual.

Apalagi Indonesia terkenal dengan religiositas penduduknya. Tak elok jika kita permisif terhadap kejahatan seksual yang akan menghambat pembangunan manusia karena membunuh generasi mendatang. Kita mesti berkaca agar tak menjadi bangsa yang hipokrit dengan membelokkan usaha perlindungan korban dan pencegahan pelecehan seksual di kampus melalui politik identitas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Sulistyowati Irianto

Sulistyowati Irianto

Guru Besar Antropologi Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus