WAJAH Hotel Hilton di Seoul tidak berbeda dengan gambaran yang diharapkan: restoran yang gemerlapan, ruang dansa, air mancur, hiasan-hiasan kuningan mengkilap, serta patung buatan Henry Moore di lobi -- yang dibeli seharga US$ 500 ribu oleh pemilik hotel, seorang usahawan pribumi yang berangkat dari bawah. Dari luar, Hilton merupakn kuil sukses sebuah kawasan baru Pasifik Barat: sibuk, kaya, tidak pernah sepi dari lalu lintas para pelancong. Tetapi, dari dalam, ia sekaligus menampilkan citra yang menggentarkan. Naiklah dengan lift sampai ke lantai 22, kemudian berbelok ke kanan, melintasi sebuah pintu yang tidak bertanda, menuju sebuah koridor kecil yang panas. Dari situ ada tangga batu dua tingkat, kemudian sebuah lift lagi, sebelum sampai ke pintu tertutup menuju mesin pusat pengatur udara dan antena televisi, tepat di bagian atap. Pemandangan dari sini memesonakan: pencakar-pencakar langit sebuah kota berpenduduk delapan juta, puncak-puncak perbukitan granit, dan hutan pohon balsam. Tetapi, tiba-tiba, muncul sesuatu yang lain. Ini: benda-benda hijau yang mencolok: tirai-tirai terpal dengan warna khaki, jaring, dan benda-benda kamuflase. Dan di bawah jaring-jaring itu bersarang senapan mesin antipesawat terbang buatan AS, mengkilap, berminyak, dalam keadaan terisi peluru dan senantiasa ditunggui. Larasnya mendungak, membidik tepat ke langit utara! * * * Korea Selatan, seperti segera disadari semua pengunjungnya, tetaplah sebuah negeri dalam keadaan siaga perang, yang setiap saat seperti berada di tepi jurang perang yang gawat. Sekitar 64 kilometer dari Seoul, atau satu jam berkendaraan mobil dari stadion utama tempat Olimpiade akan dipentaskan, berdirilah Korea Utara, bagai bayangan yang menegakkan bulu roma. Realitas yang satu ini tidak berubah, kendati Korea Selatan tercatat sebagai negeri yang paling cepat dan paling dramatis dalam perkembangan dan kemajuan. Dari suasana porak-peranda, Korea Selatan kini hadir kilau-kemilau, kaya, dan cantik. Seoul sedang bersolek untuk layak bergandengan tangan dengan Melbourne, Mexico City, Tokyo, Los Angeles, dan Montreal, sebagai tuan rumah Olimpiade. "Kami adalah contoh klasik kebangkitan phoenix," ujar Chyun Sangjin, bekas duta besar Korea Selatan di AS, yang ditugasi pemerintahnya mengundang Olimpiade ke Seoul. "Citra lama tentang negeri saya hanyalah perang belaka," Chyun bertutur. "Orang mengenang film-film dengan setting salju, lumpur, dan perang yang berkecamuk berbulan-bulan. Kini semua itu silam sudah. Korea sedang berpacu dengan kecepatan tinggi. Olimpiade merupakan kesempatan kami untuk menunjukkan kepada dunia, apa yang sedang dan akan kami lakukan." Namun, bayangan dari utara itu tetap saja di sana. Ia bahkan mempengaruhi hampir setiap aspek hidup dan pemikiran di Korea Selatan. Apalagi Korea Utara sudah ribuan kali menyatakan, secara terbuka, bahwa mereka akan menyerbu lagi dengan niat "mempersatukan negeri", di bawah kepemimpinan Kim Il Sung yang disembah bagai dewa. Jalan menuju utara dari Seoul mencerminkan keadaan yang sesungguhnya. Sepanjang perjalanan terdapat sejumlah jembatan. Bentuknya aneh, hanya tiang-tiang belaka, tanpa lantai. Di puncak tiang-tiang itu terletak kubus batu dengan tabung logam di dalamnya, kemudian seutas kawat menjulur ke tempat lain. Tidak syak lagi, dengan satu perintah dari Seoul, tabung-tabung dinamit itu akan meledak setiap saat. Dan jembatan itu pun jadinya bukan lagi sekadar jembatan. Ia lebih bersifat barikade antitank, disiapkan untuk melindungi Seoul dari invasi yang tidak diharapkan. Atau, paling tidak, usaha memberi kesempatan beberapa saat kepada penduduk kota mempersiapkan diri lebih baik menghadapi sebuah serbuan. Penjagaan demi penjagaan hadir di seantero tempat strategis. Suatu hari Simon Winchester -- wartawan kita ini -- berhenti untuk membuat beberapa potret. Tiada diduga, tiga lelaki dengan pakaian sipil muncul dari belakang pepohonan, khusus untuk mencegah maksud itu. Tampaknya memang tidak beralasan. Tetapi, ternyata, dari tempat itu orang bisa memotret Gedung Biru, tempat pendahulu Presiden Chun Doo Hwan tewas terbunuh. Setelah pembunuhan itu, tempat tadi nyaris tidak boleh didekati. Sistem penjagaan keamanan untuk kepala pemerintahan Korea Selatan memang menjadi tertutup sama sekali. Bahkan dari hotel di segenap penjuru kota, tidak ada jendela yang menghadap Gedung Biru. Agak di atas Seoul, di sebuah gunung, terletak Kelenteng Sungga yang termasyhur, tempat para biarawati pada waktu-waktu tertentu menggemirincingkan lonceng-lonceng mereka yang merdu. Pada musim gugur, di sekitar kelenteng berbaur wangi dupa dan aroma hutan balsam yang membangkitkan kesan khusus. Tetapi, di sepanjang jalan menuju kelenteng, bertaburan papan peringatan yang mencegah pengunjung berbelok ke sembarang arah. Kawasan ini sepenuhnya sebuah suaka militer, bagian dari sebuah cincin pertahanan yang melindungi Seoul. Biasanya, dekat menjelang siang, dengung yang tidak asing lagi terdengar di angkasa. Mungkin berasal dari sebuah pesawat Blackbird milik Angkatan Udara AS, atau dari pengintai SR-71 yang berpangkalan di Okinawa, yang melakukan patroli 20 mil di atas garis batas. Dari tempat ini hanya dibutuhkan perjalanan satu jam dengan mobil ke kota perbatasan Panmunjom. Dan di seberangnya berdirilah bayangan Kim ll Sung, dengan pandangan amarah menatap Selatan dan "dunia merdeka". Di sebelah Sungai Imjin, serdadu Amerika bisa ditemukan di mana-mana. Tank, meriam, dan radar mereka menunjuk langsung ke utara, ke seberang garis. Batas paling selatan Zone Demiliterisasi (DMZ) yang terkenal itu berpagar tiga lapis dari kawat dan baja. Seolah-olah belum cukup, pagar ini masih dilengkapi menara-menara pengintai, benteng-benteng beton, ladang ranjau, dan anjing-anjing pemburu. Dengan teropong-teropong berlensa tajam, para pengintai Legiun Infanteri ke-31 mengintip dari tempat ini ke utara, menyimak setiap perubahan dan gerakan kecil di sekitar perbukitan dan kampung di sana. Dan di utara DMZ itu senapan-senapan mesin berat Korea Utara ditegakkan di landasan baja kelabu. Di dinding landasan bisa dibaca tulisan besar yang salah eja: WEICOME TO NORTH KOREA. Patroli-patroli Amerika menyisir kawasan ini selalu dengan saksama dan sikap berjaga-jaga. Ada percakapan sandi yang sudah terasa biasa di sini. "Satu peluru, Pak," ujar para bawahan setiap berjumpa dengan perwiranya. "Satu jiwa!" jawab sang opsir. Kemudian, perwira itu menerangkan dengan lancar, betapa ia selalu mengingatkan anak buahnya untuk membunuh 20 serdadu komunis dengan setiap tarikan picu M-16, tanpa ampun, tanpa kehilangan waktu, dan tanpa iba. Tentara Korea Selatan sendiri dikenal sebagai lembaga yang sangat mengacu kepada tentara AS -- baik dalam tata cara, perlengkapan, maupun teknik tempur. Di antara mereka terkenal salam sandi yang agak unik: Pil-sung! Arti harfiahnya: kemenangan. Semboyan ini jugalah dulu yang menghiasi ikat kepala merah para penerbang Kamikaze Jepang, yang dikenakan setiap mereka berangkat untuk gugur di pertempuran. DMZ di sekitar Panmunjom itu hampir mirip sebuah sahara. Kegiatan manusia sangat langka, sehingga alam dan satwa terpelihara dengan aman. Di atas pagar-pagar yang beku itu, undan-undan Manchuria terbang dan hinggap dengan leluasa, sama sekali tidak mengacuhkan ketegangan suasana. Kembang sepatu tumbuh dan berbunga dengan semarak, begitu pula berbagai jenis bunga paya. Dekat-dekat di situ terletaklah Kawasan Keamanan Bersama (Joint Security Area/JSA), petak kecil tempat kedua pihak yang berseteru melakukan pertemuan -- bila perlu. Setiap tapak tanah di luar titik JSA ini merupakan "daerah musuh" bagi masing-masingnya. Perwira jaga bersama (Joint Duty Officers/JDO) dari kedua pihak bertemu di sebuah pos setiap siang. Mereka duduk berhadapan -- dengan sikap waspada -- dipisahkan sebuah meja dengan dua bendera di tiap sisi. Di sini kertas-kertas kerja dipertukarkan. Semua mekanisme di sini mencerminkan diplomasi dunia yang ganjil, sebuah komedi hitam, dan, kadang-kadang, sebuah tragedi. "Saya menyerahkan ke tangan Anda contoh-contoh pelanggaran terang-terangan perjanjian gencatan senjata," ujar Paek Chin Yop, perwira Korea Utara yang sedang bertugas, tanpa senyum, seraya menyodorkan selembar amplop putih tipis. "Baiklah dicatat, hari ini saya menerima selembar amplop putih," sahut Roger Hughes, perwira Angkatan Laut AS yang sedang kebagian pekerjaan menerima "pengaduan" itu. Hughes, tadinya komandan kapal perusak USS McDonough, kebagian giliran berdinas setahun di DMZ. "Saya sendiri tidak tahu mengapa saya terlibat dalam urusan ini," katanya. Dari segi apa pun, DMZ bukanlah cerita lucu sudah tentu. Di sini terjadi insiden tembak-menembak, pembelotan, dan perlombaan perimbangan senjata yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Belum lama berselang, Kim Il Sung bertandang ke Moskow. Dan, siapa pun tahu, pulangnya ia membawa senjata baru yang bernilai jutaan rubel. Sebagai pembalas "budi baik" itu, Angkatan Laut Uni Soviet boleh mangkal di pelabuhan Won San. "Dan ini sama sekali bukan lelucon," kata seorang perwira Inggris yang duduk di Komisi Gencatan Senjata... "Ketegangan bukannya mengendur. Bahkan perang bisa mulai dari sini. Kami mempunyai kewajiban melindungi dunia, sama baiknya dengan melindungi Korea." Dan tragedi yang diacungkan dari garis demarkasi itu membayangi tiap saat kehidupan sehari-hari di Korea Selatan, tapi juga di Utara. Suatu hari Simon Winchester bertemu seorang pria di sebuah country club di Seoul. Pria ini termasuk kaya -- untuk menjadi anggota klub itu dibutuhkan uang sekitar US$ 45 ribu. Namun, semua kekayaannya tidak bisa membantu dia memecahkan sejumlah problem yang sangat akrab dengan kehidupannya. Ketika menyeberang dari Korea Utara ke Selatan, beberapa tahun silam, ia tidak sempat membawa ayah-ibunya, begitu pula keempat saudaranya. Sampai sekarang ia tidak tahu pasti apakah mereka masih hidup atau sudah meninggal. "Menurut perhitungan saya, Ayah mestinya sudah wafat," katanya. "Kalau ia masih hidup, usianya 97." Dari setiap negeri yang dikunjunginya, lelaki ini selalu menulis surat ke "rumah", di Utara. Tidak secarik balasan pun pernah diterimanya. Tidak pula pernah terdengar sepotong kabar mengenai sanak saudara yang tertinggal itu. Di luar pertukaran kunjungan 50 warga negara, yang dilakukan September tahun lalu dengan penuh upacara, hubungan Utara-Selatan tetap dingin. Beberapa ramalan optimistis tampaknya dibuat terlalu tergesa-gesa. "Keadaan sama sekali tidak bertambah baik," ujar lelaki tadi. "Di sana Kim Il Sung tetap saja edan dan kami tetap saja begini. Yang paling terluka tentu saja mereka yang terjepit di tengah. Ya, seperti saudara-saudara saya, dan saya sendiri," ia menambahkan, sambil merenung. * * * Sejumlah kekuatan ditumpukkan untuk melindungi Korea Selatan. Dan sekarang yang harus dilindungi itu menjadi semakin banyak. Keajaiban pertumbuhan ekonomi negeri ini memang betul-betul menakjubkan. Tidak satu bangsa pun bekerja dengan motivasi sekuat bangsa ini. Jam dinas dimulai pukul tujuh setiap hari, dan lampu-lampu kantor baru dipadamkan setelah agak larut alam. Seorang pekerja Korea Selatan senantiasa merasa berbahagia paling tidak, begitulah pengakuan mereka -- bila perusahaannya percaya bahwa ia bangun setiap pukul enam, dan hanya memiliki 80 menit waktu pribadi sehingga hari menjadi gelap. Mereka rata-rata dibayar bagus. Seorang karyawan galangan kapal menerima sekitar US$ 500 setiap bulan, ditambah bonus empat bulan gaji pada akhir tahun, dan keuntungan lain bila perusahaan sedang mujur. "Sama sekali tidak benar bila seorang usahawan London mengatakan bahwa Korea Selatan maju karena upah buruh yang rendah," ujar seorang diplomat Inggris. "Korea Selatan sukses karena para pekerjanya bekerja luar biasa. Mereka menabung uangnya. Mereka sungguh menakjubkan." Sebagai contoh, ambillah misalnya Kim Woo hong, 48, multijutawan pemilik Hotel Hilton, tokoh yang kini setengah legendaris. Sembilan belas tahun yang lalu Kim hanya memiliki sekitar US$ 10 ribu dan tujuh orang karyawan. Kini, sebagai chairman Daewoo (kata ini berarti Semesta Raya) ia memegang kerajaan yang membuat hampir segala barang mulai roti sampai kapal perang. Angka penjualannya sekitar US$ 7 milyar setahun. Nilai ekspornya sekitar ,S$ 3 milyar setahun, meliputi mobil, kapal, pesawat televisi, jembatan, mesin derek, dan baja batangan. Ia memiliki lebih dari seratus toko, membuat traktor, menangani separuh proyek konstruksi berat di negeri-negeri yang sulit, seperti Libya dan Nigeria, dan mempekerjakan lebih dari 80 ribu karyawan. Sebagaimana taipan Korea Selatan lainnya, Kim hidup sederhana di rumahnya di Seoul. Dalam jamuan-jamuan bisnis yang mengedarkan wiski, ia selalu minta air barley. Oleh para karyawannya ia biasa dipanggil tosa -- gelar kungfu untuk "guru yang memperlihatkan kepada muridnya bagaimana melompat lebih tinggi dari kemungkinan yang mereka bayangkan ...." Galangan kapal yang terbesar di dunia terdapat di Korea Selatan (dan di negeri ini, semua industri berat secara strategis ditempatkan di wilayah selatan, agar jauh dari jalur invasi Korea Utara). Galangan ini milik perusahaan Hyundai, yang, seperti halnya Daewoo dan perusahaan terbesar ketiga, Samsung, belum berusia 20 tahun. Kecepatan galangan ini menyelesaikan sebuah kapal acap kali sulit diterangkan. Hampir semua dari 40 kapal yang dibuat secara simultan oleh Hyundai dibangun di galangan kering. Kadang-kadang empat atau lima kapal sekaligus dibuat di satu galangan, dan semuanya rampung dalam waktu yang bersamaan. Di galangan ini cerobong dan komponen-komponen kapal berukuran raksasa tergeletak di mana-mana, dikerubuti puluhan -- kadang ratusan -- pekerja dengan martil dan alat las, diangkat dan dipindah-pindahkan oleh derek raksasa, dinaikkan ke truk beroda 30, dibongkar lagi oleh empat derek yang masing-masing mempunyai daya angkat 450 ton. Yang pertama dari keempat derek luar biasa itu dibeli dari Krupp, dengan dana bantuan dari Jerman. Setelah itu Hyundai membuat tiruannya, dan kini malah mulai menjual balik ke Jerman -- dengan harga separuh. Rata-rata untuk membuat sebuah kapal dibutuhkan waktu setahun. Sekujur kapal dibangun di sini mulai dari mesin sampai ke pintu-pintu kamar, mulai baling-baling sampai perangkat radar. "Kami hanya sedikit lebih cepat dan sedikit lebih murah dibanding Jepang," ujar Kim. Mengejar Jepang, negeri yang dulu pernah menjadi "tuan" Korea itu, sudah merupakan semacam "rangsangan nasional" yang mengganggu dan memacu setiap usahawan Korea Selatan sekarang ini. Namun, mereka juga mempertimbangkan segi lain. "Kami memang lebih murah, tetapi Jepang bisa mengatur pembelian kredit lebih menarik," ujar Kim. "Karena itu, selalu dibutuhkan persaingan keras dalam mencari pesanan, apalagi dalam keadaan bisnis perkapalan tidak begitu cerah seperti sekarang. Tetapi, kami lebih baik dalam hal mutu. Anda boleh bertanya kepada siapa saja mengenai hal ini." Kemudian, suatu ketika, Simon Winchester memang menemukan seorang awak kapal Swedia, Nord Sea, yang dibeli dari Korea Selatan. Simon bertanya, apakah kapal buatan Korea Selatan memang bagus. "Bukan hanya bagus, tapi fantastis," jawab si pelaut. "Mereka sudah mengalahkan pembuat kapal Eropa." Di Hyundai, Simon mendapat seorang pemandu yang muda, rapi, cerdas, dan rajin, jenis yang sempurna dari Homo Koreaensis tipe baru. Sebagai lelaki muda yang bijak, pintar, terpelajar, dan bisa berbahasa asing, mengherankan juga bahwa ia mau menerima jabatan "serendah" itu di perusahaan ini. "Mereka memperlakukan saya dengan baik," katanya. "Mereka memberi saya kamar yang menyenangkan, hadiah besar di Hari Natal, bahkan kaus kaki dan pakaian dalam. Semua keperluan saya diperhatikan dengan patut, dan perusahaan ini berbuat baik untuk negara. Tidak ada pemogokan, tidak ada serikat buruh, tidak ada kesedihan. Semua bekerja untuk kemaslahatan tanah air -- tidakkah hal itu benar, menurut Anda? Anda harus memikirkan hal ini, atau, kalau tidak, sebaiknya jangan datang kemari." Tetapi, sekali lagi, selalu ada sisi lain Korea Selatan yang berkaitan dengan ancaman perang dengan Utara, sebuah suasana yang menghidupkan psikosis nasional dan kemudian menciptakan sikap tertentu. Korea Selatan, untuk berbicara terus terang, bukanlah negeri yang bebas. Saat ini ia sungguh-sungguh makmur: dalam pertumbuhan ekonominya hanya sedikit orang yang menyangsikan kemampuannya melampaui Jepang yang sekarang atau Cina masa depan. Tetapi, di luar segala perubahan itu, Korea Selatan tetap sebuah negara diktator -- dan, kadang-kadang, dalam bentuk yang paling keras. * * * Presiden Chun tetap memegang kendali angkatan bersenjata. Chun memang pernah berjanji untuk turun tahta pada musim semi 1988. Tetapi, para pengkritiknya yakin bahwa lembaga pemilu yang akan mencari pengganti tetap saja akan menemukan calon yang harus disetujui angkatan bersenjata. Kemudian, karena angkatan bersenjata hakikatnya memerintah Korea Selatan -- yang sekarang memang tidak lagi sekorup dan sedekaden di bawah Presiden Park dulu -- melalui Partai Keadilan Demokratik (DJP), tidak akan ada perubahan politik yang berarti. Dengan atau tanpa Olimpiade. "Memang, tidak akan ada perubahan yang berarti," ujar seorang usahawan yang ditemui di Seoul Country Club. "Semuanya hanya kosmetik," ia menambahkan. "Lihatlah baik-baik Korea Utara dan Korea Selatan," kata seorang kolonel Angkatan Darat AS. "Dan Anda akan menemukan, sesungguhnya tidak banyak perubahan antara keduanya. Utara lebih miskin mereka tidak bisa membeli majalah Playboy. Selatan juga tidak bisa -- dengan alasan yang agak ganjil." Di Korea Selatan, pers dan radio dikontrol keras. "Ketika saya berada di Seoul," tutur Simon, "dua reporter terkemuka harian Dong-a Ilbo ditahan diperiksa, dan -- kata orang -- dianiaya karena membocorkan berita yang diembargo pemerintah. Surat-surat kabar sangat jarang memuat berita kegiatan oposisi -- melulu tentang kemenangan DJP dan hasil-hasil yang dicapai Presiden Chun. Tidak ada yang berani membuat perbandingan antara sikap pers terhadap Kim Il Sung di Korea Utara dan sikap pers terhadap Presiden Chun di Korea Selatan. Padahal, keduanya paralel." Aksi oposisi mahasiswa selalu ditekan keras. Universitas diliputi kegelisahan. Presiden Chun demikian khawatirnya terhadap para mahasiswa, sehingga ia pernah memberlakukan undang-undang pemberangusan kampus. Untunglah, belakangan ia mencabut undang-undang itu sembari mempersalahkan pemerintah AS yang, menurut dia, justru menyarankan peraturan demikian. Meski begitu, kampus tetap saja berbau gas air mata, dan jalanan hampir setiap pagi dikotori sisa granat botol yang diledakkan malam sebelumnya. Pasukan-pasukan antihuru-hara selalu tampak berjaga di dekat-dekat tempat berkumpul mahasiswa. Partai yang berkuasa sering menyatakan para mahasiswa itu agen-agen Kim ll Sung yang bermaksud mengimpor kerusuhan dan komunisme ke kota-kota yang menyenangkan di Selatan. Berbagai "bukti" dikemukakan untuk mendukung pernyataan tersebut. Para diplomat misalnya menunjuk pengeboman di Rangoon, Burma, hampir tiga tahun lalu. Ketika itu hampir separuh anggota kabinet Korea Selatan tewas. Tidak dapat disangsikan, kata para pejabat Seoul, Korea Utara mengatur tindakan kriminal itu, sedangkan Kim Jung Il, putra Kim Il Sung, langsung bertanggung jawab. Para pejabat sekuriti menunjuk pembunuhan Presiden Park, ketika agen-agen komunis menyelinap ke Gedung Biru -- semuanya tindakan iblis Korea Utara. Hampir setiap hari orang-orang radikal, militan, dan perusuh dipanggil untuk diperiksa, dengan tuduhan permanen: Utara, Utara, Utara .... "Ya, sekarang saya mengakui kekonyolan saya dulu di universitas," ujar seorang karyawan Hyundai, yang kini gemah ripah loh jinawi di bawah naungan perusahaan itu. "Saya pernah mendekam sepuluh hari dalam tahanan, dengan tuduhan melakukan agitasi. Saya memang belum matang ketika itu, dua tahun yang silam. Sekarang, saya yakin kebenaran yang saya tempuh untuk sebuah Korea Baru." Ia akan turut memilih pengganti Chun dua tahun lagi. "Saya tidak tahu apa yang dipikirkan kelompok oposisi," katanya. Orang muda ini tentu belum membaca karya politik Kim Dae Jung, aktivis berusia 61 tahun itu. * * * Kim Dae Jung berperawakan kecil, ramah, orang dengan penuh alasan, dengan kemampuan berhubungan antarmanusia yang antara lain ditempa di Virginia, AS, tempat ia pernah belajar selama menjalani pengasingan politik beberapa tahun. Banyak membaca, dan berbudaya, ia mempunyai banyak sahabat terhormat di seluruh dunia. Setelah sebuah makan siang dengan rumput laut dan bubur, seraya kedua anjing chihuahua-nya berkeliaran di bawah meja tanpa lelah, ia menceritakan sedikit sikap oposisinya terhadap Presiden Chun dan jalan perubahan yang akan ditempuh negerinya. Kegiatan polisi di negeri ini, kata Kim, bertambah ketat saja. Omongan-omongan mengenai pelonggaran peraturan, misalnya tentang penghapusan jam malam yang keras di Seoul, disebutnya sebagai "Hanya omong kosong pra-Olimpiade dan etalase yang buruk bagi para pengunjung." Dan ia bicara dengan hangat tentang para mahasiswa. "Seluruh perjuangan mereka ditujukan untuk memugar demokrasi yang sejati di negeri ini," katanya. "Tragedinya adalah, sebuah negeri seperti kami punyai ini, dengan musuh yang bengis dan jahat tepat di perbatasan, hanya dapat berjuang bila kami mempunyai sesuatu yang berharga untuk diperjuangkan. Jika kami memiliki demokrasi, beberapa sistem yang berharga untuk semua kami yang mempercayai kemerdekaan dan keadilan, barulah kami dapat survive." "Lihatlah Israel, sebuah contoh klasik," Kim Dae Jung melanjutkan. Dikelilingi musuh, rakyatnya tetap menikmati kemerdekaan, dan bersedia melindungi apa yang bermutu yang merupakan milik mereka, katanya. Lihatlah pula semua negeri yang bertindak sengit dan tidak bisa menenggang ke dalam: Kubanya Batista, Nikaraguanya Somoza, atau besok mungkin Filipinanya Marcos. Kekuatan mereka didalam negeri sangat rapuh bila muncul seteru dari luar. Dan mereka akhirnya kehilangan tahta. Kami akan lebih kuat di dalam negeri bila kami memiliki keberanian memenangkan kemerdekaan. Kemudian, dan hanya dengan cara itu, kami berharap bisa tegak melawan barbarisme Korea Utara. "Dan itulah yang dihasratkan para mahasiswa. Itulah yang didambakan kelompok oposisi. Tetapi Presiden Chun terlalu keras kepala untuk menyadari kenyataan ini. Setiap orang yang berbeda pendapat langsung dituduh sebagai agen musuh, mata-mata Utara. Angkatan bersenjata juga begitu. Mereka akan mendapat yang terburuk, bukan yang lebih baik." Kim Dae Jung kemudian mengajak Simon Winchester ke kamar kerjanya. Di dinding berjejalan ribuan buku, di antaranya karya Hegel, Kant, Bernard Shaw, Bertrand Russel. Ia menarik selembar kartu putih, lalu menuliskan nama sang wartawan dengan dawat, dalam ideograf Cina dan Hangul. Di bawah nama itu ia membubuhkan kata-kata yang dikutip dari penyair dinasti Yi, Lee Yul-Sok: "Cara sebuah bangsa menyetujui kemerdekaan berpendapat menentukan citra para pendiri dan derajat kemakmuran bangsa itu." Kim menyerahkan kartu putih itu ke tangan Simon Winchester, membungkukkan badan, dan mengucapkan selamat jalan. "Ketika saya meninggalkan rumah itu," tutur si wartawan, "seorang lelaki berseragam biru tampak agak bersembunyi di belakang sebatang pohon, dan berbicara melalui pesawat radio." * * * Kurang bermanfaatlah membayangkan negeri yang menarik dan berseri-seri ini sebaik yang digambarkan para pelaksana Olimpiade. Terdapat sejumlah persoalan serius di sini: politik, ekonomi, sosial. Keadaan ekonomi yang tampaknya begitu makmur ditegakkan pada landasan yang sangat tipis, ditunjang oleh utang yang sangat besar, dan diancam situasi ekonomi dunia dan persaingan antar tetangga yang makin keras. Laju pertumbuhan penduduk memang tidak melampaui perkiraan. Namun, pada suatu saat mereka bisa menjadi ancaman bila situasi ekonomi tiba-tiba menggawat. Sementara itu, pengaruh AS yang sangat besar juga mengurangi kebanggaan nasional. Dan ada sisi lain lagi yang patut dipertimbangkan. Korea Selatan makin terkenal sebagai surga dunia yang asyik. Sebagian pelancong Jepang datang ke negeri itu, antara lain, hanya untuk main golf dan seks. "Anda bisa berteduh di mana saja di Seoul, dan merasa seperti berada di sebuah rumah bordil," kata seorang pengelola hotel berkebangsaan Jerman. Korea memiliki kebudayaannya sendiri. Tetapi sekarang tidak mudah menemukan kebudayaan itu di antara lapisan-lapisan kultur lain yang bercangkok di sana. Mereka memiliki energi yang besar seperti halnya Jepang dan Cina tetapi tidak ada keterampilan istimewa di bidang inovasi dan pemikiran orisinil, juga seperti halnya Jepang dan Cina. Terasa proses kehilangan akar dan kemerosotan identitas. "Dan Anda tidak boleh mempersalahkan rakyat atas sikap nrimo mereka terhadap kekerasan," Kata seorang ahli berkebangsaan Eropa. "Tradisi Konfusian mengakar terlalu dalam. Itulah yang mendorong bangsa Korea, mungkin lebih dari bangsa-bangsa lain, untuk menerima atau menenggang kekuasaan, untuk berbuat apa saja yang dikatakan baik untuk bangsanya. Mungkin patut disesali, betapa kekuasaan yang ditenggang oleh rakyat itu menjadi selalu punya kepentingan terhadap angkatan bersenjata, dan angkatan bersenjata secara hakiki dipengaruhi sangat kuat oleh orang-orang Amerika. Keadaan itu mungkin saja berubah. Tidak sebelum Olimpiade." "Antara saat ini dan Olimpiade mendatang," demikian ahli tadi, "setiap orang berjaga-jaga, menghadapi kemungkinan keusilan Utara." Dan jangan lupa, negeri ini berada dalam keadaan perang. Segala hal bergantung pada tingkah laku Utara. Sulit meramalkan apa yang sedang bercokol di benak Kim Il Sung di sana. Repotnya, sebelum Selatan tahu persis apa yang bakal terjadi, keadaan tampaknya baik-baik saja. Asal diingat, Korea Utara itu tetap saja Korea Utara yang dulu, Korea Utara yang Kim Il Sung, Korea Utara yang...
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini