Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 10 Agustus lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan krisis keuangan yang menjalar dari Amerika Serikat akan manageable alias masih bisa dikendalikan. ”Fundamental ekonomi masih mampu menopang pertumbuhan yang kuat,” ujar Masood Ahmed, juru bicara IMF, penuh percaya diri.
Yang terjadi dua bulan kemudian, keyakinan itu menguap entah ke mana. Dalam World Economic Outlook-nya Rabu pekan lalu, IMF memangkas semua proyeksi pertumbuhan ekonomi 2008 dan 2009. Amerika dan Eropa di tubir resesi, yang bisa jadi bakal menyeret negara-negara Asia. ”Sekarang kita berada dalam terowongan yang benar-benar gelap,” kata Brian Fabbri, dari BNP Paribas.
Hingga akhir pekan lalu, krisis ekonomi belum juga menunjukkan sinyal mereda. Harga properti di Amerika terus melorot. Indeks bursa di mana-mana runtuh. Langkah bank sentral di berbagai negara menurunkan suku bunga memang sempat menahan kejatuhan bursa Kamis pekan lalu. Tapi itu pun tak berumur panjang. Pada perdagangan Jumat, bursa di seluruh dunia kembali loyo berat.
”Pasar benar-benar panik. Tak ada yang mau ambil risiko. Semua orang hanya ingin menarik uang mereka dan menaruhnya di bawah bantal,” kata David Wyss, Kepala Ekonom Standard & Poor’s, setelah keruntuhan bursa saham Jumat pekan lalu. Selama sepekan lalu, total nilai saham di seluruh dunia berkurang US$ 2,3 triliun atau hampir Rp 22 ribu triliun (kurs Rp 9.500 per dolar Amerika).
Bursa Rontok
Dalam sebulan, bursa saham di seluruh dunia nyungsep. Bursa Efek Indonesia salah satu yang terparah.
  | 8 September | 8 Oktober | Persen |
IHSG (Indonesia) | 2.038 | 1.451,67 | -28,77 |
Nikkei (Tokyo) | 12.624,48 | 9.203,32 | -27,09 |
Hang Seng (Hong Kong) | 20.794,27 | 15.431,73 | -25,79 |
Straits Times (Singapura) | 2.694,49 | 2.033,61 | -24,53 |
Financial Times (London) | 5.446,30 | 4.366,70 | -19,82 |
Dow Jones Industrial (Amerika) | 11.510,74 | 9.258,10 | -19,56 |
Rupiah Pun Ikut Melorot
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sebulan terakhir.
8 Sep
9.295
15 Sep
9.445
22 Sep
9.285
6 Okt
9.585
6 Okt
9.585
8 Okt
9.595
9 Okt
9.590
10 Okt
9.860
Dari Krisis Kembali Krisis
12 dan 13 Oktober 1929
Indeks Dow Jones berturut-turut melorot 13 persen dan 12 persen. Hari itu dikenang sebagai Black Monday dan Black Tuesday, yang mengawali resesi dunia.
Oktober 1973
Anggota organisasi negara pengekspor minyak bumi di Timur Tengah (OAPEC) menyetop pasokan bahan bakar ke Amerika Serikat, Jepang, dan beberapa negara lain yang mendukung Israel dalam perang Yom Kippur. Harga minyak di dunia melesat.
Agustus 1982
Menteri Keuangan Meksiko Jesus Silva Herzoq mengumumkan negara itu tak mampu lagi membayar utangnya. Beberapa negara lain di Amerika Latin menyusul.
Desember 1994
Presiden Meksiko Ernesto Zedillo mendevaluasi nilai mata uang peso sebesar 15 persen menjadi 4 peso per dolar Amerika. Tekanan spekulasi dan defisit neraca perdagangan yang terus membesar memaksa mereka mengambangkan peso. Nilai peso rontok dengan cepat.
Juli 1997
Keputusan pemerintah Thailand mengambangkan nilai tukar baht terhadap dolar Amerika mengawali kejatuhan mata uang negara-negara Asia.
Agustus 1998
Rontoknya harga komoditas, terutama minyak bumi dan gas, memukul keuangan Rusia.
September 2008
Lehman Brothers bangkrut. Perusahaan keuangan di Amerika dan Eropa ikut berguguran. Bursa saham di seluruh dunia rontok.
Bagaimana 1997, Bagaimana 2008
Apa penyebabnya?
Pada Juli 1997, pemerintah Thailand mengambangkan mata uang baht, yang menyebabkan nilainya terperosok. Kejatuhan baht menyeret mata uang lain, termasuk rupiah.
Badai ekonomi 2008 dipicu krisis subprime mortgage atau kredit perumahan ”kelas dua” di Amerika Serikat. Kenaikan suku bunga menyebabkan banyak kredit gagal bayar. Harga properti jatuh, pun demikian surat utang yang dijamin aset properti itu.
Apa saja yang terkena?
Krisis 1997 memukul nilai mata uang negara-negara Asia. Rupiah, misalnya, sempat jatuh di bawah Rp 15 ribu per dolar Amerika. Perusahaan dan perbankan yang punya utang dalam dolar tercekik.
Krisis subprime mencekik perusahaan-perusahaan yang duitnya nyangkut dalam surat utang properti tersebut. Duit yang amblas diperkirakan mencapai US$ 1,4 triliun.
Apa pengaruh krisis subprime terhadap Indonesia?
Ekonom A. Prasetyantoko mengatakan ada dua jalur pengaruh krisis subprime. Jalur finansial diukur dari kejatuhan indeks bursa saham dan nilai rupiah. Lewat jalur perdagangan, krisis membuat permintaan produk Indonesia turun. Nilai ekspor Indonesia akan tertekan.
Apakah krisis 1997 di Indonesia akan berulang?
”Secara teoretis tidak akan,” kata Prasetyantoko. Sebab, neraca perbankan menunjukkan masih oke. Rata-rata rasio kecukupan modal (per Juni 2008) 17,58 persen, jauh di atas kondisi pada 1997 yang hanya delapan persen. Persentase kredit seret juga hanya 3,54 persen. Bandingkan dengan sepuluh tahun lalu yang 7,2 persen. Cadangan devisa per 30 September 2008 mencapai US$ 57,108 miliar pun jauh lebih besar daripada saat krisis 1997 yang hanya US$ 20 miliar. Krisis 1997 sudah mengajarkan perbankan dan pengusaha lebih berhati-hati.
Apakah ekonomi Indonesia benar-benar aman dari krisis?
Tidak juga, terutama apabila krisis subprime ini berkepanjangan dan meluas. ”Sektor riil bisa tertekan dan neraca bank bisa terganggu,” kata Prasetyantoko.
Mereka yang Rontok
Islandia
- Glitnir (dinasionalisasi)
- Landsbanki (dinasionalisasi)
- Kaupthing (dinasionalisasi)
Inggris
- Northern Rock (dinasionalisasi)
- Bradford & Bingley (dinasionalisasi)
- HBOS (dijual)
Amerika Serikat
- Lehman Brothers (bangkrut)
- Washington Mutual (dijual)
- Fannie Mae (dalam penyehatan)
- Freddie Mac (dalam penyehatan)
- Indy Mac (dalam penyehatan)
- Bear Stearns (dijual)
- Merrill Lynch (dijual)
- AIG (disuntik modal)
Jepang
- Yamato Life Insurance (bangkrut)
- New City Residence Investment (bangkrut)
Belgia
Dexia (disuntik modal)
Belanda
Fortis (dijual)
Jerman
Hypo Real Estate (disuntik modal)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo