Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Anugerah Sastera Rancage kembali digelar untuk ke-34 kalinya.
Wujud apresiasi terhadap karya-karya sastra terbaik berbahasa daerah.
Upaya ikut memajukan kebudayaan daerah.
DI sebuah desa di Madura, Jawa Timur, Surahmo adalah seorang penggemar berat seni ngejung. Koleksi rekaman lagunya banyak, dan dia suka hadir di tempat hajatan untuk menikmati langsung tembangnya di panggung. Ketika tetangga sebelah rumahnya ingin mendatangkan ngejung, Surahmo bersemangat membantu. Tapi pada hari acara yang dinanti, dia tak berdaya karena giginya tiba-tiba sakit. Surahmo pun menikmati ngejung di kamarnya sambil menahan cenat-cenut di mulut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah tentang Surahmo penggemar ngejung itu tertuang dalam cerita pendek berjudul “Ngejung” karangan Mat Toyu. “Ngejung itu seperti nyanyian sinden khas Madura yang dibawakan oleh lelaki atau perempuan,” kata Mat Toyu, Rabu, 2 Februari lalu. Mat Toyu kemudian memakai ngejung sebagai judul buku kumpulan cerpen terbarunya yang berbahasa Madura.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam Anugerah Sastera Rancage 2022, juri menobatkan buku kumpulan cerpen Ngejung (Sulur Pustaka, 2021) sebagai pemenang kategori Sastera Madura. Ngejung—berisi tujuh cerpen—bersaing dengan dua buku sastra berbahasa Madura lain: novel Salbut karangan N. Shalihin Dhamiri dan kumpulan puisi Serrat Artate karya Khalil Satta Elman. Dalam catatan juri D. Zawawi Imron, Ngejung lebih unggul dari sisi tema, pengolahan cerita, dan bahasa sastranya kental dengan kemaduraan. Eksplorasi ceritanya juga dinilai kompleks dan mampu mengemas tema sederhana menjadi cerita yang unik dan menarik.
Mat Toyu sebelumnya pernah menyabet Anugerah Sastera Rancage 2020 lewat antologi cerpennya, Kerrong ka Omba’ (Rindu Ombak). Saat itu ia menjadi pelopor juara Sastera Madura Rancage, karena kategorinya baru mulai dilombakan. Sejak itu, ia rutin mengirimkan karyanya ke Rancage setiap tahun. “Sekarang lagi riset kecil-kecilan untuk bikin novel,” tutur penulis kelahiran Desa Longos, Sumenep, Madura, 25 Juli 1990, yang bernama asli Moh. Toyu ini.
Menurut Mat Toyu, dia aktif menulis sejak 2010. Kegiatan menulisnya dia lakukan di sela-sela pekerjaan memecah batu di rumahnya hingga menjadi kerikil untuk bahan bangunan. “Rata-rata sebulan menulis tiga cerpen,” tutur lulusan Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Raudlatul Iman, Sumenep, pada 2021, yang kini juga mengajar di almamaternya pada program studi Pengembangan Masyarakat Islam itu.
•••
YAYASAN Kebudayaan Rancage di Bandung menggelar acara pemberian Anugerah Sastera Rancage 2022 secara daring pada 31 Januari lalu. Acara tahunan yang berlangsung sejak 1989 itu digagas oleh budayawan Ajip Rosidi (almarhum). Menurut Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage Titi Surti Nastiti, pihaknya akan terus melanjutkan upaya Ajip untuk memajukan kebudayaan daerah dan Nusantara. “Sepanjang masih ada buku sastra daerah yang terbit, kami akan terus menyelenggarakan hadiah ini,” ujar Titi, yang juga putri Ajip Rosidi, ketika membuka acara.
Pemenang Hadiah Sastera Rancage 2022 untuk Sastra Madura, Mat Toyu dengan judul buku Ngejung. Dok. Pribadi
Kali ini panitia menghimpun 26 judul buku sastra berbahasa Sunda, Jawa (22), Bali (12), Batak (6), Banjar-Kalimantan (5), dan Madura (3). Menurut Titi, panitia memerlukan minimal tiga judul buku sastra dari penulis yang berbeda untuk dinilai juri. “Dari tahun ke tahun selalu ada pasang-surut,” kata Titi. Sebagai perbandingan, karya sastra daerah pada penjurian Rancage 2021 berjumlah 23 buku sastra Sunda, Jawa (32), Bali (10), Lampung (3), dan Madura (5). Saat itu panitia juga menerima kiriman buku sastra berbahasa Banjar, Minangkabau, dan Aceh, tapi masing-masing hanya satu judul.
Rancage, yang berarti kreatif dalam bahasa Sunda, menilai karya-karya sastra berbahasa daerah terbaru. Setiap peserta harus membuat karyanya dalam bentuk buku cetak. Hasil terbitannya dalam kurun setahun itu yang dinilai dan diumumkan tiap akhir Januari pada tahun berikutnya. Buku merupakan karya tunggal penulis berbentuk prosa atau puisi.
Dari hanya menilai sastra Sunda sejak 1989, Rancage mulai terbuka untuk menilai sastra Jawa pada 1994, kemudian sastra Bali per 1998. Menyusul sastra Lampung sejak 2008, sastra Batak mulai masuk pada 2015, sastra Banjar pada 2017, dan sastra Madura pada 2020. “Yayasan Kebudayaan Rancage mempercayakan semua penilaian buku ke para juri,” kata Titi. Selain itu, sejak 1993 ada pemberian Hadiah Samsudi untuk sastra anak. Tapi kali ini hadiah itu tidak ada karena buku yang masuk jumlahnya tidak memenuhi syarat. Lalu, mulai 2008, Rancage memberikan Hadiah Hardjapamekas yang khusus bagi kalangan guru bahasa Sunda di wilayah Jawa Barat dan Banten.
•••
UNTUK kategori Sastera Sunda, dari 26 buku terbitan 2021, duet juri Tedi Muhtadin dan Hawe Setiawan memilih empat judul yang menjadi nomine. Yakni, Dongeng Kampung Sarah (kumpulan cerpen karya Toni Lesmana), Lagu Cinta Jeung Sajabana (kumpulan cerpen Nunu Nazarudin Azhar), Jalan Hirup (buku puisi Eris Risnandar), dan Basa ka Olivia (kumpulan puisi Surachman R.M.). Berdasarkan hasil pertimbangan juri, pemenang Hadiah Rancage 2022 untuk sastra Sunda adalah Basa ka Olivia.
Kumpulan puisi Basa ka Olivia mengisahkan perjalanan penulisnya di mancanegara. Menurut juri Tedi Muhtadin, berbeda dengan buku puisi Surachman sebelumnya, Di Taman Larangan (Di Taman Rahasia), kali ini temanya berfokus pada catatan perjalanan ke berbagai kota dan negara, seperti Singapura, Amerika Serikat, Eropa Barat, negara-negara Skandinavia, dan Jepang. “Catatan perjalanannya bernuansa kesundaan,” tutur Tedi.
Juri menilai konsekuensi dari puisi seperti itu, tutur Tedi, adalah banyak kosakata dengan pengalaman baru yang memperkaya puisi Surachman dan puisi Sunda. “Puisi Sunda bisa fasih menggambarkan manusia, suasana, dan alam lingkungan di luar negeri,” ujarnya.
Basa ka Olivia secra total berisi 58 sajak yang terbagi dalam tiga bagian kumpulan, yaitu Asa Can Lila (Rasanya Belum Lama), Satukangeun Matapoe (Di Balik Matahari), dan Di Nagri Hirota Koki (Di Negeri Hirota Koki).
Pemenang Hadiah Sastera Rancage 2022 untuk sastra Sunda buku berjudul Basa ka Olivia karangan Surachman R.M. Dok. Pribadi
Menurut Surachman, perjalanan keliling berbagai negara yang menjadi inspirasi sajaknya itu dimulai pada 2002 ketika bertugas di Komisi Ombudsman Nasional. Proses penulisan sajaknya, kata dia, ada yang sebentar hingga mengendap lama berbulan-bulan.
Lelaki kelahiran Garut, 13 September 1936, bernama asli Raden Maman Surachman itu merintis kariernya sebagai jaksa penuntut umum di beberapa kota di Jawa Barat pada kurun 1958-1971. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Padjadjaran serta beberapa program hukum di mancanegara itu kemudian bekerja di Kejaksaan Agung. Pada 2000 dia dilantiksebagai anggota Komisi Ombudsman Nasional.
Surachman menuturkan kesukaannya menulis tumbuh sejak kelas II sekolah menengah atas. Ia kemudian mengkhususkan diri menulis puisi berbahasa Indonesia dan Sunda. Di kalangan penyair Sunda, Surachman tergolong angkatan 1960-an. Buku puisi berbahasa Sunda karyanya antara lain Surat Kayas (1967), Basisir Langit (1976), dan Di Taman Larangan (2012) yang menjadi nomine Hadiah Rancagé 2013. Adapun dua buku puisinya yang berbahasa Indonesia adalah Di Balik Matahari (1974) dan Seribu Kekupu (2012).
Sejumlah karya puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan Rumania. Karya puisi lainnya tersebar di berbagai antologi bersama penyair lain, seperti Linus Suryadi AG, Oyon Sofyan, dan Ajip Rosidi. Aktivitas menulis sajak Surachman kini masih berlanjut sambil mengumpulkan karya-karya berbahasa Indonesia yang berceceran. Dia berencana membukukannya sebanyak dua judul.
Akan halnya kategori Sastera Jawa, juri Sri Widati Pradopo dan Dhanu Priyo Prabowo memenangkan Mecaki Wektu karya Sriyanti S. Sastroprayitno. Buku setebal 294 halaman terbitan Cipta Prima Nusantara itu berisi 231 geguritan atau puisi berbahasa Jawa. Mecaki Wektu didominasi tema yang berkaitan dengan pengalaman hidup perempuan Jawa dan kaya akan imajinasi yang terkait dengan alam, seperti galaksi, pelangi, awan, matahari, dan bulan. Imajinasi itu dinilai menguatkan ihwal cinta, sehingga menjadi bermakna dan indah seperti pada gurit “Tembang Kapang” dan “Kangenku ing Sore iki”. Selain itu, Sriyanti menulis tema ketimpangan sosial yang dialami perempuan, seperti pada gurit berjudul “Buruh Wanodya”.
Buku Mecaki Wektu berawal dari pengumpulan puisi yang tersebar di status Facebook Sriyanti pada tahun lalu. Sriyanti mengunggahnya sejak 2014 hingga 2020. Sebagian telah dipakainya untuk mengisi buku antologi bersama penulis lain. Selebihnya yang berjumlah 231 judul kemudian dibukukan sebanyak 50 eksemplar.
Mecaki Wektu karya Sriyanti S. Sastroprayitno.
Atas permintaan penerbit, Mecaki Wektu yang terbit pada Maret 2021 itu dikirim juga ke Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah yang menggelar acara penghargaan Prasidatama pada Oktober 2021. “Enggak yakin juga karena saya pikir cuma gurit status di Facebook,” ucap Sriyanti. Ternyata, Mecaki Wektu dinobatkan sebagai pemenang Prasidatama kategori Antologi Puisi Berbahasa Jawa.
Lalu, Sriyanti juga mengirimkan bukunya ke panitia Anugerah Sastera Rancage di Bandung. Paling tidak, bukunya itu akan menambah koleksi Yayasan Kebudayaan Rancage. “Rancage itu surprise banget karena sebelumnya nggak diumumkan nomine, jadi langsung pemenangnya,” tutur Sriyanti, Rabu, 2 Februari lalu.
Kesukaan Sriyanti pada sastra berbahasa Jawa dimulai ketika kelas I sekolah dasar pada 1975. Saat itu, perempuan kelahiran Sragen, 5 Februari 1969, ini telah membaca majalah berbahasa Jawa Panjebar Semangat langganan bapaknya. Majalah itu juga yang memuat kiriman tulisan pertamanya berupa esai tentang Hari Kartini pada 2005. Artikel demi artikel seterusnya mengalir, juga cerita pendek, gurit, ke berbagai media massa. Pada 2020 Sriyanti menjadi juara kedua Sayembara Nulis Geguritan oleh Yayasan Podang.
Dosen di Departemen Kimia Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, Semarang, itu belajar menulis puisi dan gurit sekitar 2013. Tema guritnya seputar keseharian atau suasana hati yang diketik spontan di telepon seluler saat sedang santai. Hasilnya ia unggah di status Facebook sekaligus menjadi semacam catatan harian. Karena itu, judul bukunya Mecaki Wektu yang diartikannya sebagai berjalan pelan-pelan melewati waktu.
•••
DARI Bali, ada selusin buku sastra terbitan 2021 yang dinilai juri I Nyoman Darma Putra. Jenis bukunya berimbang antara kumpulan puisi dan cerita pendek. Dari sembilan nomine, Nyoman memenangkan kumpulan cerpen Punyan Kayu ane Masaput Poleng di Tegal Pekak Dompu karya IGB Weda Sanjaya.
Menurut Nyoman, kisah-kisah dalam himpunan 12 cerpen itu setidaknya memiliki lima kekuatan. Di antaranya tema yang kental bernuansa Bali, banyak kejutan di alur cerita, serta kalimat-kalimat pendeknya mengeksplorasi rasa, suasana, dan latar yang mendukung jalan cerita. “Dengan gaya bahasa demikian, pengarang bisa menyajikan cerita realistis dan juga cerita yang absurd,” ujar Nyoman lewat keterangan tertulis.
Adapun untuk kategori Sastera Batak, Rancage menyertakan dua buku kiriman 2020 dan empat buku terbitan 2021 untuk dinilai juri. Pemenangnya adalah buku Boru Sasada; Novel Hata Batak karya Ranto Napitupulu. Juri Rita Sihite mencatat beberapa kelebihannya, antara lain tema cerita yang kental budaya Batak dan berhasil dieksplorasi dengan baik. “Sehingga novel ini mencerahkan wawasan,” katanya. “Unsur lain, penulisan novelnya dinilai sangat baik dengan pengolahan bahasa yang mendalam.”
Cerita novel itu menggambarkan perlawanan budaya yang sengit dari seorang putri tunggal. Di dalam masyarakat Batak yang patriarkis, peran seorang putri tunggal sangat lemah. “Dianggap tanpa penopang sehingga sering direndahkan,” ujar Rita.
Sedangkan untuk kategori Sastera Banjar, juri Hairus Salim memutuskan Naga Runting: Talu Buting Novelet Banjar karya Jamal T. Suryanata sebagai pemenang. Hairus menilai gaya menulis Jamal relatif baru untuk ukuran sastra Banjar. Jamal juga terlihat banyak memakai istilah Banjar yang sudah jarang atau menghilang. “Kebaruan lain yang ditempuh adalah bentuk novelet alias novel mini,” tutur Hairus dalam catatannya.
Sekitar dua dekade belakangan ini, menurut Hairus, beberapa penulis Banjar mencurahkan perhatian pada penulisan sastra modern dalam bahasa ibu. Perkembangan itu didukung oleh media-media setempat yang mau memberi ruang untuk penulisan sastra Banjar terutama cerita pendek. Sejauh ini karya sastra berbahasa Banjar dalam bentuk buku masih sedikit. Namun setiap tahun ada buku yang terbit, selalu ada penulis baru yang muncul, dan pemerintah menggelar lomba penulisan karya sastra berbahasa Banjar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo