GATUNTUKACA yang di awang-awang mendarat di Rungkut, Surabaya. Ia bek kanan, Petruk bek kiri. Gatutkaca gagal menghadang bola. Ini gara-gara kuluk alias "mahkota" lepas dari kepalanya. Arjuna berlari kecil sembari menyundul bola. Kuluk-nya menggelinding bersama bola. Tapi, Saudara-saudara, Si Petruk maju terus. Hanya saja, ia menendang angin. Justru itu, si kulit bundar nyeblos gawang kesebelasan Sriwandowo yang dijaga Limbuk. Tendangan Bambang Gentolet menggelegar. Ia kapten Kesebelasan Srimulat. Satu-kosong untuk Srimulat. Gentolet lari ke tengah lapangan, mengacung sambil mengepal jemarinya. "Hidup Gentolet Maradonaaa, hidup Gentolet Maradonaaa!" Lapangan Rungkut, bulan kemarin, hingar-bingar. Wayang bertempur melawan dagelan. Kaya keplok, gerrr, dan ha-ha-haaa. "Ini bukan galatama, tapi galatawa," ujar Bambang Gentolet, bersuara serak sambil mengelus gundul. Atraksi baru ini laris. "Kami manggung tiap malam, tapi penonton jenuh," ujar Soemardjo, manajer Sriwandowo. Apalagi Taman Hiburan Rakyat tempat mereka main digusur untuk THR Plaza, pertokoan mewah milik PT Sasana Boga. Srimulat pindah ke Kebon Binatang, sedangkan Sriwandowo masih di tempat semula - "karena untuk pindah tak punya duit." Beberapa kali mereka "mentas" di lapangan hijau. Sebelum di Rungkut, mereka di Tandes dan lapangan Demak (masih di Surabaya), Pasuruan, Nganjuk, dan Kediri. Bulan depan muncul di Cepu, Jawa Tengah. Setiap kali main, kedua grup itu dikontrak Rp 300.000. Sriwandowo sering kalah. Kok Srimulat bisa menang? "Saya kipernya," ujar Isye, cewek setengah baya tapi masih kenyal. Sujud alias Semar, kapten kesebelasan Sriwandowo, membela diri. "Tentu saja kalah. Kami main berpakaian wayang, sedang pemain Srimulat berpakaian biasa," katanya. Kendati pembagian honor galatawa itu sama untuk tiap kesebelasan, ada sedikit protes. "Saya tak bisa lari kencang. Setiap mau merebut bola, buntut saya diinjak," ujar Daryono ngakak. Ia, Hanoman, si monyet itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini