Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara Palestina dan Kereta

Rekam jejak Yahya Cholil Staquf dan Said Aqil Siroj disorot menjelang Muktamar Nahdlatul Ulama. Sama-sama pernah dekat dengan Gus Dur.

20 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pertemuan Yahya Staquf dan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu di Tel Aviv, Israel, Juni 2018. Twitter Benyamin Netanyahu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Yahya Cholil Staquf disorot soal kunjungannya ke Israel.

  • Posisi komisaris PT KAI yang dipegang Said Aqil Siroj mengundang pertanyaan dari pengurus NU.

  • Keduanya pernah diberi jabatan oleh Gus Dur.

BERSUA dengan pengurus Nahdlatul Ulama se-Jawa Tengah di Hotel Patra, Semarang, Jumat malam, 8 Oktober lalu, Yahya Cholil Staquf mendapat pertanyaan ihwal isu kunjungannya ke Israel. Ketua Pengurus Cabang NU Surakarta Muhammad Mashuri bercerita, seorang peserta yang hadir dalam pertemuan melontarkan pertanyaan tersebut kepada Yahya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sempat ada yang tabayyun,” kata Mashuri kepada Tempo pada Jumat, 19 November lalu. Menurut Mashuri, Yahya mengatakan bahwa kunjungannya ke Israel untuk melanjutkan jejaring internasional yang dibangun presiden keempat Abdurrahman Wahid. Ia menghadiri forum serupa di Washington, Amerika Serikat, pada awal 2000-an dan pernah tiga kali berkunjung ke Israel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun Yahya bertandang ke Israel pada Juni 2018 atas undangan American Jewish Committee, organisasi yang mengadvokasi orang Yahudi dan Israel. Dia diminta mengisi kuliah umum bertema “Shifting the Geopolitical Calculus: From Conflict to Cooperation” di Yerusalem.

Lewat akun Twitter, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengunggah fotonya bersalaman dengan Yahya. Katib Aam Pengurus Besar NU ini pun banjir kritik lantaran dinilai tak sensitif dengan perjuangan Palestina.

Kepada Tempo pada 22 Juni 2018, Yahya mengaku berencana menyampaikan pesan perdamaian untuk Israel dan Palestina. Namun panitia berkeberatan terhadap materi yang ia siapkan sehingga format pidato diubah menjadi wawancara.

Pada Jumat, 19 November lalu, Yahya tak membantah saat dimintai klarifikasi soal kedekatannya dengan kelompok Yahudi. Namun ia menyebutkan isu lawas itu sudah dipahami oleh hampir semua aktivis NU. “Tak banyak yang mempertanyakan,” ujarnya kepada Tempo, Jumat, 19 November lalu. (Baca wawancara Yahya Cholil Staquf: Tak Ada Untungnya Bela Israel)

Bukan hanya soal Israel, Yahya juga diterpa isu tak menguasai kitab kuning seperti Ketua Umum PBNU inkumben, Said Aqil Siroj. Ketua Pengurus Wilayah NU Yogyakarta Fahmy Akbar Idries menilai hal tersebut bukan masalah. Ia menilai NU perlu dipimpin oleh kader yang mengerti manajemen organisasi.

Adapun Yahya mengatakan bahwa ia dan Said Aqil dididik dalam jalur tradisi yang sama. “Setiap orang punya kelebihan dan kekurangan,” kata anak Muhammad Cholil Bisri, pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibin di Rembang, Jawa Tengah, itu. Yahya mengklaim mengetahui kebutuhan NU pada masa depan dan cara mewujudkannya.

Saat berusia belasan tahun, Yahya, yang lahir di Rembang pada 16 Februari 1966, belajar di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Lulusan SMA Negeri 1 Yogyakarta itu kemudian menempuh studi di Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Dosen sosiologi UGM, Najib Azca, menyebutkan Yahya tak merampungkan kuliah lantaran pergi ke Arab Saudi untuk belajar agama. Menurut dia, Yahya kerap dijuluki bergelar DOHC, singkatan dari drop out honoris causa. “Panggilan guyon sekaligus kehormatan,” tutur junior Yahya di UGM ini.

Nama Yahya makin dikenal setelah ia diangkat Abdurrahman Wahid menjadi juru bicara presiden. Dia pula yang membacakan dekret Gus Dur—panggilan Abdurrahman—berisi pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Partai Golkar.

Keluarga Yahya dan Abdurrahman Wahid pun dekat. “Ayah Gus Yahya salah satu sahabat Gus Dur,” kata Priyo Sambadha, mantan anggota staf Abdurrahman Wahid. Paman Yahya, Ahmad Mustofa Bisri alias Gus Mus, juga berkarib dengan Gus Dur.

Karier Yahya di pemerintahan berlanjut saat Joko Widodo mendapuknya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden pada 2018, menggantikan Hasyim Muzadi yang wafat pada 16 Maret 2017. Ia juga santer disebut menjadi calon Menteri Agama tatkala Jokowi merombak kabinet pada akhir tahun lalu. Namun akhirnya Yaqut Cholil Qoumas, adik Yahya, yang menjadi menteri.

Bukan hanya rekam jejak Yahya yang dipertanyakan. Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj juga ditanyai soal jabatan komisaris PT Kereta Api Indonesia (Persero) yang diembannya. Said menjadi komisaris utama merangkap komisaris independen di perusahaan pelat merah ini sejak Maret 2021.

Ketua PCNU Surakarta Muhammad Mashuri mengaku menanyakan posisi tersebut ketika Said datang ke Sukoharjo, Rabu, 17 November lalu. Pimpinan PCNU Solo Raya—terdiri atas enam kabupaten dan satu kota—menemani Said bersantap siang seusai pelantikan PCNU Sukoharjo. Tapi ia tak mau mengungkap jawaban Said.

Direktur Said Aqil Siroj Institute Imdadun Rahmat menilai jabatan komisaris KAI tak substansial dibicarakan. Dia menilai tak jadi masalah bagi Said mencari rezeki halal karena PBNU bersifat nirlaba. “Kiai Said juga harus menghidupi pesantrennya tanpa membebani organisasi atau umat,” ujar Imdadun, yang juga anggota tim sukses Said, Jumat, 19 November lalu.

Lahir di Cirebon, Jawa Barat, pada 3 Juli 1953, anak pasangan Aqil Siradj dan Afifah Harun ini tumbuh dalam kultur pesantren. Ayahnya pengasuh Pondok Pesantren Kempek, Palimanan, Cirebon. Mengancik remaja, Said masuk Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.

Komisaris Utama KAI, Said Aqil Siroj menyapa masinis saat meninjau Stasiun Pasar Senen, Jakarta,18 Maret 2021. Dok. PT KAI

Setelah itu, Said melanjutkan nyantri di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Setelah meraih gelar sarjana dari Institut Agama Islam Negeri—kini Universitas Islam Negeri—Sunan Kalijaga, ia memboyong keluarganya ke Mekah, Arab Saudi, untuk melanjutkan studi.

Said mendapatkan gelar master dari King Abdulaziz University dengan tesis yang mengupas kitab Perjanjian Lama dan surat-surat Paus Paulus. Adapun disertasinya di Umm Al-Qura University membahas tasawuf. Menurut Imdadun Rahmat, Said dinilai sebagai sosok berilmu tinggi dan alim. “Pengetahuannya luas dan hafalannya kuat,” kata Imdadun.

Saat Said berada di Mekah, Abdurrahman Wahid bolak-balik mengunjunginya. Gus Dur meminta dia menjadi Wakil Katib Aam PBNU setelah Muktamar Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1994. Saat Gus Dur dilengserkan sebagai presiden pada 2001, Said dianggap tak berpihak kepada Ketua Umum PBNU 1984-1999 itu.

Imdadun mengatakan Said dan keluarga Gus Dur sudah mengadakan rekonsiliasi. Setelah terpilih memimpin PBNU pada 2010, Said membuka bekas ruangan Abdurrahman Wahid yang sebelumnya disegel. “Ruangan itu dijadikan Pojok Gus Dur,” ujar Imdadun. (Baca wawancara Said Aqil Siroj: NU Lebih Dihargai Jika Tak Berpolitik)

Selama menjabat Ketua Umum PBNU, Said beberapa kali melontarkan pernyataan kontroversial. Misalnya ia menyebut Wahabi dan Salafi sebagai pintu masuk terorisme. Ia juga pernah menyinggung agar imam masjid hingga pengurus kantor urusan agama diisi kader NU.

Said mengungkapkan hal tersebut dalam peringatan Hari Lahir Muslimat Nahdlatul Ulama ke-73, Januari 2019. Dalam forum yang dihadiri Presiden Jokowi itu, Said menyampaikan kemungkinan tak maju lagi sebagai calon ketua umum. Namun, pada 6 Oktober lalu, dia justru menyatakan siap berlaga kembali dalam Muktamar Nahdlatul Ulama. “Permintaan sudah sangat banyak,” kata Said.

HUSSEIN YUSUF ABRI, RAYMUNDUS RIKANG, EGI ADYATAMA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Stefanus Pramono

Stefanus Pramono

Bekerja di Tempo sejak November 2005, alumni IISIP Jakarta ini menjadi Redaktur Pelaksana Politik dan Hukum. Pernah meliput perang di Suriah dan terlibat dalam sejumlah investigasi lintas negara seperti perdagangan manusia dan Panama Papers. Meraih Kate Webb Prize 2013, penghargaan untuk jurnalis di daerah konflik, serta Adinegoro 2016 dan 2019.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus