Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Pendobrak Fikih dari Kajen

Kiai Haji Sahal Mahfudh wafat akibat gangguan jantung dan paru-paru. Merumuskan fikih sosial yang bermanfaat praktis bagi masyarakat.

27 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA memilih tidur panjang di atas bumi yang dicintainya, di Desa Kajen, Pati, Jawa Tengah, dinihari Jumat pekan lalu. Kiai Haji Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh, 76 tahun, wafat setelah didera gangguan jantung dan paru-paru-ia memang perokok berat. Setelah menghadiri rapat pleno Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pada awal September lalu di Wonosobo, yang ditempuhnya selama tujuh jam dengan mobil, dia sempat dirawat di Rumah Sakit Dr Karyadi, Semarang.

Kiai Sahal berkeras pulang ke kampungnya di Kajen. Di sana, selama setengah abad, Mbah Sahal-panggilan takzim kepadanya-mengasuh Pondok Pesantren Maslakul Huda, yang didirikan ayahnya, Kiai Mahfudh Salam, pada 1910. Kendati menjadi tokoh nasional, memimpin jam'iyah Nahdlatul Ulama, juga Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, Kiai Sahal lebih memilih tinggal di desa "agar bisa dekat dan leluasa menerapkan fikih sebagai solusi praktis bagi masyarakat".

Tak cuma disegani di kalangan pesantren, Kiai Sahal juga diterima pemuka organisasi lain, seperti Muhammadiyah dan Al-Irsyad. Karena itu, dia didaulat terus memimpin Majelis Ulama Indonesia selama tiga periode, hingga seharusnya berakhir tahun ini. Di NU, dia dipercaya menjadi rais am atau kiai pemuncak organisasi hingga 2014. Ia terpilih pertama kalinya sebagai rais am dalam muktamar ke-30 di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, akhir November 1999. Muktamar itu dibuka Presiden Abdurrahman Wahid, kemenakan sang kiai.

Dengan Gus Dur, dia masih kerabat dekat. Ayahnya, Kiai Mahfudh Salam, adik sepupu Kiai Bisri Syamsuri, kakek Gus Dur dari garis ibu-sang kemenakan menya­panya "Paman", Kiai Sahal pun memanggilnya "Durrahman". Tapi keduanya tak selalu seirama. Ia terpaksa berhadapan dengan Gus Dur dalam pemilihan rais am di Muktamar Solo, awal Desember 2004. Muktamirin akhirnya memilih Sahal, yang meraup 363 suara. Gus Dur, yang pernah menjadi Ketua Umum PB NU selama tiga periode, hanya didukung 75 suara.

Kiai Sahal rajin menulis kitab berbahasa Arab pegon-biasa disebut kitab kuning-yang dijadikan pegangan di pesantren. Kitab Thoriqotul Husul (Jalan Menuju Sukses), salah satunya, berupa diktat untuk mengajarkan kitab Ghoyatul Wushul karya ulama Syafiiyah abad ke-9 Hijriyah, Abu Zakariya al-Anshori.

Ulama bertubuh kurus yang jarang tampil ini dikenal menguasai ilmu fikih yang mumpuni. "Kemampuan fikihnya luar biasa, susah ditandingi," ujar Kiai Ali Masyhuri dari Pesantren Bumi Shalawat Sidoarjo dan Wakil Rais Syuriah NU Jawa Timur. Ia berani mendobrak pandangan kuno fikih yang hanya dipersempit sebagai aturan hukum agama ihwal ibadah, muamalah (hubungan antarmanusia), jinayah, dan siyasah atau politik. Sahal menambahkan dengan fikih sosial yang diharapkan mampu memberi solusi atas permasalahan praktis masyarakat.

Bagi Kiai Sahal, fikih bukanlah konsep dogmatif-normatif. Ia harus bersenyawa dengan perilaku, kondisi, dan sepak terjang semua aspek kehidupan, baik ibadah individu maupun urusan sosial dan ekonomi. Tapi dia juga tak tinggal diam jika fikih dituding sebagai ilmu stagnan, sumber kejumudan. Baginya, fikih justru ilmu yang langsung bersentuhan dengan kehidupan riil umat. "Karena itu harus didinamisasi dan direvitalisasi agar mampu menggerakkan umat," ujarnya suatu saat.

Aktualisasi fikih inilah yang kerap dikampanyekan Kiai Sahal. Dengan begitu, fikih tak hanya melulu bicara halal-haram yang kental dengan nuansa individual. "Saya juga menolak upaya untuk menjadikan fikih sebagai hukum negara," katanya. Ia mendorong kemandirian dengan memajukan kehidupan masyarakat di sekitar pesantrennya melalui pengembangan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan. Di pesantrennya berdiri badan usaha milik pesantren yang punya sejumlah bank perkreditan rakyat. Mungkin sebab itu dia dianugerahi gelar doktor kehormatan dalam bidang pengembangan ilmu fikih serta pengembangan pesantren dan masyarakat pada 18 Juni 2003 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Semua jejak penting itu berakhir di Kajen. Kiai yang gemar membaca itu–selain kitab kuning, koleksinya ada buku kesehatan dan cerita silat-kini bisa beristirahat panjang, menemani makam keramat wali sufi Syekh Ahmad al-Mutamakkin, yang hidup pada pertengahan abad ke-18. Mbah Mutamakkin ini diakui sebagai cikal-bakal dan nenek moyang orang Kajen serta menginspirasi pendirian pesantren. Spirit Mbah Mutamakkin, juga almarhum ayahnya, serta Mbah Abdullah Salam, yang dikenal sebagai kiai digdaya, dipandang sangat berpengaruh dalam diri Sahal.

Kiai Sahal juga pernah berkorespondensi dan berguru di Mekah pada Syekh Yasin Isa al-Fadani, atau Syekh Yasin Padang. Sahal muda begitu hormat kepada ulama asal Sumatera Barat yang berpengaruh di Arab Saudi itu. Kepada para santrinya, Sahal membuka rahasia doanya yang selalu dibaca sebelum tidur, yakni membaca Ayat Kursi. Bukan mustahil jika dia mengalunkan ayat penting itu sampai akhir hayatnya.

Wahyu Muryadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus