Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

‘Kaligrafi Ringsek’ dan Puisi Berang

Galeri Pop Art majalah Aktuil juga menyajikan sajak. Dinamai oleh Sanento Yuliman sebagai “sajak-sajak awam”.

5 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Galeri Pop Art di majalah musik Aktuil juga menyajikan sajak.

  • Meneruskan tradisi Puisi Mbeling majalah Aktuil zaman Remy Sylado.

  • Bermunculan sajak-sajak rupa bebas.

“KALIGRAFI ringsek”. Di Galeri Pop Art majalah Aktuil edisi Nomor 199 Tahun 1976, Jim Supangkat mengajak para penyair “mengaktuilkan” apa yang disebutnya sebagai “kaligrafi ringsek”. Kaligrafi ini, menurut dia, berbeda dengan puisi konkret atau sekadar permainan tipografi yang menjurus ke seni menulis indah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jim menyatakan sajak anak muda zaman sekarang tidak lagi mengindah-indahkan kalimat—kata-katanya sederhana, gamblang, dan mudah dimengerti. Jauh dari arti simbolis yang mengawang-awang. Karena itu, menurut Jim, tidaklah cocok apabila kata-kata dalam sajak-sajak anak muda saat itu dibuat menjadi model “sajak-sajak rupa” yang bentuknya indah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di majalah Aktuil Nomor 206 Tahun 1977, Jim memuat sembilan sajak seorang penyair bernama Pipit Senja. Jim menyebut edisi itu sebagai edisi pameran tunggal Pipit Senja. Disebut pameran tunggal karena semua sajak itu dibuat sebagai sebuah permainan tipografi kata-kata yang tak beraturan. Rentetan kalimat berhuruf besar diacak “ngawur” bersama kata berhuruf kecil, model tulisan tangan dicampur “asal-asalan” dengan model tulisan cetak, huruf tebal (bold) diblender dengan gaya tulisan halus, dan sebagainya. Sebuah sajak Pipit, misalnya, divisualkan seperti muncrat, berlompatan dari kertas yang menempel di sisi muka sebuah botol mirip botol obat. Larik-larik seperti “sementara aku berdiri, ketika dalam remang bayangku ada dua” ditulis seolah-olah melesat keluar dari cap botol obat dan terbang ditiup angin sehingga berantakan suku katanya.

Pipit Senja adalah nama samaran Etty Hadiwati Arief. Ia dikenal sebagai penyair, penulis cerita pendek, novelis, dan penulis cerita anak. Etty lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 16 Mei 1957. Dalam situs web Pipit Senja Publishing House diinformasikan bahwa Pipit sampai sekarang telah membukukan 105 judul novel, antara lain Jejak Cinta Sevilla, Dalam Semesta Cinta, Jurang Keadilan, Cinta Dalam Sujudku, Catatan Cinta Ibu dan Anak, Tuhan Jangan Tinggalkan Aku, Kepada YTH Presiden RI, Orang Bilang Aku Teroris, dan Menoreh Janji di Tanah Suci. Namun karya-karyanya terlihat konvensional, tidak eksperimental seperti di majalah Aktuil.

Sebelum edisi Pipit Senja itu, di majalah Aktuil Nomor 204 Tahun 1976, Jim bereksperimen dengan lirik lagu. Lirik lagu “Tuhan” dan “Di Puncak Bukit” gubahan Sam Bimbo, “Damai” dan “Renjana” karya Guruh Sukarno Putra, serta “Putri Mohon Diri” ciptaan Adjie Bandi disajikan sebagai sajak rupa dengan font tak beraturan meliuk-liuk. “Pada edisi-edisi terakhir Galeri Aktuil, saya mencoba menerapkan kaligrafi bebas ekspresif ini terhadap puisi yang terpilih untuk dimuat,” tuturnya. Jim saat itu terinspirasi eksperimen tipografi yang dilakukan Priyanto Sunarto terhadap sajak-sajak Sutardji Calzoum Bachri. Pada 1973, untuk karya tugas akhir sarjananya, Priyanto bereksperimen secara desain atas sajak-sajak Sutardji, seperti “Obladi-Oblada”, “Malam Pengantin”, “Pot”, “Q”, dan “Solitude”. Ia menerbitkan kumpulan buku Sajak O Sutardji dalam sebuah buku yang dicetak terbatas. “Sajak-sajak Sutardji itu didesain tipografinya sangat bebas, ekspresif,” kata Jim.

Puisi Pipiet Senja yang dimuat di Aktuil No. 206, 1977. Buku Galeri Seni Rupa Pop

Pada saat rubrik diasuh oleh Sanento Yuliman, sajak yang dimuat rata-rata masih seperti sajak di rubrik Puisi Mbeling. Sanento menyebut sajak-sajak itu sebagai sajak yang lugu secara bahasa, sajak-sajak yang mudah dimengerti orang awam. Di Aktuil Nomor 179 Tahun 1975, Sanento menulis sindiran terhadap para sastrawan dan kritikus sastra mapan. “Ada ahli sastra yang sebentar-bentar berfatwa: puisi itu mesti nyentuh, mendalam, nukik, nungging, bikin haru biru. Jia-ilah. Kayak manusia nggak pernah ketawa saja. Ngetawai pengalaman, ngetawai diri sendiri, melihat yang pahit getir bukan sebagai sengsara melainkan sebagai kekonyolan yang bikin geli, nah itu baru satu kebolehan namanya.” Di Aktuil Nomor 193 Tahun 1976, Sanento menyebutkan sajak-sajak yang dimuatnya adalah sajak berang dari yang sarkas, yang getir, yang masam, sampai yang pahit.

Sebuah puisi yang dimuat Sanento di majalah Aktuil Nomor 185 Tahun 1976 misalnya begini:

Do’a Natal

Jesus,
Malam ini aku datang di gereja tua ini
Yang oleh Indarti
Natal 73 altarnya dikatakan penuh kecoak
Aku mau dengarkan khotbah pastur
Yang seperti biasa selalu diembel-embeli do’a untuk damai

Jesus,
Aku mau minta ma’af padamu
Karna aku pernah memakimu
Pada Natal tahun lalu
Karna do’aku untuk beli baju baru
Tak kau kabulkan

Sanento juga pernah memuat sajak Herry Dim, kini budayawan Bandung, di majalah Aktuil Nomor 187 Tahun 1976 berjudul “Aku Duka”. Sanento menyebut sajak Herry langsung lurus—tak ubahnya catatan peristiwa.

Begini bunyi sajak itu:

Kududuk di KM 0

Kulihat satu persatu

FLAT
MAZDA
VESPA
YAMAHA
TOYOTA
CIVIC
DODGE
MERSI
COROLLA dan CORONAnya

Hooo….masih buanyaaak

Kubalik badan’kulihat…..
perempuan kumal
dua anak kumal
tempurung kumal
kuraba mataku

Basah
????????????????????????

AKU DUKA!

Saat sajak “Aku Duka”—yang klipingnya dimuat di buku terbitan Gang Kabel—difoto dan dikirim oleh Tempo melalui aplikasi WhatsApp ke nomor Herry Dim, dia tak menyangka bisa melihat lagi puisinya tersebut. “Wah, kaget sendiri berjumpa dengan sajak saya ini. Sajak itu saya buat zaman baru lulus SMA,” katanya. Herry mengatakan ia berkali-kali mengirim sajak sejak zaman Remy Sylado sampai zaman “puisi awam” Sanento Yuliman. “Banyak puisi saya kirim, tapi hanya satu itu yang dimuat. Saya sempat kesal dan putus asa, tapi kemudian saya paham bahwa puisi-puisi Aktuil yang penuh gairah main-main dan pada dasarnya menjadi counter culture bagi sastra ‘langitan’ ternyata tak main-main. Begitu ketat seleksi pemuatannya.”

Memang tidak terasa perbedaan antara “sajak awam” di zaman Galeri Pop diasuh Sanento Yuliman pada 1975-1977 dan Puisi Mbeling yang diasuh Remy Sylado pada 1972-1973. Bandingkan, misalnya, sebuah sajak Yudhistira A.N.M. Massardi berjudul “Tak Lari” yang dimuat di zaman Remy dengan kedua sajak di atas.

Tak Lari 

Ketika radio dimatikan
datanglah sepi yang terkenal itu

Sewaktu kopi dihabiskan
matilah lampu. Dan gelap yang terkenal itu datang juga

Padahal, kalau sepi janda-janda pada lari
kalau gelap, perawan-perawan juga lari, ke rumah kekasihnya

Akibatnya banyak orang bunting
lari tak bisa, tak lari tak bisa.

“Kiriman puisi yang masuk memang umumnya tidak seradikal kiriman gambar. Saya mencoba memilih puisi yang menampilkan keseharian, puisi yang tidak punya pretensi, dan puisi yang mengangkat bahasa pop,” tutur Jim Supangkat. Beberapa penyair dan seniman yang puisinya sempat mejeng pada 1975-1977 adalah Rusli Marzuki Saria, (almarhum) Boedi Ismanto S.A., Toto Prawoto, Sutirman Eka Ardhana, dan (almarhum) Tino Saroengallo. Tapi memang, pada saat periode Jim, tampilnya sajak rupa yang “berantakan hurufnya”—yang inspirasinya didapat dari kenakalan tipografi desain Priyanto Sunarto terhadap sajak Sutardji Calzoum Bachri—menjadi ciri.

Misalnya sebuah sajak lain milik Pipit Senja yang dimuat Jim. Ada gambar sebuah tali tampar dengan simpul di tengah dan di sekelilingnya bertaburan semburat kata-kata Pipit dengan huruf besar dan huruf kecil kacau. Kita tentu tak bisa dengan jelas membaca kalimat-kalimatnya. Puisi begini memang tak perlu dibaca. Tapi, konon, kekacauan tipografinya yang ekspresif itu yang perlu dinikmati.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus