PERWAKILAN POLITIK DI INDONESIA Oleh: Arbi Sanit Penerbit: CV Rajawali, Jakarta, 1985, 310 hlm KADAR keterwakilan politik (political representativeness) dari lembaga perwakilan politik, sejak Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sampai dengan DPR hasil pemilu di zaman Orde Baru, selalu memperoleh porsi pembicaraan yang menarik dalam kaitannya dengan sistem politik di Indonesia. Dalam buku Perakilan Politik di Indonesia, Arbi Sanit mencoba menjelaskan duduk perkara keterwakilan rendah dan keterwakilan berlebih (under and over representation) sebuah lembaga, seperti DPR RI. Arbi Sanit mengacu proses pembentukan lembaga perwakilan yang masih diwarnai sistem pengangkatan, sebagai penyebab kadar keterwakilan. Beberapa kali ia menunjuk DPR hasil Pemilu 1955 sebagai pengecualian. Ia menurunkan sebuah tabel komposisi keanggotaan badan legislatif di Indonesia dari segi cara menjadi anggota (halaman 262). Di situ dikemukakan: anggota yang diangkat dalam DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 0%, dan membandingkannya dengan DPRGR yang 100% Sistem pengangkatan seperti itu, yang dikombinasikan dengan sistem pemilihan, mempunyai akar sejarah yang dalam. Kombinasi sistem pengangkatan dan pemilihan bukan saja dikenal dalam Volksraad (1918-42), tapi juga dalam DPR hasil Pemilu 1955 yang dikenal sebagai constitutional democracy. Di wilayah yang dulu dikenal Irian Barat, misalnya, yang ketika itu belum ada pemilu, untuk mewakili daerah tersebut diangkatlah tiga wakil. Mereka adalah A.B. Karubuy, Moh. Padang, dan Silas Papare. Di samping itu, sejumlah nama, seperti Lie Po Yoe, Oei Tjeng Hien, Tan Eng Hong, Tan Kiem Liong, dan Mr. Tjung Tin Jan, diangkat menjadi anggota DPR untuk mewakili Golongan Kecil Tionghoa. Sedangkan D. Hage, J.R. Koot, Haji J.C. Princen, R. Ch. M. Du Puy, Drs. J.L.W.R. Rhemrev, dan E.F. Wens diangkat untuk mewakili Golongan Kecil Eropa. Dengan demikian, sepanjang sejarah parlemen di Indonesia, tidak ada lembaga legislatif yang luput dari unsur pengangkatan. Dan boleh dikatakan, memang tak pernah ada dalam pemerintahan Indonesia menganggap bahwa sistem pemilihan itu sebagai satu-satunya cara membentuk lembaga legislatif yang memenuhi unsur kadar keterwakilan yang serasi. Secara empiris kombinasi antara sistem pengangkatan dan pemilihan dalam pembentukan lembaga legislatif kita sudah memperoleh "penerimaan politis" dalam masyarakat. Kenyataan itu perlu ditelusuri keterkaitannya dengan sistem pemerintahan kita yang sering disebut sebagai executive heavy. Lembaga legislatif bukanlah pusat kekuasaan. Dan setiap harapan untuk menempatkan lembaga legislatif dalam kaitannya dengan persepsi "Demokrasi Barat" bahkan berujung pada kekecewaan. Dan dari segi ilmiah, tentu, kenyataan seperti itu masih harus dikaji kekuatan akarnya pada budaya politik Indonesia. Kecuali kehadiran dan penampilan lembaga legislatif antara tahun 1950 dan 1957, yang disebut Herbert Feith sebagai praktek constitutional democracy, cuma sebuah intermeso sejarah. Konteks penempatan lembaga legislatif dalam perspektif sejarah kelihatan tidak mendapatkan porsi semestinya dalam buku ini. Pengungkapan studi kasus, terutama tentang peranan DPRD (halaman 203-248), justru berlebihan, kalau itu memang hendak menguatkan kesimpulan bahwa lembaga legislatif kurang berperan dalam proses politik. Ini, bila dilihat ke Undang-Undang No. 5/1974. Di situ dengan tandas dikatakan: DPRD adalah perangkat pemerintahan di daerah. Boleh jadi, masih ada harapan jika dilakukan perbaikan terhadap metode rekrutmen politik para peserta pemilu. Itu mengingat bahwa kualitas kontrol legislatif dalam praktek Demokrasi Pancasila mengalami pergeseran dari kontrol politis kepada kontrol yang bersifat teknikalistis. Kontrol DPR, betapapun menggigitnya, tidak akan dapat menggeser posisi seorang dirjen, karena rekrutmen pejabat setingkat itu mempunyai jalur dan prosedur tersendiri. Dengan demikian, dalam 10 tahun terakhir, rapat-rapat kerja komisi DPR RI cenderung menjadi forum kontrol teknis atas pelaksanaan tugas para aparatur pemerintahan. Beriringan dengan itu, dapat dipahami bila anggota Fraksi Karya banyak yang berasal dari bekas pejabat, apakah ia di pusat atau daerah. Mungkin untuk mengikuti jejak serupa, fraksi parpol mengalami kesulitan. Namun, tak mustahil terbuka peluang merekrut para intelektual bebas. Munculnya nama pengamat ekonomi seperti Kwik Kian Gie dalam Daftar Calon Sementara (DCS) 1987 dari PDI seharusnya menjadi trend politik umum dalam tubuh parpol. Peranan parpol lewat fraksinya di DPR haruslah lebih kualitatif. Sebab, dalam sistem kekuasaan yang memusat, seperti dikatakan Arbi Sanit, jumlah kursi yang diperoleh parpol pasti tidak merubah perimbangan kekuasaan politik. Untuk membangun lembaga legislatif yang memiliki kadar keterwakilan yang memadai ini, menurut sistem politik Demokrasi Pancasila yang tengah diwujudkan, kata kuncinya tentu pada kemampuan parpol mengembangkan kualitasnya, di samping kadar kemandirian Golkar. Jadi, suatu kadar keterwakilan yang mempunyai bobot kualitatif, kendati menurut galibnya konotasi keterwakilan itu merujuk pada aspek kuantita. Dari seorang pengamat, seperti Arbi Sanit, kita yakin masih akan muncul karya lanjutan di seputar lembaga legislatif. Juga, begitulah kita berharap: lebih menjangkau ke depan. Ridwan Saidi Anggota DPR RI dan pengamat polilik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini