Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kontroversi-Kontroversi Cannes

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cannes adalah Cannes. Festival film ini selalu penuh kejutan. Juga demikian dengan Festival Film Cannes tahun ini, yang berlangsung pada 11-22 Mei lalu. Penuh sensasi dan polemik. Ada sutradara terkenal diusir karena menyatakan pengagum Hitler. Ada sutradara yang misterius, menghilang tatkala dirinya dipanggil untuk menerima anugerah film terbaik, ada film yang temponya sangat lambat tapi dipilih sebagai pemenang dalam kategori tertentu.

Cannes juga mengukuhkan diri sebagai festival yang jeli membaca perkembangan terbaru sinema suatu negara. Kali ini Cannes mengundang khusus sineas Mesir dan Tunisia, yang negerinya baru saja sukses menggulingkan diktator. Ikutilah liputan dan wawancara kontributor Tempo di Eropa, Ging Ginanjar, seputar isu hangat di Festival Cannes ke-64 ini.

Bintang dunia bertaburan pada malam penutupan Festival Cannes lalu. Dari supermodel Naomi Campbell hingga pasangan paling ”gawat” sejagat Angelina Jolie dan Brad Pitt. Tapi bintang sesungguhnya Festival Film Cannes 2011 justru tiga sutradara yang tak kelihatan di karpet merah sepanjang gerbang masuk Teater Lumiere. Mereka adalah sutradara Amerika Terrence Malick, sutradara Iran Jafar Panahi, dan sutradara Denmark Lars von Trier.

Film Terrence Malick Tree of Life meraih Palm De’Or. Namun pada momen puncak itu ia justru menghilang tak mau tampil menerima Palem Emas. Di manakah sutradara besar Amerika ini saat malam penutupan? Tak jelas apakah ia hadir diam-diam di satu sudut Teater Lumiere, berbaur bersama 2.600 orang lain. Yang pasti, saat malam gala pemutaran Tree of Life, Terrence Malick terlihat menyelinap masuk gedung Lumiere. Namun di malam penganugerahan hadiah itu bersembunyi di manakah dia?

Jafar Panahi juga tak terlihat di karpet merah. Namun publik film tahu, sepanjang festival ia tak bisa menghadiri pemutaran film terbarunya, In Film Nist (Ini Bukan Film), karena di Iran ia dicekal. Ia oleh pemerintah Ahmadinejad dianggap makar karena bersimpati pada tokoh oposisi Hussein Mussavi. Untuk Panahi, ini absen kedua kalinya. Tahun lalu ia ditunjuk menjadi juri, tapi juga dilarang terbang oleh pemerintah Iran. Panitia Cannes lalu mengosongkan kursinya. Akan halnya kita tak melihat batang hidung Lars von Trier di karpet merah karena ia diusir dari Cannes gara-gara ucapannya saat jumpa pers, yang menyatakan simpati kepada Hitler dan Nazi.

Itulah sisi yang menarik dari Cannes. Cannes selalu diiringi bermacam sensasi dan kontroversi. Cannes adalah sebuah festival yang sulit ditebak. Film Terrence Malick, misalnya, di kalangan kritikus bukanlah yang paling dijagokan. Bahkan, saat pemutaran yang diperuntukkan khusus bagi pers, Tempo menyaksikan selain tepuk tangan riuh, seruan cemooh nyaring.

Untuk sebagian kalangan, Tree of Life tampak sebagai proyek sinematografis ambisius yang tidak tuntas dan terlalu berbau Kristen. Bagi kalangan lain, ini sebuah karya besar yang berhasil memadukan persoalan sebuah keluarga dengan pertanyaan besar kosmologis.

Film lebih dari dua jam ini bercerita tentang kematian seorang anak keluarga O’Brien. Namun seterusnya Tree of Life bergerak menjadi suatu film bertendensi tentang asal mula alam semesta dan makna hidup manusia yang menghuninya. Irama film ini lambat, dialog-dialognya lirih namun diiringi musik ”megah” dari sejumlah raksasa klasik seperti Gustav Mahler, Johann Sebastian Bach, dan Johannes Brahms.

Meskipun banyak yang mengkritik, ketua juri Robert De Niro, dalam jumpa pers, menyebut para juri bersuara bulat memilih Tree of Life. Anggota juri dari Swedia, kritikus sastra yang juga anak sutradara besar Ingmar Bergman, Linn Ullmann, menyebut diskusi juri berlangsung hidup karena Robert De Niro seorang yang demokratis. De Niro tidak mendesakkan pandangan atau pahamnya kepada anggota juri lain.

Film peraih kategori Un Certain Regard, Arirang, karya sutradara Korea Selatan, Kim Ki-duk, juga meletupkan sedikit polemik. Film ini menceritakan Kim Ki-duk sendiri, yang memencilkan diri di sebuah desa selama bertahun-tahun, karena terguncang oleh syuting yang hampir menewaskan seorang pemainnya.

Kim Ki-Duk melakukan tanya-jawab terhadap diri sendiri, direkam dengan kamera SLR. Ia menampilkan dirinya dalam tiga sosok: sebagai dia sendiri, sebagai gambar di layar monitor, dan sebagai bayangan. Film ini berjalan sangat lambat, ganjen, banyak membuat kening kita mengernyit. Namun dewan juri yang diketuai Emir Kusturica, sutradara nyentrik dari Serbia, memenangkan film ini.

l l l

Ketidakhadiran Panahi di atas memang menjadi pembicaraan khusus masyarakat film Cannes. Panahi ditangkap pada Maret lalu di Iran dan divonis hukuman 6 tahun penjara. Meski berstatus tahanan luar, ia dilarang 20 tahun menyutradarai, menulis skenario, juga memberikan wawancara dan pergi ke luar negeri. Tapi pertanyaannya bagaimana film terbaru yang digarapnya bersama Mojtaba Mirtahmasb itu bisa lolos.

”Lewat sepotong kue dan apel,” kata Serge Toubiana, Direktur Cinematheque Francaise. Toubiana membuka rahasia kepada sejumlah wartawan. Panahi, menurut dia, menyiapkan film ini dalam bentuk digital pada sebuah stik USB, lalu diselipkan dalam sepotong kue. Seterusnya, kue itu dibawa dalam penerbangan dari Teheran ke Paris, dan akhirnya diputar secara khusus di Cannes.

Lalu apel? Yang dimaksud adalah Apple, raksasa teknologi informasi yang dipimpin Steve Jobs. Beberapa bagian film ini diambil melalui iPhone—terlepas dari kualitas gambar dan suaranya. Hingga di Cannes, Jafar Panahi juga bisa mengikuti perbincangan para jurnalis mengenai filmnya, melalui iPad.

Tatkala seorang wartawan bertanya kepada ko-sutradara, Mojtaba Mirtahmasb, mengenai bagaimana perasaan Panahi di Teheran, seorang anggota rombongan berdiri sambil memperlihatkan iPad: ”Ini Jafar mengikuti sepenuhnya diskusi ini. Jadi dia bersama kita juga.” Hadirin pun tertawa.

Hidup Jafar Panahi memang harus penuh siasat. Panahi menamai filmnya In Film Nist (Ini Bukan Film). Menurut Mirtahmasb, ”Jika pemerintah Iran nanti mempermasalahkan, kami bisa menunjukkan bahwa sejak awal ini bukan film.”

Dalam film itu, secara teknis Panahi memang tak bisa disebut menyutradarai atau menulis skenario, karena film berlangsung secara spontan. Adegan-adegan yang begitu saja, tanpa rekayasa.

Film memperlihatkan Panahi di meja makan, menyalakan speaker iPhone-nya—menelepon anak dan istrinya. Lalu menghubungi Mirtahmasb, memintanya datang untuk merundingkan sejumlah gagasan baru. Sambil menunggu Mirtahmasb, kita melihat kamar kosong dan telepon yang menyala, lalu tersambung ke mesin penjawab. Panahi lalu menelepon pengacaranya. Kita jadi tahu persoalan Panahi, dan sejauh mana proses hukum yang sedang dijalaninya, dari percakapan telepon itu. Cerdas

Pada satu adegan, sempat Panahi memberi aba-aba pada Mirtahmasb yang memegang kamera, untuk menghentikan pengambilan gambar. ”Cut!” Katanya. Mirtahmasb tak mempedulikan, ia terus saja mengambil gambar sembari menukas, ”Hei, kamu tak boleh memerintah saya. Jangan jadi sutradara. Nanti dianggap melanggar larangan menyutradarai.” Panahi tertegun, dan nyengir.

l l l

Sementara kemunculan Terrence Malick diharapkan dalam penerimaan hadiah, dan kedatangan Panahi dirindukan oleh Cannes, sutradara avant-garde Denmark, Lars von Trier, ditendang pulang oleh panitia Cannes karena sebuah skandal. Skandal ini bermula dalam jumpa pers pada 18 Mei. Sutradara Lars von Trier, didampingi para aktrisnya, memperkenalkan karya terbarunya, Melancholia. Di situ ia membuat wartawan tertawa ketika mengatakan proyek berikutnya adalah membuat film cabul yang akan dibintangi Kirsten Dunst dan Charlotte Gainsbourg. Dua aktris yang duduk mengapitnya itu cuma bisa tergelak.

Namun kemudian Von Trier membuat pernyataan aneh, ”... Sekian lama saya menyangka saya seorang Yahudi dan sangat bahagia menjadi seorang Yahudi. Namun muncul Susanne Bier—ini perempuan Yahudi Denmark yang tahun lalu menang Oscar film asing terbaik untuk In a Better World—mendadak saya jadi kurang bahagia menjadi Yahudi....”

Hadirin pun meledak dalam tawa tapi kemudian bingung saat Von Trier meneruskan kalimatnya, ”Belakangan terungkap, saya ternyata seorang Nazi....” Hadirin mencoba meraba-raba arah pembicaraan Von Trier. ”Pokoknya, saya pernah begitu ingin menjadi Yahudi, tapi ternyata terungkap bahwa saya sesungguhnya seorang Nazi.”

Hadirin tertegun. Von Trier melanjutkan ocehannya, ”Keluarga saya ternyata berasal dari Jerman, ha-ha-ha…. Bisa dikatakan bahwa saya bisa memaklumi Hitler.” Hadirin kaget. Kirsten Dunst membuang muka. Von Trier lalu membuat pernyataan yang mengejutkan. Ia mengakui, Hitler memang melakukan sejumlah tindakan yang salah. Tapi, katanya, ia mengerti mengapa Hitler begitu.

Kirsten Dunst berusaha menyadarkannya, dengan berbisik kepada Von Trier. Tapi Von Trier justru menjawab Dunst bahwa nanti akan jelas apa maksudnya. Ia melanjutkan bahwa dia bisa memahami Hitler. ”Dia bukanlah orang yang bisa kita sebut orang baik. Tapi saya memahami dia. Saya agak bersimpati padanya, ya. Tapi, tidak, bukan dalam arti saya mendukung Perang Dunia II. Saya tidak anti-Yahudi….”

”Ada pertanyaan lain,” potong moderator, yang merasa akhirnya mendapat jalan untuk menghentikan pembicaraan ngawur Lars von Trier. Tapi Von Trier merasa sudah kepalang basah. Ia bilang, masih ingin bicara tentang nilai seni. Lalu ia memuji Albert Speer, arsitek yang mengabdi kepada Hitler. Menurut dia, Speer ”bisa jadi salah satu anak Tuhan yang terbaik...”. Satu kalimat lagi yang tak selesai tentang Albert Speer, dan menghela napas, dan, ”OK, saya adalah seorang Nazi.”

Beberapa jam kemudian, di atas karpet merah, pada malam gala Melancholia, ketika dicegat TV resmi festival, ia menyatakan penyesalannya. ”Saya tadi ’terlalu Denmark’. Itu cuma guyon. Dan saya menyesalinya.” Tapi sesal tinggal sesal. Gurauan Nazi, lebih-lebih di Prancis, negeri yang pernah diduduki Hitler, dalam festival yang ketuanya adalah seorang keturunan Yahudi yang selamat dari kekejaman Hitler, tak bisa sekadar dimaafkan begitu saja. Sesudah kutukan keras panitia, keesokan harinya keluar keputusan pengusiran Lars von Trier.

Namun Von Trier adalah Von Trier. Sang anak bengal dari Denmark ini masih juga ngeyel. Di hotelnya, ia berbicara dengan sejumlah wartawan. Katanya, ia memang menyesal telah bicara seperti itu. Namun, kalau soal pengusirannya, ia justru mengaku merasa bangga. Sebab, pengusiran yang pertama kali terjadi itu memberinya sebuah status khusus, yang istimewa.

Lars von Trier memang seorang agen provocateur. Dua tahun lalu, ia juga menciptakan kontroversi besar di Cannes. Lewat filmnya, AntiChrist, ia menampilkan antara lain adegan mutilasi vagina. Si anak bengal itu rupanya menikmati kontroversi. Pada ruas jari tangannya terdapat tato huruf f, u, c, k, yang dengan bangga sering ia tunjukkan dalam sesi pemotretan atau dalam parade di depan publik.

Tapi kali ini provokasinya tak bisa diterima. Gurauannya dinilai tidak lucu. Ia diusir dari Festival Cannes. Tapi apakah untuk selamanya Lars von Trier dikenai persona non grata dalam festival yang membesarkan dan menjulangkan namanya di peta sinema dunia itu? Direktur artistik festival, Thierry Fremaux, mengelak untuk menjawab. Katanya, ia hanya mau berbicara mengenai festival tahun ini saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus