Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rubrik Galeri Pop Art di majalah Aktuil memiliki kontribusi unik terhadap seni rupa Indonesia.
Galeri Pop Art membuka kiriman gambar pop dan sajak yang bisa diisi oleh anak muda mana pun.
Rubrik itu dijaga oleh kritikus seni rupa Sanento Yuliman, lalu oleh Jim Supangkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERUPA Harris Purnomo masih ingat suasana tempat kosnya dulu di Yogyakarta pada 1976 saat mereka—para penghuni kos—ada yang membeli majalah Aktuil. “Semua pasti antre gantian membaca,” katanya. Harris saat itu indekos rame-rame di Jalan Gampingan Nomor 23, daerah kawasan kampus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). “Kos saya berhadap-hadapan dengan kos Gampingan Nomor 20. Kebanyakan yang kos di kedua tempat itu pelajar SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia) dan mahasiswa ASRI. Tapi juga ada mahasiswa Fakultas Filsafat UGM (Universitas Gadjah Mada),” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harris ingat, sebagai anak seni rupa, mereka tiap minggu menunggu terbitnya Aktuil. Majalah itu adalah bacaan wajib mereka. Anak-anak kos Gampingan selalu membahas rubrik Galeri Pop Art. “Kalau Aktuil datang, kami selalu mendiskusikan gambar-gambar yang dimuat di Aktuil,” ujar Harris. Ia sendiri mengirim gambar ke majalah Aktuil sejak masih bersekolah di SSRI (SSRI setingkat sekolah menengah atas). Di majalah Aktuil Nomor 174 Tahun 1975, terpampang karya Harris berupa kolase wajah para bintang film seksi luar negeri yang ditempelkannya dan dibubuhi gambar bibir-bibir serta tulisan tangan surat pantun cinta dari Harris kepada artis-artis itu. “Saat gambar saya diterima, wah bangganya masya Allah. Banyak yang nanya-nanya,” kata Harris.
Ilustrasi Harris Purnama di Majalah Aktuil No. 188, 1976. Buku Galeri Seni Rupa Pop
Saat meneruskan pendidikan ke ASRI, Harris tetap aktif mengirim gambar ke Aktuil. “Tahun 1976 saya masuk ASRI,” ucapnya. Di majalah Aktuil Nomor 197 Tahun 1976, dua gambar Harris mejeng. Sebuah gambarnya memampangkan kolase iklan produk dari Jepang, seperti Ajinomoto, Sanyo, Hitachi, Yamato, Toshiba, dan Sakura Film, seolah-olah ia mengkritik berlimpah ruahnya barang Jepang masuk ke Indonesia. Gambar kedua berjudul From West with Jeans, yang menampilkan sepasang remaja bercengkerama dikelilingi merek dan logo produk jins: J. Junky, Levi’s, Tartan, Lea, dan lain-lain.
Rubrik yang diasuh oleh Sanento Yuliman dan kemudian oleh Jim Supangkat tersebut, menurut Harris, memang menjadi barometer bagi para perupa muda ASRI saat itu. Majalah Aktuil sendiri, untuk terus menggelorakan dan merangsang semangat kenakalan visual anak muda, di edisi 185, Februari 1976, sampai memberi sisipan poster bergambar Semar dengan pantat mengenakan batik bermotif tulisan God Bless, Koes Plus, AKA, Led Zeppelin, dan Deep Purple. Di atas gambar Semar ada teks “Aku iki ngepop lho Mas!”—oleh Penerbit Gang Kabel, poster ini dijadikan stiker berwarna dasar oranye dan menjadi bonus buku.
Ilustrasi Harris Purnama di Majalah Aktuil No. 174, 1975. Buku Galeri Seni Rupa Pop
Menurut Harris, hampir semua sahabatnya kesetrum dan berlomba mengirim gambar. “Saya ingat yang diterima selain saya, teman satu kos ada Gendut Riyanto, Joko Sulistyo Kahar, Ivan Harianto, Widodo Andoyo, Mohammad Cholid,” tutur Harris. Dia mengenang, sesungguhnya mahasiswa ASRI yang mengirim gambar ke Aktuil jumlahnya bejibun. “Tapi banyak yang tidak diterima.” Dari sekian banyak teman Harris, yang gambarnya paling sering dimuat adalah (almarhum) Gendut Riyanto. “Gendut itu teman sekelas saya mulai SMSR dan kemudian ASRI. Bahkan pernah dalam satu edisi Aktuil hanya gambar Gendut yang dipajang. Gendut seolah-olah pameran tunggal di Aktuil,” katanya.
Bukan hanya teman SSRI yang satu tempat kos, menurut Harris, yang lain kos juga mengirim. “(Almarhum) Mayon Sutisno, yang dikenal sebagai wartawan, novelis, dan pernah kuliah di Asdrafi serta menjadi anggota Bengkel Teater pimpinan Rendra, adalah teman saya satu angkatan di SSRI. Gambar dia juga pernah dimuat di Aktuil,” ujar Harris. Di majalah Aktuil Nomor 213 Tahun 1977, memang gambar Mayon dimuat. Gambar itu memparodikan majalah Tempo. Cover majalah Tempo disajikan dengan tampilan desain empat sampul majalah Time. Lalu ada tulisan “Biarin Plagiat Asal Beken”.
Poster semar di Majalah Aktuil 185, 1976.
Harris juga tahu saat itu kakak-kakak kelasnya di ASRI adalah bagian dari gelombang seni Aktuil. “(Almarhum) Redha Sorana dan (almarhum) Nanik Mirna, perupa-perupa di atas saya, karya-karyanya pernah nongol.” Juga adik kelasnya, Moelyono dari Tulungagung, Jawa Timur. Bahkan, sebelum menjadi mahasiswa, karya Moelyono diterima di Aktuil. “Saya mengirim gambar ke Aktuil saat masih kelas II SMA swasta di Tulungagung. Saya saat itu belum kenal Harris, Bonyong, Gendut, atau Nanik Mirna dan Redha Sorana,” kata Moelyono. Moelyono ingat, dia semenjak remaja memang menggandrungi Aktuil karena bisa mengikuti berita musik, cerita bersambung, dan Puisi Mbeling. “Saya ingat bonus poster-poster rock star dari Aktuil saya tempel-tempel menutupi seluruh dinding kamar saya, termasuk sebuah poster yang menampilkan puisi Rendra.”
Gambar Moelyono saat duduk di bangku SMA dimuat di majalah Aktuil Nomor 180 Tahun 1975. Gambarnya berupa sosok Hanoman memegang gitar dan memakai sepatu bot tinggi mirip penampilan grup musik cadas Kiss, Alice Copper, T. Rex, David Bowie, dan David Coverdale. “Sewaktu SMA, saya senang menggambar komik. Saya mengagumi komikus Teguh Santosa. Dengan keterampilan menggambar komik, saya mendapat ide menggambar wayang kayu Hanoman memainkan musik rock,” ucap Moelyono. Saat gambar itu dimuat, Moelyono begitu bergembira. “Gambar itu saya perlihatkan kepada bapak saya, tapi dia malah mengomentari gambar saya dimuat agar saya bisa meminta uang membeli majalah Aktuil terus. Walah, tak kira Bapak bangga....”
Galeri Seni Rupa Pop
Moelyono ingat, tatkala masuk ASRI, awalnya ia tidak satu tempat kos dengan Harris Purnomo. “Tahun 1979 saya baru pindah kos ke Gampingan 23, yang ternyata itu kos Gendut, Harris, dan senior-senior lain yang pernah mengirim gambar ke Aktuil. Kos itu menjadi markas kumpul-kumpul Kelompok PIPA (Seni Kepribadian Apa). Ada Dede Eri Supria, Bonyong Munni Ardhie, Ronald Manullang,” katanya. Kelompok PIPA pertama kali mengadakan pameran pada 1977. “Tahun 1979, saat PIPA pameran kedua, saya oleh mereka langsung diajak pameran. Sebagai anak bawang, saya bingung mengapa pameran ini kok diawasi polisi.…”
•••
RUBRIK Galeri Pop Aktuil muncul di majalah Aktuil setelah Remy Sylado keluar dari Aktuil dan bergabung dengan majalah Top. Sebelumnya, Remy membesarkan Aktuil dengan cerita bersambung Orexas (Organisasi Seks Bebas), ulasan musik dan teater, serta rubrik Puisi Mbeling. Rubrik Galeri Pop lahir pertama kali pada Aktuil Nomor 171, Juli 1975. Rubrik ini diasuh oleh Sanento Yuliman, yang kemudian, mulai Aktuil Nomor 198 Tahun 1976, diteruskan oleh Jim Supangkat lantaran Sanento menempuh kuliah di Prancis. Keduanya adalah tokoh Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia.
Di Galeri Pop Aktuil, mereka bak ideolog yang mencoba “memprovokasi” anak muda untuk melihat seni rupa dengan cara pandang baru. Sementara di Yogyakarta, Umbu Landu Paranggi di harian Pelopor Yogya pada awal 1970-an dikenal tiap minggu mengkurasi dan menerbitkan puisi para penyair sembari memberikan catatan singkat tentang sajak mereka, dalam tiap terbitan Galeri Pop Aktuil selalu diawali pengantar baik oleh Sanento maupun Jim. Pada intinya mereka menekankan bahwa seni rupa bukanlah monopoli orang yang terampil menggambar. Siapa pun boleh berkarya. Mereka menyuarakan sikap “pembangkangan” terhadap estetika konvensional.
Gendut Riyanto saat pameran seni rupa di Yogyakarta, 1981. Dok. TEMPO/Muhamad Cholid
Dalam pengantarnya di Galeri Pop Aktuil Nomor 178 Tahun 1975, misalnya, Sanento menulis sesuatu yang bisa membangkitkan gairah anak muda melakukan kenakalan visual. “Banyak seniman Indonesia (yang tua-tua, tapi sayang banyak yang muda juga) yang sampai hari ini berlagak ber-‘kebudayaan tinggi’ picingkan mata kepada dunia yang populer, yang ‘komersil’. Akibatnya lantas ketinggalan arus zaman, terkucil dari warna-warni lingkungan. Akibatnya lagi, jadi beku. Lagi-lagi mereka melukis perahu, gunung, babi, sawah, pohonan, pemandangan, wah-wah-wah, begitu kok dibilang ‘seni modern hari ini’.”
Namun Sanento juga menyentil anak muda bila mereka membuat seni pop jangan ala kadarnya. “Banyak yang maunya nge-Pop, tapi cuma nge-Pip. Ingat itu drama Pip Rendra tempo lalu yang fantasi tinggi, mencekam, penuh ekspresi yang improvisasi dan ditonton sembari nyureng?” tulisnya di Aktuil Nomor 177 Tahun 1975. Sementara itu, Jim Supangkat di Aktuil Nomor 200 Tahun 1976 mengatakan, “Seni rupa Aktuil adalah seni yang bersemangat, bebas dan jujur. Modal kita adalah pengalaman di tengah orang banyak yang tak perlu dinilai-nilai atau dibunga-bungain.” Di majalah Aktuil Nomor 212 Tahun 1977, ia menulis bahwa selera perupa tua harus ditinggalkan, “Kita katakan seni bukan monopoli perasaan romantis, manis, indah, cengeng.” Akan halnya di Aktuil Nomor 194 Tahun 1976, seolah-olah memprovokasi anak muda untuk liar berkarya, Sanento mengutip kalimat Albert Camus, “Je me révolte, donc nous sommes. Aku melawan, aku menolak, maka kita ada.”
Harirs Purnama di 'Roemah 9A', Cimanggis, Depok, Mei 2014. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
“Pengantar Sanento itu singkat, tapi kami belajar banyak darinya. Kami mencoba mengira-ngira apa maksud Sanento, gambar-gambar bagaimana yang diinginkan,” ucap Harris Purnomo. Harris mengatakan, bila di banyak edisi Aktuil karyanya atau karya teman-temannya tak masuk, mereka selalu mencoba memahami apa yang dikatakan Sanento Yuliman. “Tulisan Sanento menjadi semacam patokan atau rujukan,” tuturnya. Pada 1975, Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) muncul dan menjadi liputan besar media. “Jujur, waktu itu saya belum mengenal pemikiran-pemikiran Gerakan Seni Rupa Baru. Kami masih polos saat itu. Jadi kami lebih dulu belajar dari Sanento di Aktuil dibanding GSRB,” kata Harris.
Jim Supangkat ingat, saat ia bertugas menggantikan Sanento, memang sebagian besar gambar yang masuk dari pelajar SSRI, Yogyakarta. “Sejauh saya ingat, tiap minggu itu masuk puluhan gambar. Saya mencoba mengangkat gambar. Sebab, pada perkembangan seni rupa, gambar bukan media yang dihargai,” ucapnya. Jim melihat mereka yang mengisi Aktuil merepresentasikan cita rasa kaum muda saat itu. “Saya melihat di era itu terjadi perubahan dunia visual di Indonesia. Pada zaman Sukarno, dunia visual dipaksa menjadi sosialistis, tampil butek, gelap, tegang, dan sangat serius. Di awal Orde Baru, produk-produk global menampilkan visual yang kaya warna, ingar-bingar, dan konsumtif. Majalah Aktuil bisa dilihat sebagai penanda perubahan ini juga,” ujar Jim kepada Tempo.
Jim Supangkat di Jakarta, September 2003. Dok. TEMPO/Taufik Subarkah
Jim mengamati, pada awal 1970, ada beberapa seniman muda di Yogya yang punya kebiasaan mengoleksi kliping berbagai majalah karena kaget dan terguncang melihat keindahan iklan-iklannya. “Iklan-iklan demikian sampai akhir 1960 an tidak pernah ada,” kata Jim. Gejala baru ini melahirkan kecenderungan beberapa seniman membuat lukisan kolase realistik di kanvas, yang kemudian dikenal sebagai lukisan “Citra Realistik Yogya”. Senimannya antara lain Suatmadji, Ivan Sagita, dan Dede Eri Supria.
“Pengisi Galeri Aktuil adalah generasi kedua (lebih muda) seniman pengoleksi kliping gambar iklan majalah. Ketika Galeri Aktuil dibuka, mereka mengirimkan olahan koleksi kliping gambar, foto, ilustrasi mereka. Dalam mengolah kliping ini, mereka menggunakan drawing, bukan lukisan,” tutur Jim. Amatan Jim mengenai kliping diakui oleh Harris Purnomo. “Jadi kami sering ke Perpustakaan Karta Pustaka (yayasan kebudayaan yang bekerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda). Saat itu Karta Pusaka masih di Jalan Solo. Di Karta Pusaka banyak diloak majalah bekas Belanda. Nah, kami sering beli. Sampai rumah, kami gunting foto-foto di majalah itu, lalu ditempel membentuk komposisi,” kata Harris. Guntingan-guntingan itu dilem di atas kertas tebal seukuran A4. “Suatmadji memang sudah menggunakan kolase-kolase, tapi dia menempelkan di atas kanvas. Kalau kami di atas kertas tebal.”
Sampul majalah Aktuil.
Menurut Harris, gara-gara Sanento Yuliman dan Aktuil, cara pandangnya terhadap seni rupa berubah. “Ternyata seni rupa itu bisa bermain-main. Selama saya sekolah di SSRI empat tahun, selalu ditekankan bahwa mengambil materi visual dari orang lain adalah hal haram. Seni rupa semuanya harus orisinal ciptaan sendiri, makanya yang diajarkan keterampilan teknis. Kami saat itu tidak berani memotong-motong dan menempel-nempel visual apa pun dari majalah atau koran. Namun Aktuil mengubah sikap estetika demikian,” tutur Harris. Dia mengakui bahwa Aktuil sangat mempengaruhi kariernya sebagai perupa. “Berani melakukan kolase atau montase adalah kebebasan berekspresi yang luar biasa sekali,” ujar Harris. Gara-gara Aktuil, acuan seni rupanya bukan lagi hanya Raden Saleh dan sebagainya sebagaimana yang diajarkan di SSRI. “Kami juga belajar dari desain cover kaset musik rock.”
Jim Supangkat melihat saat itu Gendut Riyanto dan Harris Purnomo memang cukup menonjol di Aktuil. Bahkan secara khusus Sanento Yuliman pernah mengulas Gendut. Di Aktuil Nomor 185 Tahun 1976, ia mengawali pengantarnya dengan kalimat begini: “Bung, Mas Gendut (Yogyakarta) paling sering dan paling banyak kirim gambar. Bukan muji, nih. Dia terus kerja banyak, meski tak sedikit yang nggak lolos pertimbangan.” Pada edisi itu, Sanento memuat enam gambar Gendut sekaligus. Dia mengatakan Gendut sebagai anak muda yang cepat menangkap ide dasar pop. Sanento khusus memuji karya Gendut yang berjudul Six Apples Not Wayne. Pelesetan Gendut untuk “wine” menjadi “wayne” disebutnya permainan kata yang asyik. Di penutup tulisannya, Sanento menantang anak muda lain untuk mengikuti kreativitas Gendut. “Nah, sesudah Gendut Riyanto nomor ini, siapa nyusul?”
Ilustrasi Moelyono di Majalah Aktuil No. 180, 1975. Buku Galeri Seni Rupa Pop
Harris Purnomo ingat, Gendut pernah bercerita bahwa honor yang diterimanya dari Aktuil cukup gede. “Gendut pernah membandingkan honor mengirim gambar ke Aktuil dengan honor mengirim puisi ke Koran Bernas. Katanya empat kali lipat lebih besar Aktuil.” Perihal honor Aktuil yang lumayan besar juga diingat oleh Ipik Tanoyo, wartawan Aktuil di Yogyakarta. “Waktu itu saya bisa membayar uang kos dan uang kuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM dari honor bulanan Aktuil,” ucap Ipik. Dia kemudian bersama Remy Sylado dan Daniel Alexey, koresponden Aktuil Semarang, pindah ke majalah Top. “Top rival baru Aktuil. Top itu pintar. Saya dan Daniel diajak ke Jakarta menonton konser Deep Purple tahun 1976 yang digelar Aktuil dan Buena Ventura.” Harris sendiri ingat, dengan honor Aktuil, ia bisa tiga kali menonton di bioskop.
•••
TERNYATA bukan hanya anak muda dari Yogyakarta dan Jakarta yang mengirim gambar ke rubrik asuhan Sanento Yuliman dan Jim Supangkat. Bila kita lihat arsip dalam buku terbitan Gang Kabel, gambar-gambar itu datang dari Magelang dan Solo (Jawa Tengah), Pangkalpinang (Bangka Belitung), Bali, Banten, Medan, dan tentu saja Bandung, sarang Aktuil. Dari Jawa Timur, tercatat pengirim dari Madiun, Malang, dan Surabaya. Hengki Herwanto, koresponden Aktuil di Malang (kini Direktur Museum Musik Malang), misalnya, ternyata pernah mengirim gambar dan dimuat di majalah Aktuil Nomor 176 Tahun 1975. Gambarnya berupa montase foto seorang penyanyi rock di sebuah televisi.
“Itu foto Micky Merkelbach tahun 1974 saat tampil di GOR Tenun, Malang, mendampingi God Bless. Saat itu, tahun 1975, tak ada satu pun konser musik rock yang disiarkan di TVRI. Saya membuat gambar itu karena ingin suatu saat bisa menikmati konser superstar di televisi, yang tahun-tahun tersebut didominasi musik pop,” ujar Hengki. Menurut dia, pembuatan kolase itu sederhana. “Saya menggabungkan dua foto saat mengafdruk atau mencetak sendiri di kamar gelap,” tuturnya. Dari Malang, selain Hengki, tercatat nama Bernardus Subekti S. “Tapi saya tidak kenal dia,” kata Hengki.
Moelyono di Bentara Budaya Jakarta, Januari 2006. Dok. TEMPO/Tommy Satria
Akan halnya dari Surabaya, Amir Kiah yang dikenal sebagai penata artistik dan sutradara teater ternyata pernah mengirim gambar. Karyanya dimuat di majalah Aktuil Nomor 188 Tahun 1976. Gambarnya tampak berasosiasi dengan dunia panggung. Ada stage. Ada potongan tangan dan kaki menari. Ada motif ikan. “Saat itu saya menjadi anggota Bengkel Muda Surabaya (BMS). Ada beberapa teman di BMS yang juga mengirim puisi ke majalah Aktuil, tapi saya tidak ingat dimuat atau tidak,” ujar Amir. Dia mengenang Aktuil adalah majalah anak muda yang sangat populer. “Sudah barang tentu saya ingin karya saya mendapat respons dari sesama kaum muda.” Ihwal konsep gambarnya, Amir mengaku ia cenderung berkarya dari apa yang terlintas di kepala. “Kebetulan di BMS saya aktif sebagai penata artistik. Saya terlibat bekerja tidak sebatas dengan perupa, tapi juga dengan koreografer,” ucapnya.
Ilustrasi Priyanto Sunarto di Majalah Aktuil No. 227, 1977. Buku Galeri Seni Rupa Pop
Dua pegrafis terkenal yang pernah bekerja sebagai kartunis di majalah Tempo, (almarhum) Priyanto Sunarto dan T. Sutanto, juga mengisi Galeri Pop Aktuil. “Waktu itu Priyanto belum mengisi Tempo, sementara T. Sutanto sudah bekerja di Jakarta Post. Tapi keduanya sudah menjadi seniman grafis hebat,” kata Jim Supangkat, yang pada 1980-an menjadi wartawan majalah Tempo. Gambar Sutanto dimuat di majalah Aktuil Nomor 178 Tahun 1975. Karyanya berupa olahan gambar korek api jadul merek Tjap Kaki Tiga produk Pabrik Kudus dan olahan gambar gigi palsu yang sering terdapat di etalase tukang gigi. Gambar gigi palsu itu ditempelkannya pada sesosok gambar wajah perempuan. Sanento Yuliman memuji kedua karya Sutanto tersebut. Ia menyebutkan Sutanto mampu mengangkat barang kodian remeh sehari-hari menjadi karya imajinatif. Kedua karya Sutanto itu dibuat dengan teknik cetak saring. “Macam-macam teknik boleh nyusul: potret-memotret, cetak-mencetak, gunting-menggunting, rekat-merekat, apa saja. Kenapa tidak?” tulis Sanento.
Sanento Yuliman di kantor Tempo di Kuningan, Jakarta, 1992. Dok. TEMPO/Anizar M Yasmine
Sementara itu, di majalah Aktuil Nomor 277 Tahun 1977, karya Priyanto Sunarto disajikan. Adalah menarik membandingkan sosok-sosok figur kartun karya Priyanto yang ada di Aktuil dengan kartun yang dibuatnya di Tempo. Gambar sosok pejabat, politikus, koruptor, dan rakyat biasa dengan deformasi tertentu yang khas Priyanto di majalah Tempo bila kita perhatikan awalnya dari Aktuil. Kartun Priyanto di majalah Tempo sendiri diterbitkan secara lengkap oleh majalah Tempo berjudul Opini Pris Kartun Opini Priyanto S Di Majalah Tempo 1977-1994. Tempo dibredel pada 1994. Setelah Tempo lahir lagi pada 6 Oktober 1998, Priyanto kembali menjadi kartunis editorial majalah Tempo. Tiap Rabu, ia terlihat selalu datang dari Bandung untuk mengikuti rapat opini. Rapat opini di Tempo dihadiri dari pemimpin redaksi sampai para redaktur pelaksana. Mereka mendiskusikan sikap Tempo terhadap suatu masalah bersama pengamat dari luar, seperti (almarhum) Rahman Tolleng. Priyanto selalu hadir karena, untuk membuat kartun, ia butuh isu terbaru yang diangkat Tempo.
Ilustrasi T. Sutanto di Majalah Aktuil No. 178, 1975. Buku Galeri Seni Rupa Pop
“Sebagian pengisi Galeri Pop Aktuil akhirnya ikut pameran Gerakan Seni Rupa Baru tahun 1979 (berlangsung pada 9-20 Oktober) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta,” ucap Jim Supangkat. Pada 1987, di Taman Ismail Marzuki juga digelar pameran bertajuk “Proyek Pasar Raya Dunia”. Dalam pameran yang berlangsung pada 15-30 Juni tersebut, para eksponen Aktuil, yakni Jim Supangkat, Sanento Yuliman, Harris Purnomo, Gendut Riyanto, dan Priyanto Sunarto, terlibat. Karena itu, buku arsip Galeri Aktuil menjadi dokumentasi yang menarik bagi sejarah seni rupa kontemporer kita. Adalah hal yang luar biasa sebuah majalah anak muda bisa turut ambil bagian dalam gerakan pembaruan seni rupa.
Banyak yang mengisi Galeri Pop Aktuil kini sudah wafat. Banyak juga yang tak bisa dilacak keberadaannya. Nama-nama pengisi rubrik seperti Bambang Anggoro (Magelang), Mamambul Wenan (Magelang), Boedi Hans (Madiun), Buddy Laxsana (Cepu), Eddie Selaloe (Surabaya), Ron Haharhara (Medan), dan lain-lain tak diketahui di mana sekarang. Mungkin, bila masih hidup, mereka bisa membeli buku dengan ukuran 170 x 252 milimeter yang dibanderol Rp 200 ribu ini untuk sekadar bernostalgia (bukan promosi, lho).
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo