Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIAKAN "air naik, air naik" dari luar rumah membangunkan Sri Sugiarti yang tengah terlelap. Setengah sadar, dia turun dari tempat tidur dan mendapati lantai kamarnya tergenang banjir setinggi mata kaki, Sabtu malam, 18 Januari lalu. Dia bergegas membangunkan anak dan suaminya karena air semakin naik.
Di luar rumahnya yang terletak di RT 7 RW 1, Kelurahan Rawa Buaya, Cengkareng, Jakarta Barat, ketinggian air satu meter. Ini tahun kedua lingkungannya kebanjiran-tahun lalu genangannya cuma setengah meter. "Sejak sawah ditimbun untuk dijadikan perumahan, banjir selalu datang," katanya menuding persawahan di dekat kediamannya.
Selama ini sawah tersebut menjadi tempat penampungan air manakala Kali Mokervaart yang melintas di Jalan Daan Mogot melimpah pada musim hujan. Kini Sri harus mengungsi di musala bersama ratusan orang lain karena genangan air bertahan berhari-hari. Apa yang dialami Sri Sugiarti merupakan potret salah satu lokasi banjir di Jakarta yang disebabkan oleh berkurangnya ruang terbuka hijau dan wilayah penampungan air. Karena daya serap tanah semakin kecil, banjir semakin lama surut dan wilayah genangan semakin luas.
"Secara geologis, Jakarta merupakan cekungan banjir," kata peneliti senior Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jan Sopaheluwakan, Kamis pekan lalu. Tanah di kawasan utara sekitar Ancol dan Teluk Jakarta secara alamiah terangkat akibat proses tektonik. Akibatnya, air dari 13 sungai yang bermuara di Teluk Jakarta tidak bisa mengalir lancar ke laut dan kerap terjebak di cekungan besar Jakarta. Jadi, wilayah dari barat Ciputat hingga Teluk Jakarta itu ibarat sebuah mangkuk raksasa. Jakarta tepat berada di tengah mangkuk itu.
Para ahli geologi menyebutkan cekungan ini terbentuk dari tanah sedimen muda sangat tebal tapi belum terkonsolidasi. Akibatnya, secara geologis, tanah di Jakarta perlahan turun. Karena itu, kata Jan, tanpa usaha apa pun, pada dekade mendatang Jakarta berpotensi tenggelam akibat penurunan tanah dan luapan air dari 13 sungai itu.
Tampaknya ancaman itu kini kian dekat. Hal itu merujuk pada banjir sepanjang pekan lalu. Rahmat Fajar Lubis, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, menjelaskan, curah hujan harian pada 2013 dan 2014 tak berubah secara ekstrem. Angkanya malah lebih kecil ketimbang saat Jakarta dilanda banjir pada 2007 dan 2012. Tapi, kata dia, wilayah genangan banjir tahun ini lebih luas ketimbang tahun sebelumnya. "Ini terkait dengan pelanggaran tata ruang," ujarnya.
Di wilayah hulu, yaitu kawasan Bogor, Puncak, Cianjur, dan Depok, pembangunan makin masif, mengurangi ruang untuk resapan air hujan. Di Jakarta, bahkan sampai pinggir pantai pun, kata Jan Sopaheluwakan, yang menjadi anggota Dewan Riset Daerah Jakarta, juga sudah ditutupi bangunan.
Tidak berlebihan jika Kepala Balai Teknologi Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BBPT) Arie Herlambang menyebut Jakarta sebagai kota dengan penyerapan air permukaan terendah. "Yang masuk ke tanah sekitar 7 persen dari 83 persen air yang mengalir di permukaan, dan 10 persennya menguap," kata Arie, Rabu pekan lalu.
Kepala Laboratorium Geoteknik Universitas Tarumanagara, Jakarta, Chaidir Anwar Makarim, menyebutkan kecepatan hujan turun di Jakarta bisa mencapai 100 kilometer per jam, sedangkan kecepatan penyerapan air oleh tanah hanya 2 kilometer per jam.
Di sisi lain, amblesan tanah secara alamiah di utara dan tengah Jakarta semakin dalam karena pengambilan air tanah secara besar-besaran. "Pengambilan air tanah secara berlebihan ini tidak diimbangi pemasukan air," kata peneliti hidrogeologi LIPI, Edi Prasetyo. Hal inilah yang memperparah penurunan tanah.
Edi menilai pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi Jakarta selama puluhan tahun ini lalai melakukan program penginjeksian air ke tanah dan memperluas ruang terbuka hijau. Padahal, menurut dia, mereka terus menarik pajak pengambilan air tanah yang dilakukan perusahaan atau perseorangan. "Itu sama dengan perampokan sumber daya alam," katanya.
Salah satu solusi jitu mengatasi masalah itu adalah menerapkan metode nol limpasan air (zero runoff). Pemerintah Jakarta telah lama mengajak masyarakat membuat biopori. Belakangan ini Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menggenjot pembangunan sumur resapan. Namun, menurut Chaidir Anwar, dua teknologi ini tidak cocok diterapkan di Ibu Kota. Mau dibuat banyak pun, kata dia, tidak pas karena kondisi tanah Jakarta sulit menampung air.
Edi Prasetyo menyoroti kelemahan sumur resapan yang pembangunannya sedang digeber Jokowi. Pertama, secara konstruksi tak ada bak penampung sehingga sumur resapan itu cepat penuh terisi air. Kedua, air permukaan yang kotor ikut masuk. Ketiga, dia mempertanyakan perawatan sumur tersebut. Karena itu, sumur resapan saja tidak cukup.
Menurut Fakhrudin dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI, zero runoff terbagi menjadi skema penyerapan air melalui sumur resapan dan penampungan air lewat kolam atau danau buatan. Sesuai dengan kondisi tanah Jakarta, kata dia, daerah di selatan lebih cocok dengan skema penyerapan, sedangkan di utara dengan skema penampungan.
Bermacam cara merevitalisasi air tanah-sehingga mengurangi kecepatan ambles permukaan tanah-sebenarnya sudah cukup banyak diterapkan. LIPI mengembangkan teknologi Simbat-singkatan dari simpanan dan imbuhan buatan untuk air tanah-untuk skala kecil (permukiman tingkat rukun tetangga) dan besar di pabrik atau perkantoran dan pulau kecil. Mereka sudah menerapkan Simbat berbentuk sumur ini di permukiman padat di Cimahi Utara, Bandung.
Di kantor pusat LIPI di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, mereka membangun Simbat berbentuk kolam imbuhan dengan ukuran 21 x 13 x 3 meter. Lalu ada tiga sumur injeksi di lantai kolam berkedalaman 12 meter. Kapasitas kolam imbuhan itu 400-1.000 meter kubik per hari dan menampung semua air hujan dari atap dan halaman kantor LIPI. Proyek ini sudah berjalan dua tahun dan mampu menaikkan muka air tanah.
BPPT mengembangkan teknologi pemanenan air hujan dan sumur resapan. Di sini air hujan yang jatuh di atap ditampung di dalam bak. Kemudian limpasan air yang keluar dari tangki tersebut disalurkan ke dalam sumur resapan yang dilengkapi penyaring. "Sumur resapan ini mengurangi runoff dan menambah jumlah air yang masuk ke tanah," kata Arie Herlambang. Dari uji coba yang dilakukan, satu sumur resapan mampu meresapkan air secara kumulatif 450-1.000 liter dalam waktu 140-160 menit.
Chaidir menyarankan Jakarta harus punya banyak tempat parkir buat air. Dalam bayangannya, tempat ini semacam kolam penampungan yang dibangun di bawah permukaan tanah dan diletakkan di bawah trotoar atau ruang-ruang terbuka. "Perumahan juga bisa menerapkan teknologi itu."
Tempat parkir sementara bagi air ini diisi kerikil dan bagian atasnya ditutupi rerumputan ataupun permukaan lain sehingga masih bisa digunakan untuk aktivitas warga. Kedalamannya sekitar dua meter, dengan wilayah cukup luas sehingga tanah punya kesempatan menyerap air hujan yang turun lebih lama. Aneka teknologi zero runoff ini mampu mengurangi banjir sekaligus mengkonversi air untuk kembali ke skema alamiahnya.
Untung Widyanto, Praga Utama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo