Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMURUH sorak-sorai dan nyanyian sebanyak 61 ribu penonton mengguncang Stadion Nasional Singapura pada 4 Maret 2024. Senin malam itu, para penonton bernyanyi bersama sang idola, Taylor Swift, yang menggelar konser The Eras Tour hari ketiga di Singapura. Kendati tersedia kursi di semua kategori hingga ke bagian lantai area panggung, hampir semua penonton memilih berdiri dan bernyanyi bersama biduan asal Amerika Serikat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari puluhan lagu yang dibawakan Swift malam itu, tembang “Shake It Off” memberikan suasana berbeda. Para penonton menggila saat bintang 34 tahun itu menyanyikan bagian refrain. “Cause the players gonna play, play, play, play, play / And the haters gonna hate, hate, hate, hate, hate / Baby, I’m just gonna shake, shake, shake, shake, shake / I shake it off, I shake it off.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua penonton melompat dan berjoget ketika Swift menyuguhkan “Shake It Off”. Kelap-kelip cahaya dari gelang inframerah yang mengikuti tempo lagu menambah semarak suasana. Jesicarina, 32 tahun, penonton asal Indonesia, mengaku sampai tidak bisa berfokus merekam momen idolanya sedang membawakan lagu dari album 1989 tersebut. “Karena harus banget joget,” kata perempuan yang akrab disapa Jesi itu.
Irama lagu yang dirilis pada 2014 itu memang energetik dan penuh semangat karena bergenre dance-pop. Bahkan musiknya pernah memicu aktivitas seismik setara gempa magnitudo 2,3 saat Swift menggelar konser di Lapangan Lumen, Seattle, Amerika Serikat, pada 22-23 Juli 2023. Sejumlah media asing memberikan istilah “Swift Quake” untuk peristiwa tersebut.
Penampilan Taylor Swift dalam konsernya yang bertajuk "The Eras Tour", di Melbourne, Australia, 16 Februari 2024. EPA-EFE/Joel Carrett
Lirik yang gampang dihafalkan dan dapat dinyanyikan bersama membuat “Shake It Off” menjadi favorit banyak orang. Pesan dalam lagu tersebut juga terkait dengan kehidupan sehari-hari.
Dalam wawancara dengan Billboard pada 2014, Swift menjelaskan bahwa lirik “Shake It Off” mengajarinya cara menjalani dan memandang hidup. Ia ingin lagu itu bisa membuat orang-orang bangun dan menari walau hidup mereka pahit. “Aku ingin lagu ‘Shake It Off’ menjadi lagu yang bisa membantu seseorang melewati hal yang buruk,” tutur biduan bernama lengkap Taylor Alison Swift ini.
Taylor Swift: The Eras Tour merupakan tur konser dunia pertama Swift setelah lima tahun yang dimulai di Glendale, Amerika Serikat, pada 17 Maret 2023. Tur ini mencakup lima benua. Di Asia, Swift hanya mampir di Jepang dengan empat pertunjukan (7-10 Februari 2024) serta Singapura dengan enam pertunjukan (2-4 Maret dan 7-9 Maret 2024).
Dalam konser berdurasi hampir tiga setengah jam itu, Swift membawakan 44 lagu yang terbagi dalam 10 era berbeda—sesuai dengan jumlah album studionya. Ia menggambarkan tur ini sebagai perjalanan menuju semua era musiknya. Setiap era disuguhkan dengan ciri khas masing-masing melalui desain panggung, efek visual, kostum, koreografi, aksi teatrikal, hingga pemanfaatan teknologi canggih.
Di Singapura, konser dibuka dengan penampilan Sabrina Carpenter tepat pada pukul 18.00 waktu setempat. Solois asal Amerika Serikat itu membawakan sejumlah lagu dari album Emails I Can’t Send selama 37 menit. Saat muncul di panggung, Carpenter mendapat sambutan cukup meriah. Apalagi ketika penyanyi 24 tahun itu membawakan “Feather” dan “Nonsense”, dua tembang yang belakangan populer di media sosial. Para penonton ikut bernyanyi melafalkan liriknya.
Enam menit menuju dimulainya The Eras Tour, penonton dikejutkan oleh tampilan waktu hitungan mundur pada tiga layar raksasa di panggung. Ketika angka menunjukkan hitungan 00.00, penerangan di stadion meredup. Penonton pun mulai bersorak. Tiba-tiba, sisi bawah layar lebar melengkung itu terbuka bak sebuah pintu. Sejumlah penari muncul sambil membentangkan permadani berwarna pastel yang berbentuk seperti cangkang kerang.
Dilansir Business Insider, bentuk ini terinspirasi lukisan klasik Sandro Botticelli, The Birth of Venus. Dalam mitologi Romawi, Venus adalah dewi cinta. Para penari ini kemudian menuju tengah panggung yang berbentuk belah ketupat dan menyelimuti panel lantai panggung dengan kain lebar itu.
Penampilan Taylor Swift di konsernya yang bertajuk "The Eras Tour" di Tokyo, Jepang, 7 Februari 2024. Reuters/Kim Kyung-Hoon
Hanya berselang satu detik, kain berbentuk cangkang kerang itu terangkat dan di tengahnya muncul sang bintang utama, Taylor Swift. Dia berdiri di sebuah platform yang bergerak dari bawah panggung ke atas seperti sedang naik lift. Ia mengenakan custom bodysuit berkilauan dari Versace. “It’s been a long time coming, but…,” penggalan lirik lagu “Miss Americana and The Heartbreak Prince” itu menjadi pembuka konser. Dalam sekejap, sorakan penonton sontak berubah menjadi nyanyian.
Lagu dari album Lover itu hanya dinyanyikan separuh dan mendadak sudah terdengar intro “Cruel Summer”. Dalam lagu kedua ini, penampilan Swift makin “pecah” dengan semburan asap putih di area panggung yang berbentuk seperti berlian. Asap itu muncul bersamaan dengan dentuman musik setelah ia berucap, “And it’s new” dan “It’s cool”.
“Cruel Summer” yang dirilis pada 2019 kembali populer dan mencapai peringkat pertama di tangga lagu Billboard Hot 100 pada Oktober 2023. Lagu ini ditulis Swift bersama rekannya, Jack Antonoff. “Cruel Summer” mengisahkan seseorang yang terjebak dalam hubungan toxic atau beracun di musim panas, tapi masih mempertahankannya.
Setelah lagu selesai, Swift menyapa penggemarnya. Ia mengatakan penonton di Singapura membuatnya merasa luar biasa. Ia berjalan ke sisi lain panggung, lalu setengah membungkuk sambil menunjuk ke arah penonton dan berputar untuk mendengarkan sorakan. Spontanitas dan senda guraunya di atas panggung ini selalu dinantikan para penggemar. “Aku seketika merasa kuat,” katanya sambil mencium lengan kirinya yang berotot.
Masih di era Lover, penampilan Swift bertransformasi. Ia mengenakan blazer dengan desain sparkly berkelir biru untuk menampilkan lagu “The Man” dan “You Need to Calm Down”. Set panggungnya turut berubah seiring dengan pergantian lagu. Saat lagu “The Man” dibawakan, misalnya, panggung dilengkapi perancah dan berbagai properti untuk menghadirkan suasana perkantoran. Terdapat meja dengan mesin tik dan lampu. Pun para penari latarnya memakai kostum formal bak pegawai kantoran.
Penampilan Taylor Swift dalam konsernya yang bertajuk The Eras Tour, di MetLife Stadium, New Rutherford, New Jersey, Amerika Serikat, Mei 2023. EPA-EFE/Sarah Yenesel
Layar raksasa pada panggung selanjutnya memunculkan gambar sebuah rumah mirip rumah boneka yang pernah tayang dalam klip video lagunya, “Lover”. Benar saja, setelah menyanyikan “You Need to Calm Down”, Swift membuka blazernya dan mengalungkan gitar berwarna merah muda. Ia menyuguhkan “Lover” diiringi para penari latarnya yang berdansa berpasangan.
Lirik lagu ini amat romantis, berisi ungkapan perasaan cinta seseorang kepada kekasihnya. “Ladies and gentlemen, will you please stand? / With every guitar string scar on my hand / I take this magnetic force of a man to be my lover”. Suasana romantis ini kian terasa dengan munculnya cahaya berbentuk hati dari pengguna gelang di tribun atas.
Era berikutnya adalah Fearless, album kedua Swift yang dirilis pada 2008 sekaligus mengantarkannya sebagai artis termuda yang memenangi Grammy pada 2010. Swift tampil mengenakan gaun yang tak kalah berkilauan, dengan payet emas dan perak karya Roberto Cavalli. Sembari memetik gitar, ia menyanyikan lagu “Fearless”. Di bawah kakinya, panggung menampilkan proyeksi gitar perak berkilau—serupa dengan gitar akustik yang digunakannya.
Kehadiran gitar perak ini pun punya cerita tersendiri. Pada Maret 2023, menjelang turnya di Arizona, Swift mengungkapkan lewat Instagram Story bahwa gitar perak tersebut merupakan kreasi orang tuanya. Sehari sebelum The Eras Tour dimulai, orang tuanya mendekorasi gitar akustiknya dengan menempelkan rhinestone atau kristal dengan lem super.
Selain membawakan “Fearless”, Swift menyuguhkan dua lagu yang tak kalah populer dari album tersebut, yaitu “You Belong With Me” dan “Love Story”. Suara penonton pun mendominasi sepanjang dua lagu tersebut.
Dari suasana panggung yang gemerlap, dekorasi berubah menjadi hutan. Pohon-pohon tumbuh di panggung. Momen ini merupakan peralihan menuju era Evermore. Salah satu penampilan terunik Swift di babak ini adalah ketika ia membawakan lagu “Willow”. Ia tampil dengan gaun korset kuning mustard dengan detail manik-manik di depannya. Ia juga mengenakan jubah hijau yang membuatnya tampak seperti penyihir.
Penonton terpukau menyaksikan aksi teatrikal Swift yang merapalkan mantra sihir bersama kelompok penarinya. Suasana panggung malam itu terasa magis dengan variasi efek, seperti asap yang mengepul di lantai serta percikan api di lantai panggung.
Era Evermore ditutup dengan penampilan emosional Swift dalam lagu “Tolerate It”. Selepas lagu balada tersebut, era berganti. Layar berubah menjadi gelap dan menampilkan animasi ular bersisik hitam. Penonton sontak bersorak. Mereka tahu bahwa sang idola akan membawakan lagu-lagu pop elektro dari album Reputation yang dirilis pada 2017. Berbeda dengan album-album sebelumnya, Reputation bernuansa gelap. Riasan wajahnya saat manggung juga lebih bold.
Swift membuka era ini dengan lagu “...Ready for It?”. Ia tampil memukau di bawah sorotan lampu panggung dengan jumpsuit asimetris bermotif ular. Ia bersama penarinya berjalan ke tengah panggung. Namun, saat masuk ke lirik “In the middle of the night, in my dreams / You should see the things we do, baby (mmm)”, lantai yang dipijak Swift dan penari latarnya bergerak ke atas.
Koreografi lalu berubah. Para penari kini sejajar di samping Swift. Begitu sang bintang menyanyikan penggalan lirik “Baby let the games begin, let the games begin”, platform yang dipijak para penari bergerak turun menjadi bentuk undakan tangga hingga rata dengan lantai panggung. Sedangkan Swift tetap berdiri di platform berbentuk kubus dan baru bergerak turun belakangan menjelang lagu habis.
Di luar aksi panggung yang memukau, Swift cukup sering berinteraksi dengan penonton. Keramahan ini ia tunjukkan dengan memberikan topi fedora hitam kepada fan ciliknya saat menampilkan lagu “22”. Di malam ketiganya di Singapura, seorang anak berkacamata hitam dan berkucir dua menjadi fan yang cukup beruntung mendapatkan topi tersebut. Ia bahkan menerima pelukan dari Swift.
Ikatan dengan Swifties—julukan kelompok penggemar Taylor Swift—juga terjalin lewat gimik di setiap pertunjukannya. Misalnya, ketika membawakan lagu “We Are Never Ever Getting Back Together”, Swift menyodorkan mikrofon kepada penari latarnya, Kameron Saunders. Setelah Swift mengucapkan lirik “It’s exhausting, we are never getting back together”, Saunders menambahkan “like ever”.
Saat tampil di Singapura, sosok Saunders mencuri perhatian lantaran mengganti “like ever” dengan kalimat khas berlogat Inggris Singapura alias Singlish. Pada hari pertama, Saunders menyebutkan “no lah”. Pada hari kedua dan ketiga, dia mengucapkan “siao ah” dan “wa lao eh”, yang biasanya digunakan untuk mengekspresikan kekesalan. Kemudian dia menggantinya dengan “alamak” pada hari keempat dan “wa piang eh” pada malam kelima.
Selain membawakan 44 lagu dari 10 albumnya, Taylor Swift kerap memberikan kejutan dengan menyuguhkan permainan gitar akustik dan piano dari lagu-lagunya yang tidak masuk setlist The Eras Tour. Hal ini memicu antusiasme penggemarnya yang menerka-nerka lagu apa yang akan dibawakannya dalam konser. Pasalnya, sejak konser The Eras Tour dimulai, lagu kejutan atau surprise song itu selalu berbeda.
Penampilan Taylor Swift di era Midnights dalam konser "The Eras Tour" hari ketiga di Singapura, 4 Maret 2024. Tempo/Friski Riana
Di Singapura, penonton pada hari pertama dikejutkan oleh lagu kombinasi atau mashup, yaitu “Mine” yang dicampur dengan “Starlight” serta “I Don’t Want to Live Forever” dan “Dress”. Di hari berikutnya, ia membawakan mashup “Long Story Short” dan “The Story of Us” serta “Clean” dan “Evermore”. Adapun pada 4 Maret 2024 ia mencampur “Foolish One” dengan “Tell Me Why” serta “This Love” dengan “Call It What You Want”.
Seusai momen surprise song, Swift unjuk bakat “menyelamnya”. Dengan balutan gaun panjang, ia tiba-tiba melompat ke sebuah lubang di lantai panggung dan muncul efek suara cebur. Kemudian di atas panggung penonton disuguhi proyeksi yang menampilkan sosok Swift seperti sedang menyelam. Aksi panggung ini viral di media sosial saat ia baru memulai turnya.
Setelah aksi menyelam, Swift menampilkan era Midnights, album terakhirnya yang dirilis pada 2022. Ia menyanyikan cukup banyak lagu dari era ini, seperti “Lavender Haze”, “Anti Hero”, “Daylight”, “Vigilante Shit”, “Bejeweled”, “Mastermind”, dan “Karma” sebagai penutup. Desain panggung hingga kostumnya didominasi warna ungu dan biru dongker.
•••
DENGAN penampilan panggung yang luar biasa dan jutaan penggemar, tidaklah mengherankan jumlah permintaan tiket Taylor Swift: The Eras Tour sangat tinggi. Server Ticketmaster sampai jebol ketika agen penjualan tiket konser dunia itu membuka penjualan tiket The Eras Tour untuk Amerika Serikat. Hal itu terjadi karena ada jutaan orang yang mengakses situs untuk membeli tiket tur Swift.
Bagi Swifties, keberhasilan mendapatkan tiket konser Swift bagai kemenangan dalam sebuah perang. Fuji, pegawai di sebuah bank swasta internasional di Jakarta, merasakan betul sulitnya “war” tiket Swift di Singapura. Perempuan 37 tahun itu tak kunjung mendapatkan tiket meski telah mengikuti presale hingga general sale. Nasib beruntung memihaknya ketika UoB, bank resmi dan mitra tiket presale tur Swift, membuka slot tambahan tiket. “Nah, aku dapat tiket di situ,” kata Fuji.
Penggemar Taylor Swift asal Indonesia, Fuji, menonton konser "The Eras Tour" hari kedua di National Stadium, Singapura, 3 Maret 2024. Dok. pribadi
Tanpa pilih-pilih kategori, Fuji langsung mengambil tiket yang ada di depan matanya, tiket kategori VIP 5 yang dihargai Rp 4,8 juta. Ia memesan dua tiket, untuk dirinya dan suaminya. “Aku sudah se-desperate itu pengin nonton.”
Lain lagi dengan Jesicarina. Ia bahkan merogoh kocek lebih besar. Semula ibu satu anak itu hanya menyiapkan bujet sebesar Rp 3 juta. Targetnya adalah bangku di kategori 4-6. Namun, saat dia berhasil masuk ke ruang pembelian tiket, kategori yang tersedia hanya kelas VIP. Mau tidak mau ia membayar hampir tiga kali lipat bujetnya. Jesi mengamankan tiket kategori VIP 2 yang dijual seharga Rp 8 juta. “Lebih baik nyesel beli daripada nyesel enggak beli,” ujarnya.
Kesulitan serupa dialami penonton dari Malaysia, Joanna. Perempuan 36 tahun itu gagal mendapatkan tiket pada saat pra-penjualan dan penjualan umum. Beruntung, seorang temannya memiliki tiket lebih untuk pertunjukan pada 4 Maret dan menawarinya. “Aku ingat betul malam itu baru pulang kerja dan temen ngasih kabar baik itu,” tutur Joanna.
Seolah-olah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Joanna tampil habis-habisan untuk konser Taylor Swift di Singapura. Penampilannya terinspirasi campuran berbagai era album Swift. Misalnya rok dengan motif batu permata berkilauan yang bersumber dari lagu “Bejeweled”, legging dengan motif ular melingkar dari album Reputation, hingga sepatu berkelir biru langit yang diberi tambahan efek awan seperti dalam album 1989.
•••
TINGGINYA permintaan terhadap tiket The Eras Tour membuat konser ini meraup pendapatan tertinggi sepanjang masa menurut Guinness World Records. Pendapatan tur ini melampaui US$ 1 miliar atau sekitar Rp 15 triliun. Angka ini bahkan diperkirakan bakal bertambah karena jadwal tur baru akan berakhir pada Desember 2024.
Konser yang diadakan Taylor Swift ini memberikan dampak ekonomi pada negara yang dikunjunginya—disebut Swiftnomics. Di Jepang, misalnya, yang menggelar The Eras Tour selama empat hari, diperkirakan ada imbas ekonomi lebih dari 34 miliar yen atau sekitar Rp 3,5 triliun. Angka itu merupakan gabungan dampak penjualan tiket dan suvenir serta belanja konsumsi para penonton, seperti akomodasi dan transportasi. Singapura yang menggelar konser selama enam hari diperkirakan meraup keuntungan ekonomi lebih tinggi.
Menukil dari situs The Strait Times, sejumlah negara mulai berebut mendatangkan Swift. Singapura bahkan memberikan hibah sebagai perjanjian eksklusif agar Swift hanya menggelar konser di sana.
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin menyebutkan bahwa ia mendapat informasi dari promotor Anschutz Entertainment Group tentang alasan Swift tidak singgah di negaranya. Promotor tersebut, menurut Thavisin, memberi tahu bahwa pemerintah Singapura menawarkan US$ 2-3 juta atau sekitar Rp 47 miliar per pertunjukan sebagai imbalan atas eksklusivitas penampilannya di Asia Tenggara. Thavisin menyebut langkah pemerintah Singapura itu cerdik.
“Jika dia datang ke Thailand, akan lebih murah menyelenggarakannya di sini dan saya yakin dia mampu menarik lebih banyak sponsor dan wisatawan ke Thailand,” tuturnya seperti dikabarkan Tempo.co. “Konser bisa menghasilkan nilai tambah bagi perekonomian.”
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong membenarkan adanya kesepakatan eksklusif negaranya dengan Swift melalui insentif agar menjadikan Singapura satu-satunya perhentian turnya di Asia Tenggara. Menurut Lee, keputusan itu bukan tindakan yang tak bersahabat terhadap negara-negara tetangga di ASEAN.
“Agensi (kami) menegosiasikan perjanjian dengan dia untuk datang ke Singapura untuk tampil dan menjadikan Singapura satu-satunya tempat persinggahannya di Asia Tenggara. Ternyata ini pengaturan yang sangat sukses. Saya tidak melihatnya sebagai tindakan yang tidak bersahabat,” ucap Lee dalam konferensi pers di Melbourne, Australia, pada 5 Maret 2024.
Taylor Swift memang magnet yang sangat kuat. Jumlah permintaan terhadap kamar hotel, tiket penerbangan, dan akomodasi lain menjelang konser meningkat hingga 30 persen. Dikutip dari CNA, Dewan Pariwisata serta Kementerian Masyarakat, Kebudayaan, dan Pemuda Singapura (MCCY) menyatakan, “Hal ini kemungkinan besar akan menghasilkan manfaat yang signifikan bagi perekonomian Singapura, terutama bagi kegiatan pariwisata seperti perhotelan, retail, perjalanan, dan kuliner, seperti yang terjadi di kota-kota lain tempat Taylor Swift pernah tampil.”
Angka permintaan penerbangan ke Singapura dengan Singapore Airlines dan Scoot melonjak pada Maret 2024, khususnya dari negara Asia Tenggara. Jetstar Asia juga menyatakan jumlah permintaan meningkat sebesar 20 persen.
Di hotel tempat Tempo menginap, yakni L Hotel di kawasan Desker, juga tercatat peningkatan jumlah permintaan. Hotel berkapasitas 58 kamar ini terisi penuh selama 2-4 Maret 2024. Nancy, resepsionis hotel, mengungkapkan, sebelum adanya konser Swift, okupansi hotel biasanya hanya 50 persen dari jumlah kamar. “Dampaknya bagus sekali. Banyak yang memesan kamar melalui online,” ujarnya.
Menurut Nancy, kebanyakan tamu hotelnya berasal dari Inggris, Filipina, dan Vietnam. Mereka kebanyakan menginap 3-4 malam. Nancy menambahkan, hampir semua penginapan di area tersebut juga sudah penuh karena adanya konser Taylor Swift.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Konser Mesin Waktu Taylor Swift"