Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
We keep this love in a photograph
We made these memories for ourselves
Where our eyes are never closing
Hearts are never broken
And time's forever frozen still
So you can keep me
Inside the pocket of your ripped jeans
Holding me closer 'til our eyes meet
You won't ever be alone, wait for me to come home
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ED Sheeran, penyanyi asal Inggris, menyanyikan lagu itu dalam konsernya di Jakarta, awal Maret ini. Lagu tentang foto yang membekukan momen dan menyimpan kenangan. Foto yang dicetak lalu disimpan di kantong celana jins lusuh. Sebuah jangkar untuk hubungan di antara dua manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sheeran bukan datang dari generasi lama. Ia lahir pada 1991, berumur 33. Ia menulis lagu itu bersama John McDaid, personel band Snow Patrol yang berusia 47. Semestinya, sebagai milenial dan gen X, keduanya lebih akrab dengan foto sebagai produk digital yang tersimpan dalam gawai. Tapi mereka memilih foto dalam bentuknya yang lama, karena mungkin bentuk itu yang lebih romantis dan bisa dibuat dalam lagu.
Foto dalam bentuk digital seperti kehilangan beberapa maknanya. Ada yang tercecer saat foto dengan mudahnya kita ambil setiap hari. Kita memotret apa saja, wajah kekasih, foto diri, makanan cepat saji, lot parkir, kopi yang hampir habis, sampah di kamar mandi.
Tapi untuk apa?
Inflasi foto itu membuat foto tak lagi istimewa. Kita bahkan sangat jarang memperhatikan lagi foto yang sudah kita ambil. Mereka tersimpan dalam memori gawai, tapi tak mampir dalam memori manusia.
Bahkan kemudahan yang ditawarkan teknologi digital membuat kita kehilangan kemampuan kuratif. Kita tak bisa lagi tahu mana yang harus diabadikan dan tidak, momen apa yang perlu dikenang dan mana yang boleh dibiarkan berlalu.
Teknologi tidak hanya menggerus sebagian makna foto. Artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan bahkan menghancurkan arti fotografi yang telah diyakini selama 200 tahun. AI membuat kita membutuhkan definisi baru untuk fotografi.
Fotografi—dari foto yang berarti cahaya dan grafi yang bermakna gambar—adalah melukis dengan cahaya. Ada cahaya yang masuk ke dalam kamera lalu direkam secara kimia dengan film atau secara elektronik dalam kamera digital. Perubahan dari analog ke digital hanya mengganti media penerimanya, tapi proses penangkapan cahaya tetap sama.
Dalam pembuatan foto oleh AI, tak ada cahaya yang ditangkap. Bahkan tidak diperlukan obyek nyata. Foto dibuat dengan memasukkan kata-kata (prompt) ke dalam komputer. Kita bisa membuat foto berdasarkan obyek, warna, detail, bahkan pencahayaan yang kita inginkan. Foto tidak lagi melukis dengan cahaya, tapi melukis dengan kata-kata.
Foto bukan lagi seperti lagu Ed Sheeran di atas—sebuah benda yang membekukan momen. Foto bukan lagi tentang kenangan, seperti yang dikatakan oleh Susan Sontag dalam bukunya, On Photography, “Semua foto adalah saksi dari pencairan waktu yang tiada henti.”
Jika foto tak lagi menangkap cahaya, jika foto tak lagi merekam momen, lalu apa arti foto? Ada yang mengusulkan, daripada susah-susah mencari makna baru dari fotografi, sebaiknya citra yang dihasilkan oleh AI diberi nama selain foto dan proses pembuatannya bukan fotografi.
Foto—dengan AI—memang tidak merekam kenyataan, melainkan visualisasi konsep yang ada di otak kita. Tak jauh seperti lukisan. Selama bertahun-tahun filsuf Prancis, Roland Barthes, melakukan penelitian untuk memberikan distingsi fotografi dari lukisan. Foto, baginya, “sesuatu yang ditangkap secara mekanis (oleh alat), bukan oleh manusia”. Inilah yang, menurut dia, membedakan foto dengan lukisan yang merupakan hasil imajinasi manusia.
Sontag memiliki pendapat serupa. “The painter constructs, the photographer disclose.” Pelukis merekonstruksi citra, sedangkan fotografer hanya mengungkapkannya. Karena tidak memiliki subyektivitas setebal lukisan, menurut Barthes, foto tidak memiliki pretensi. “Fotografi adalah pesan tanpa kode,” katanya. Namun, dengan AI, fotografi justru dibangun oleh kode.
Tapi “foto” yang dihasilkan oleh AI tidak tepat juga disebut lukisan. AI memiliki kemampuan juga untuk membuat lukisan dari kata-kata yang kita perintahkan. Ia bisa membuat lukisan bergaya apa pun, termasuk gaya Van Gogh. Ia bahkan lebih jago dari Han van Meegeren dalam memalsukan lukisan Johannes Vermeer.
Kita bisa menyebutnya ilustrasi atau apa pun. Tapi kemampuan AI dalam merekayasa citra itu membuat kita kehilangan sesuatu yang kita percaya untuk membantu otak kita merekam sesuatu apa adanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Fotografi"